ABSSBK PRO KEMAJEMUKAN
Oleh: Duski Samad
Pengasuh Mata Kuliah Islam dan Budaya Minangkabau UIN Imam Bonjol dan juga Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat
Sampai tahun 2025 ini sejak 2006 keluarnya Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI (PBM) Nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang pendirian Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di tingkat Provinsi dan Kabupaten Kota seluruh Indonesia, kecuali yang belum teralisir di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Tanah Datar.
Argumen, dalil dan alasannya adalah masyarakat belum memerlukannya dengan didukung pernyataan tokoh agama, ormas dan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) di dua daerah ini. Berkali-kali sosialisasi dan edukasi tetap masih belum ada kejelasan, baik alasan adat, dan opini kekhawatiran yang tak beralasan, termasuk juga alasan suara dalam pemilihan.
Esensi pokok yang menjadi kekhawatiran terhadap adanya FKUB sebagai wadah yang memfasilitasi keberadaan tokoh lintas agama adalah akan menimbulkan efek tak sengaja terhadap keluhuran adat yang corenya Islam. Untuk menjelaskan kekhawatiran ini patut juga dipertimbang kan narasi di bawah ini.
ABSSBK TIDAK MENOLAK KEMAJEMUKAN
Prinsip “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (ABS-SBK) yang menjadi fondasi nilai budaya Minangkabau memang berbasis pada ajaran Islam. Namun, dalam penerapannya, nilai ini tidak serta-merta menolak kemajemukan, melainkan mengatur kehidupan masyarakat agar tetap harmonis dan berkeadilan. Ada beberapa alasan mengapa ABS-SBK dapat hidup berdampingan dengan realitas keberagaman agama:
1.Fokus pada Nilai Universal Islam.
Islam sebagai fondasi ABS-SBK mengutamakan nilai-nilai universal, seperti keadilan, kasih sayang, toleransi, dan kemanusiaan. Nilai-nilai ini tidak eksklusif untuk Muslim saja, tetapi juga dapat diterapkan dalam hubungan dengan penganut agama lain. Dalam konteks ini, prinsip rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) menjadi pedoman masyarakat Minangkabau untuk hidup berdampingan dengan orang lain, tanpa memandang agama.
2.Prinsip “Badunsanak” dalam Sosial. Kemasyarakatan.
Minangkabau mengenal konsep badunsanak yang berarti membangun hubungan persaudaraan, tidak hanya berdasarkan hubungan darah tetapi juga hubungan sosial. Ini mencakup keterbukaan terhadap orang luar, termasuk non-Muslim, selama mereka menghormati adat dan norma setempat. Hubungan ini didasarkan pada penghormatan, kerja sama, dan saling membantu. Dima bumi di pijak, disinan langik di junjung. Realitas ini sudah berjalan sejak lama bagi masyarakat Minang di ranah dan rantau.
3.Musyawarah untuk Mufakat. Dalam adat Minangkabau, musyawarah digunakan untuk menyelesaikan persoalan atau mengambil keputusan, termasuk yang melibatkan orang-orang dari latar belakang agama berbeda. Pendekatan ini mengedepankan kebijaksanaan kolektif yang menghormati semua pihak, tanpa mengedepankan pemaksaan keyakinan. Lamak di awak ka tuju dek urang.
4.Falsafah “Alam Takambang Jadi Guru”.
Pepatah ini mengajarkan masyarakat untuk belajar dari keragaman dan keharmonisan alam. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Minangkabau diajarkan untuk memahami bahwa perbedaan adalah bagian alami dari kehidupan, sehingga mereka diajak untuk menghormati keberagaman agama.
5.Kerangka Hukum dan Etika Lokal. Meski ABS-SBK berbasis Islam, penerapannya dalam kehidupan masyarakat juga mengakui keberadaan hukum negara dan nilai-nilai etika global. Masyarakat Minangkabau tidak memaksakan ajaran Islam pada non-Muslim, tetapi lebih menekankan pada penghormatan terhadap norma lokal dan kontribusi bersama dalam kehidupan bermasyarakat.
6.Penghormatan terhadap Non-Muslim di Minangkabau. Walaupun mayoritas masyarakat Minangkabau adalah Muslim, non-Muslim juga diterima selama mereka menghormati adat. Sejarah mencatat bahwa ada komunitas non-Muslim yang hidup di Minangkabau, seperti komunitas Tionghoa, yang berbaur dengan masyarakat setempat tanpa konflik berarti.
7.Prinsip Keadilan dalam Pergaulan. Dalam ABS-SBK, setiap individu, tanpa memandang agamanya, berhak atas perlakuan adil. Ini tercermin dalam pepatah adat, seperti: “Bajanjang naiak, batanggo turun” (menghormati proses dan aturan bersama). “Duduak samo randah, tagak samo tinggi” (mengutamakan kesetaraan). Prinsip-prinsip ini mencerminkan semangat inklusivitas, meskipun berakar pada ajaran Islam.
Masyarakat Minangkabau menggunakan ABS-SBK sebagai panduan dalam kehidupan bermasyarakat yang tetap bisa menerima keberagaman agama melalui penekanan pada nilai-nilai universal Islam, penghormatan terhadap adat, dan prinsip musyawarah. Selama ada penghormatan timbal balik, kemajemukan bisa diterima dalam bingkai adat Minangkabau.
Konteks ini maka kerukunan berbasis kearifan lokal Minangkabau (ABSSBK) merupakan bagian dari budaya dan nilai-nilai yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Minangkabau. Kerukunan ini dapat dilihat dalam cara masyarakat Minang membangun hubungan sosial, mengelola konflik, serta menjaga keharmonisan melalui prinsip-prinsip adat dan ajaran agama.
Beberapa nilai kearifan lokal Minangkabau yang mendukung kerukunan adalah Falsafah “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK)”
Prinsip ini menekankan bahwa adat dan agama saling menopang. Dengan berpegang pada ajaran Islam sebagai pedoman, masyarakat Minang menjaga harmoni antarindividu maupun kelompok. Agama menjadi fondasi moral dan spiritual, sementara adat mengatur tata kehidupan sosial.
Musyawarah dan mufakat dalam masyarakat Minangkabau, musyawarah (disebut juga “badunsanak”) menjadi sarana utama dalam menyelesaikan persoalan. Tradisi ini mencerminkan penghormatan terhadap pendapat orang lain dan semangat kolektivitas untuk mencapai solusi terbaik bagi semua pihak.
Prinsip “Duduak Surang Basampik-Sampik, Duduak Basamo Balapang-Lapang” Ungkapan ini mengajarkan pentingnya saling mendengarkan, menerima perbedaan, dan mencari kesepakatan bersama untuk menjaga kebersamaan dan persaudaraan.
Gotong Royong (Batobo). Tradisi gotong royong menjadi sarana untuk mempererat hubungan antarwarga. Kegiatan seperti membangun rumah, mengolah sawah, atau menyelenggarakan acara adat dilakukan bersama-sama tanpa memandang status sosial.
Hubungan kekerabatan matrilineal.
Sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau mengajarkan pentingnya menjaga hubungan keluarga dan menghormati peran perempuan sebagai penjaga adat. Hal ini menciptakan rasa tanggung jawab kolektif untuk menjaga keharmonisan dalam keluarga dan masyarakat.
Ketekunan menjaga Nnlai “Sakato”. Prinsip “sakato” atau kesepakatan bersama menjadi landasan dalam mengambil keputusan penting, baik dalam adat maupun urusan sosial lainnya. Ini menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama atas keputusan yang diambil.
Penghormatan terhadap Alam (Adat Nan Diadatkan). Dalam adat Minang, alam dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia yang harus dijaga. Prinsip ini tercermin dalam pepatah “Alam Takambang Jadi Guru,” yang mengajarkan keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan.
Melalui nilai-nilai ini, masyarakat Minangkabau mampu menjaga kerukunan di tengah keberagaman, baik dalam konteks internal maupun dengan komunitas lain. Apakah ada aspek tertentu yang ingin didiskusikan lebih mendalam, bro?
BEST PRACTICES
Berikut adalah best practices yang dapat diambil dari kearifan lokal Minangkabau berbasis prinsip “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (ABS-SBK) dalam menjaga kerukunan di tengah kemajemukan agama:
1.Menguatkan Nilai Toleransi Melalui Pendidikan Adat.
Praktik: Menanamkan nilai-nilai ABS-SBK sejak dini di sekolah maupun dalam lingkungan keluarga. Pendidikan adat tidak hanya menekankan ajaran agama, tetapi juga penghormatan terhadap keragaman dan prinsip persaudaraan. Contoh: Mengadakan tampek mangaji (tempat belajar agama) yang mengajarkan toleransi sebagai bagian dari ajaran Islam.
2.Musyawarah untuk Menyelesaikan Konflik. Praktik: Setiap konflik yang melibatkan masyarakat beragam agama diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat. Semua pihak diberikan kesempatan yang sama untuk menyampaikan pandangan. Contoh: Jika ada permasalahan terkait penggunaan fasilitas umum, seperti balai adat atau tempat ibadah, komunitas setempat duduk bersama untuk mencari solusi yang adil.
3.Tradisi Gotong Royong Tanpa Membeda-bedakan. Praktiknya Melibatkan semua anggota masyarakat, termasuk non-Muslim, dalam kegiatan gotong royong yang bersifat sosial, seperti membangun jalan, rumah ibadah, atau fasilitas umum. Contoh: Di beberapa daerah Minangkabau, non-Muslim diundang untuk berkontribusi dalam kegiatan adat, seperti aleg-aleg (makan bersama) setelah gotong royong.
4.Mengutamakan Prinsip Keadilan dan Kesetaraan. Praktik: Memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga untuk terlibat dalam kegiatan adat dan sosial tanpa diskriminasi agama. Contoh: Dalam pembagian hasil panen atau kerja sama ekonomi (seperti kato nan ampek), semua warga diakomodasi berdasarkan kontribusi, bukan identitas agama.
5 Perayaan Bersama yang Menghormati Perbedaan
Praktik: Mengadakan acara adat yang bersifat inklusif dan dapat diikuti oleh semua lapisan masyarakat. Contoh: Saat acara baralek gadang (pernikahan adat), keluarga Muslim dan non-Muslim diundang untuk bersama-sama merayakan momen tersebut.
6.Pemanfaatan Pepatah Adat dalam Komunikasi. Praktik: Menggunakan pepatah dan ungkapan adat dalam diskusi atau penyelesaian masalah untuk mengingatkan semua pihak tentang pentingnya persatuan. Contoh: “Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik” (kesepakatan adalah kunci penyelesaian masalah).mBasatu kita teguh, bacarai kita ruhuah” (bersatu kita kuat, bercerai kita runtuh).
7.Mengelola Fasilitas Umum dengan Adil. Praktik: Fasilitas publik seperti balai adat, pasar, atau sumber daya alam diatur untuk kepentingan semua kelompok tanpa diskriminasi. Contoh: Non-Muslim tetap diizinkan berdagang di pasar tradisional Minang asalkan mereka mematuhi aturan lokal, seperti kebersihan dan etika dagang.
8.Membangun Kemitraan Antar Komunitas Agama. Praktik: Membuat forum komunikasi lintas agama di tingkat nagari (desa) untuk mempererat hubungan antarwarga. Contoh: Forum warga di Nagari Pandai Sikek melibatkan pemuka adat dan tokoh agama dari berbagai kepercayaan untuk membahas isu-isu sosial bersama.
9.Menghormati Kebebasan Beragama. Praktik: Masyarakat tidak mencampuri urusan agama pribadi seseorang selama mereka menghormati adat setempat. Contoh: Non-Muslim yang tinggal di Minangkabau tetap dapat menjalankan ibadah mereka tanpa gangguan, selama tidak bertentangan dengan norma sosial.
10.Kolaborasi dalam Kegiatan Ekonomi dan Budaya. Praktik: Membangun kolaborasi ekonomi lintas agama, seperti dalam kelompok tani, koperasi, atau kegiatan budaya yang melibatkan seluruh komunitas. Contoh: Usaha kain tenun Songket melibatkan pekerja Muslim dan non-Muslim untuk memproduksi hasil karya adat Minangkabau.
Best practices ini menunjukkan bahwa nilai ABS-SBK dapat diterapkan secara inklusif, selama ada penghormatan terhadap perbedaan dan fokus pada nilai-nilai universal seperti keadilan, persaudaraan, dan musyawarah. Dengan pendekatan ini, masyarakat Minangkabau berhasil menciptakan harmoni di tengah keragaman agama.
Konklusi:
Kearifan lokal Minangkabau yang berbasis pada prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) memberikan kerangka kuat untuk menciptakan harmoni di tengah kemajemukan agama. Nilai-nilai ABS-SBK tidak menolak keberagaman, melainkan menjadikannya bagian dari kehidupan sosial yang didasari prinsip Islam yang inklusif, seperti keadilan, kasih sayang, dan toleransi.
Prinsip musyawarah, gotong royong, dan penghormatan terhadap perbedaan menjadi landasan dalam menjaga hubungan lintas agama. Tradisi ini terbukti mampu menciptakan ruang kolaborasi dan kohesi sosial, bahkan dengan komunitas non-Muslim, selama terdapat penghormatan terhadap adat dan norma lokal.
Dengan mengutamakan nilai-nilai universal dan pendekatan berbasis dialog, ABS-SBK tetap relevan sebagai panduan hidup masyarakat Minangkabau untuk memelihara kerukunan, baik dalam konteks lokal maupun nasional. Di tengah tantangan modernitas dan perubahan sosial, kearifan lokal ini menunjukkan bahwa keberagaman dapat dirangkul tanpa mengorbankan identitas budaya dan agama. Ds.21012025.