AL QUR’AN PASTI, FINAL DAN MENGIKAT Oleh: Duski Samad

Artikel Tokoh148 Views

AL QUR’AN PASTI, FINAL DAN MENGIKAT

Oleh: Duski Samad

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol

Judul tulisan ini didorong oleh ucapan para pihak yang ikut sidang di Mahkamah Konstitusi perselisihan atau sengkata Pilkada 2024 lalu. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) disebut final dan mengikat. Final artinya tidak dapat dibanding atau diajukan banding maupun kasasi ke lembaga peradilan lain. Setelah MK memutus suatu perkara, tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan untuk mengubah putusan tersebut.

Mengikat maknanya semua pihak, baik individu, lembaga negara, maupun pemerintah, wajib mematuhi dan melaksanakan putusan MK. Putusan tersebut langsung berlaku sejak dibacakan dalam sidang dan tidak memerlukan persetujuan atau tindakan lebih lanjut dari lembaga lain. Kewenangan ini diberikan oleh UUD 1945 Pasal 24C Ayat (1), yang menegaskan bahwa putusan MK bersifat final. Ini bertujuan untuk menjaga kepastian hukum dan mencegah adanya perdebatan berkepanjangan atas suatu perkara konstitusional.

Harus diakui ada para pihak yang tidak puas dengan keputusan MK ini, namun apa boleh buat mereka harus terima. Pertanyaannya bagaimana dengan hukum al-Qur’an yang diyakini bersifat pasti, la raiba fihi, masih ada umat yang tidak melakukan keputusan yang sudah final itu dan tidak mengikat mereka untuk mematuhinya?

Jawabannya perlu dipahami dengan seksama ayat ke-2 dari Surah Al-Baqarah berbunyi: Artinya: “Itulah Kitab (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan di dalamnya; (sebagai) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah yang benar, tidak ada kebimbangan atau keraguan di dalamnya. Kata (Dzaalika)” merujuk kepada Al-Qur’an sebagai sesuatu yang agung dan memiliki kedudukan tinggi. “لَا رَيۡبَ فِيهِ (laa raiba fiihi)” menegaskan bahwa Al-Qur’an bersih dari segala bentuk kesalahan dan kontradiksi. “هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ (hudan lil-muttaqiin)” menandakan bahwa petunjuk Al-Qur’an hanya dapat diterima dan diambil manfaatnya oleh mereka yang bertakwa, yaitu orang-orang yang beriman dan menjalankan perintah Allah.

Al-Thabari menafsirkan bahwa ayat ini menekankan kebenaran mutlak dari Al-Qur’an yang tidak perlu diragukan. Beliau menafsirkan kata “هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ” sebagai bimbingan yang hanya dapat diterima oleh mereka yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran. Al-Qurtubi menyoroti makna “Laa raiba fiih” bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang tidak bisa didiskreditkan kebenarannya. Kata “muttaqiin” dijelaskan sebagai orang-orang yang menjaga dirinya dari dosa dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah.

Ulama kontemporer, Tafsir Sayyid Qutb (Fi Zilalil Qur’an). Sayyid Qutb menekankan bahwa ayat ini menunjukkan peran Al-Qur’an sebagai sumber kehidupan dan petunjuk bagi mereka yang memiliki hati terbuka. Menurutnya, orang yang tidak memiliki keimanan dan ketakwaan akan sulit menerima Al-Qur’an sebagai petunjuk. Dalam konteks modern, beliau melihat Al-Qur’an sebagai solusi dari berbagai tantangan sosial dan moral di masyarakat.

Buya Hamka menafsirkan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi semua manusia, tetapi hanya orang-orang bertakwa yang dapat benar-benar memanfaatkannya. Menurutnya, dalam era modern, banyak orang mencari petunjuk dari berbagai sumber, tetapi Al-Qur’an tetap menjadi sumber kebenaran utama. Beliau juga menekankan bahwa “hudal lil-muttaqin” berarti bahwa hanya mereka yang mau membuka hatinya dan mengikuti ajaran Allah yang akan mendapatkan manfaat dari Al-Qur’an.

Muhammad Abduh menafsirkan bahwa ayat ini menekankan sifat ilmiah dan rasional Al-Qur’an. Ia melihat bahwa dalam era modern, ilmu pengetahuan semakin membuktikan kebenaran Al-Qur’an. Menurutnya, “hudan lil-muttaqin” menunjukkan bahwa petunjuk dalam Al-Qur’an hanya bisa dipahami oleh orang yang menggunakan akal dan hatinya dengan benar.

Jadi tafsir klasik lebih menekankan pada sifat absolut Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi yang tidak bisa diragukan. Tafsir kontemporer lebih banyak membahas relevansi Al-Qur’an dengan tantangan zaman modern dan bagaimana ia tetap menjadi petunjuk hidup yang relevan bagi umat manusia.

KEAGUNGAN DAN KEPASTIAN AL-QUR’AN

Banyak ilmuwan dan cendekiawan, baik Muslim maupun non-Muslim, telah menganalisis Al-Qur’an sebagai kitab suci yang bersifat pasti, final, dan mengikat. Kajian mereka mencakup aspek historis, linguistik, ilmiah, serta konsistensi ajaran dalam Al-Qur’an.

Al-Qur’an Bersifat Pasti. Kepastian dalam Al-Qur’an berarti kebenaran yang dikandungnya tidak berubah dan selalu relevan. Muhammad Quraish Shihab (Pakar Tafsir), menjelaskan bahwa Al-Qur’an memiliki kebenaran mutlak karena berasal dari Allah, bukan hasil pemikiran manusia. Konsistensi ayat-ayatnya menunjukkan tidak ada kontradiksi dalam wahyu-Nya (QS. An-Nisa: 82). Harun Yahya (Adnan Oktar) Menyatakan bahwa banyak fakta ilmiah dalam Al-Qur’an baru bisa dibuktikan oleh sains modern, seperti pembentukan alam semesta (Big Bang), penciptaan manusia, dan siklus air. Ini membuktikan kepastian kebenaran Al-Qur’an.

Ilmuwan Barat, Maurice Bucaille (Prancis, Ilmuwan & Dokter), Dalam bukunya The Bible, The Qur’an, and Science, ia membandingkan Al-Qur’an dengan kitab suci lain dan menyimpulkan bahwa tidak ada kesalahan ilmiah dalam Al-Qur’an, sementara kitab lain memiliki banyak inkonsistensi.

Al-Qur’an bersifat final berarti tidak ada kitab suci lain yang akan menggantikannya dan isinya tidak akan berubah. Al-Qur’an adalah wahyu terakhir. Hamidullah (Sejarawan Muslim) menunjukkan bahwa dalam sejarah wahyu, Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang tetap otentik sejak diturunkan, tanpa perubahan sedikit pun. Arthur J. Arberry (Orientalis Inggris), dalam terjemahan dan analisisnya terhadap Al-Qur’an, ia mengakui bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang tetap asli sejak pertama kali ditulis, berbeda dengan kitab-kitab lain yang mengalami revisi.

Tidak ada revisi atau perubahan, Angelika Neuwirth (Jerman, Ahli Islamologi) menyatakan bahwa tidak ada bukti historis atau manuskrip yang menunjukkan perubahan pada teks Al-Qur’an sejak zaman Nabi Muhammad. Theodor Noldeke (Jerman, Ahli Bahasa Arab Kuno) mengakui bahwa Al-Qur’an memiliki keutuhan linguistik yang luar biasa dan tidak mengalami perubahan struktural, yang membuktikan bahwa teksnya tetap final sejak awal.

Al-Qur’an bersifat mengikat berarti Al-Qur’an berlaku untuk seluruh manusia di segala zaman dan tempat. Ilmuwan Muslim Zakir Naik (Ahli Perbandingan Agama) sering menekankan bahwa ajaran Al-Qur’an bukan hanya untuk Muslim, tetapi juga sebagai pedoman universal bagi seluruh manusia, seperti dalam hal etika, ekonomi, hukum, dan sosial. Syekh Yusuf Al-Qaradawi (Pakar Hukum Islam) mengatakan bahwa hukum dalam Al-Qur’an tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga mencakup hukum sosial, politik, dan ekonomi yang tetap relevan sepanjang waktu.

Pandangan ilmuwan non-Muslim, Karen Armstrong (Penulis & Sejarawan Agama, Inggris) mengakui bahwa Al-Qur’an memiliki kesinambungan moral dan spiritual yang menjadikannya kitab yang tetap relevan hingga kini. Michael Hart (Sejarawan Amerika, Penulis “The 100″), dalam bukunya, ia menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh karena ajaran Al-Qur’an yang mengubah peradaban dunia secara signifikan.

Jadi, analisis ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang pasti, final, dan mengikat: Pasti, karena terbukti konsisten dan sesuai dengan ilmu pengetahuan modern. Final, karena tidak mengalami perubahan sejak diturunkan dan tidak ada kitab lain yang menggantikannya. Mengikat, karena ajarannya tetap relevan bagi seluruh manusia sepanjang zaman.

HIDAYAH (PETUNJUK) AL QUR’AN

Hidayah dalam Islam adalah petunjuk atau bimbingan yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya untuk mencapai jalan yang benar dan lurus. Hidayah adalah bimbingan spiritual yang membantu hamba Allah SWT untuk meningkatkan kesadaran spiritual dan memahami tujuan hidup yang sebenarnya. Hidayah juga berarti pengampunan dosa, karena Allah SWT memberikan kesempatan kepada hamba-Nya untuk meminta ampun dan kembali ke jalan yang benar. Hidayah juga berarti pemberian ilmu, karena Allah SWT memberikan ilmu dan pengetahuan kepada hamba-Nya untuk memahami agama dan menjalankan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.

Esensi hidayah berupa bimbingan dari sang Maha Kuasa tidaklah teruntuk bagi muslim saja, siapapun yang dikehendaki Allah swt satu saat bisa dapat hidayah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hidayah.

Iman adalah faktor utama yang mempengaruhi hidayah, karena iman adalah dasar dari kepercayaan dan ketaatan kepada Allah SWT. Taubat adalah faktor lain yang mempengaruhi hidayah, karena taubat adalah kesempatan untuk meminta ampun dan kembali ke jalan yang benar. Dzikir adalah faktor yang mempengaruhi hidayah, karena dzikir adalah cara untuk meningkatkan kesadaran spiritual dan memahami tujuan hidup yang sebenarnya. Doa adalah faktor yang mempengaruhi hidayah, karena doa adalah cara untuk meminta bantuan dan petunjuk dari Allah SWT.

KEAGUNGAN AL QURAN ILMUWAN KOTEMPORER

Keagungan Al-Qur’an telah diakui oleh banyak ilmuwan kontemporer, baik Muslim maupun non-Muslim. Beberapa di antara mereka mengakui keajaiban ilmiah, kesempurnaan bahasa, serta konsistensi pesan yang terdapat dalam kitab suci ini. Berikut beberapa perspektif ilmuwan modern Maurice Bucaille (Ahli Bedah & Penulis, Prancis),dalam bukunya The Bible, The Qur’an and Science menyatakan bahwa Al-Qur’an mengandung fakta ilmiah yang baru bisa dibuktikan dengan teknologi modern, seperti perkembangan embrio manusia (QS. Al-Mu’minun: 12-14) dan pemisahan langit dan bumi (Big Bang, QS. Al-Anbiya: 30).

Keith L. Moore (Ahli Embriologi, Kanada), Setelah meneliti ayat-ayat Al-Qur’an tentang embriologi, Moore mengakui bahwa deskripsi perkembangan janin dalam Al-Qur’an sangat akurat dibandingkan dengan ilmu embriologi modern. Ia bahkan menyertakan temuan ini dalam edisi terbaru bukunya The Developing Human. Dr. William Hay (Ahli Oseanografi, AS) IA terkejut dengan ayat yang menjelaskan tentang pertemuan dua lautan yang tidak bercampur (QS. Ar-Rahman: 19-20). Ia mengakui bahwa ilmu modern baru memahami fenomena ini melalui studi tentang zona percampuran air laut yang disebut halocline.

Yoshihide Kozai (Ahli Astronomi, Jepang) memuji Al-Qur’an yang menyebutkan tentang orbit benda langit (QS. Al-Anbiya: 33). Ia mengatakan bahwa pengetahuan tentang pergerakan benda langit dalam Al-Qur’an sangat sesuai dengan konsep astronomi modern. Albert Einstein (Fisikawan, Teori Relativitas), meskipun Einstein tidak secara langsung mengomentari Al-Qur’an, konsep waktu relatif dalam teori relativitasnya sejalan dengan ayat-ayat yang menyebutkan tentang perbedaan waktu di berbagai dimensi alam (QS. Al-Ma’arij: 4, QS. As-Sajdah: 5).

Keagungan Al-Qur’an tidak hanya terletak pada mukjizat ilmiahnya, tetapi juga dalam keindahan bahasanya, kedalaman maknanya, serta kemampuannya memberikan petunjuk moral dan spiritual yang tetap relevan sepanjang zaman.

PETUNJUK MORAL DAN SIPRITUAL AL QUR’AN

Al-Qur’an adalah kitab suci yang memberikan petunjuk moral dan spiritual bagi umat manusia. Ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan, mulai dari hubungan dengan Allah hingga interaksi sosial.

Moral dalam Al-Qur’an mencakup etika individu, sosial, dan hubungan manusia dengan lingkungan.a. Kejujuran dan Amanah. Al-Qur’an menekankan pentingnya jujur dan menepati amanah:”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa: 58). b. Keadilan dan Kesetaraan. Islam menuntut keadilan tanpa membedakan status sosial: “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8).

c. Menjaga Lisan dan Tidak Memfitnah. Berbohong dan menyebar fitnah dikecam dalam Islam: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka… dan janganlah menggunjing sebagian kamu akan sebagian yang lain.” (QS. Al-Hujurat: 12). d. Berbuat Baik kepada Orang Tua. Berbakti kepada orang tua adalah kewajiban utama: “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya…” (QS. Al-Isra: 23).

e. Tolong-Menolong dalam Kebaikan. Islam mengajarkan solidaritas sosial: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan…” (QS. Al-Ma’idah: 2).

Petunjuk spiritual Al-Qur’an membantu manusia mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai ketenangan jiwa. a. Tauhid (Keimanan kepada Allah). Iman kepada Allah adalah inti ajaran Al-Qur’an:”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha: 14). b. Shalat sebagai Sarana Ketenangan Jiwa. Shalat menghubungkan manusia dengan Allah dan menenangkan hati: “Ketahuilah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).

c. Sabar dalam Menghadapi Ujian. Kesabaran dalam kesulitan mendapat ganjaran besar: “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153).

 

d. Tawakal dan Percaya kepada Takdir. Seorang mukmin harus bertawakal kepada Allah: “Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Dia akan mencukupinya.” (QS. At-Talaq: 3). e. Syukur dan Tidak Kufur Nikmat. Syukur kepada Allah menambah berkah: “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu…” (QS. Ibrahim: 7)

Al-Qur’an memberikan pedoman moral untuk menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis, serta panduan spiritual untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan sejati. Ajarannya tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tetapi juga bersifat universal bagi seluruh manusia.

AL QUR’AN MENGHADAPI DIGITALISASI

Era digitalisasi telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia, tetapi juga menghadirkan berbagai tantangan, termasuk ketidakpastian dalam informasi, etika, dan eksistensi manusia. Dalam konteks ini, Al-Qur’an tetap relevan sebagai pedoman utama bagi umat Islam. Analisis ilmiah terhadap peran Al-Qur’an dalam menghadapi era ketidakpastian akibat digitalisasi dapat dibagi dalam beberapa aspek:

1.Digitalisasi dan Tantangan Ketidakpastian.

Digitalisasi telah mempercepat arus informasi dan mendorong perubahan sosial secara drastis. Namun, ada beberapa tantangan yang muncul di antaranya disinformasi dan hoaks, Mudahnya penyebaran berita palsu dan informasi menyesatkan menciptakan kebingungan sosial.

 

Polarisasi Sosial. Algoritma media sosial menciptakan ruang gema (echo chamber) yang memperkuat perpecahan dalam masyarakat. Krisis Identitas. Digitalisasi mengubah cara manusia memahami diri mereka sendiri, yang sering kali mengarah pada ketidakstabilan psikologis dan sosial. Eksploitasi Data dan Privasi. Kehidupan digital membuat manusia rentan terhadap eksploitasi data pribadi oleh perusahaan teknologi.

2.Al-Qur’an sebagai Petunjuk dalam Era Ketidakpastian.

a) Al-Qur’an sebagai Sumber Kebenaran (Al-Haqq) dalam Disinformasi. Al-Qur’an menekankan pentingnya verifikasi informasi dalam QS. Al-Hujurat (49:6):

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti…”. Prinsip ini sangat relevan dalam era informasi digital yang penuh hoaks dan manipulasi. Metodologi ilmiah dan kritis dalam menilai informasi sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan tabayyun (verifikasi).

b) Al-Qur’an dan Etika Digital. QS. Al-Isra’ (17:36): “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya.” Ayat ini menekankan pentingnya berpikir kritis dalam menerima informasi dan mengikuti tren digital.

c) Al-Qur’an dan Polarisasi Sosial. QS. Al-Ma’idah (5:8): “Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” Al-Qur’an mengajarkan keadilan dan objektivitas, yang sangat diperlukan dalam menghadapi algoritma media sosial yang cenderung memperkuat bias individu.

d) Al-Qur’an dan Keseimbangan Identitas dalam Dunia Digital. QS. Al-Baqarah (2:2): “Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Digitalisasi sering kali membuat manusia kehilangan arah, tetapi Al-Qur’an tetap menjadi sumber nilai yang membantu dalam membentuk identitas yang kuat dan seimbang.

e) Al-Qur’an dan Perlindungan Privasi serta Etika Teknologi. QS. An-Nur (24:27-28): Mengajarkan tentang etika privasi dan perlindungan data pribadi. Islam mengajarkan konsep amanah dalam menjaga informasi dan tidak menyalahgunakan teknologi untuk eksploitasi orang lain.

3.Implementasi Al-Qur’an dalam Era Digital.

Untuk memastikan bahwa ajaran Al-Qur’an dapat diterapkan dalam era digital, beberapa strategi bisa diterapkan yaitu; pendidikan digital islami.

 

Mengembangkan kurikulum berbasis Al-Qur’an untuk memahami etika digital. Teknologi Berbasis Nilai Islam: Mengembangkan kecerdasan buatan (AI) dan algoritma yang berlandaskan prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran. Dakwah Digital yang Berorientasi Kritis: Menyebarkan ajaran Islam yang autentik dengan pendekatan ilmiah dan modern. Keamanan Data dan Privasi Berbasis Islam: Mendorong kebijakan teknologi yang melindungi hak-hak pengguna berdasarkan prinsip syariah.

Era digital membawa tantangan besar dalam bentuk ketidakpastian informasi, krisis identitas, dan eksploitasi data. Namun, Al-Qur’an tetap relevan sebagai sumber petunjuk yang dapat membantu manusia menghadapi era ini dengan prinsip kebenaran, etika, dan keseimbangan. Implementasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam ekosistem digital dapat membantu membangun masyarakat yang lebih adil, etis, dan stabil. Pendekatan ilmiah terhadap peran Al-Qur’an dalam digitalisasi ini membuka ruang bagi pengembangan studi Islam yang lebih relevan dengan zaman modern.

Kesimpulan.

Al-Qur’an memiliki sifat yang pasti, final, dan mengikat, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 2 bahwa kitab ini adalah petunjuk yang tidak mengandung keraguan. Keagungan dan otoritasnya telah dikaji oleh para ulama klasik maupun kontemporer, yang menyimpulkan bahwa Al-Qur’an tetap relevan sepanjang zaman, baik dalam aspek keimanan, hukum, maupun moral.

Pasti, al-Qur’an memiliki kepastian dalam ajaran dan kebenarannya. Banyak ilmuwan Muslim dan non-Muslim membuktikan bahwa isi Al-Qur’an konsisten dengan ilmu pengetahuan modern dan tidak mengandung kontradiksi.

Final, sebagai wahyu terakhir, Al-Qur’an tidak mengalami perubahan atau revisi sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad. Keasliannya terjaga, berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang telah mengalami penyimpangan atau perubahan oleh manusia.

Mengikat, ajaran dalam Al-Qur’an berlaku bagi seluruh umat manusia di segala zaman. Hukum-hukum yang terdapat di dalamnya tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga mencakup aspek sosial, politik, dan ekonomi yang tetap relevan dalam kehidupan modern.

Relevansi di Era Digital. Dalam menghadapi era digital yang penuh dengan ketidakpastian, Al-Qur’an tetap menjadi pedoman utama bagi umat manusia. Prinsip tabayyun (verifikasi informasi) dalam Islam mengajarkan pentingnya menyaring berita hoaks dan manipulatif. Selain itu, ajaran Al-Qur’an tentang etika, keadilan, dan keseimbangan hidup menjadi solusi bagi tantangan zaman modern, termasuk polarisasi sosial dan krisis identitas akibat teknologi.

 

Kesimpulannya, Al-Qur’an adalah kitab suci yang pasti dalam kebenarannya, final sebagai wahyu terakhir, dan mengikat sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Ajarannya tetap relevan dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, termasuk dalam era digitalisasi yang serba tidak pasti. (Ceramah Nuzulul Qur’an Masjid Agung Nurul Iman, 17 Maret 2025 dan Masjid Al Maghfirah Lubuk Buaya Padang, 16 Maret 2025). DS.17032025.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply