EFESIENSI, TASRIF DAN TABZIR
Oleh: Duski Samad
Khutbah Masjid Agung Nurul Iman Kota Padang, Jumat 11 April 2025
Setelah idul fitri ini, April 2025 ini jagad pergerakan ekonomi dan pemerintah disibukkan oleh efesiensi dan perang dagang yang ditiup terompetnya oleh Presiden Trump Amerika Serikat. Khutbah ini akan focus membahas berkenaan efesiensi. Makna dan tujuan efisiensi secara umum dapat dijelaskan, efisiensi adalah kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau mencapai tujuan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin, baik itu waktu, tenaga, biaya, atau bahan, tanpa mengurangi kualitas hasilnya.
Dengan kata lain efisiensi adalah mencapai hasil maksimal dengan pengorbanan minimal. Tujuan efisiensi adalah menghemat sumber daya. Mengurangi pemborosan dalam penggunaan uang, waktu, tenaga, dan bahan. Meningkatkan Produktivitas. Lebih banyak hasil dapat dicapai dengan jumlah input yang sama atau lebih sedikit. Menurunkan Biaya Operasional. Menjadikan proses lebih murah dan ringan secara ekonomi. Meningkatkan Daya Saing. Organisasi atau individu yang efisien lebih tangguh dalam persaingan. Memaksimalkan Kinerja Sistem. Menjadikan semua bagian dari sistem bekerja optimal dan terkoordinasi.
Efisiensi dalam konteks pemerintahan, masyarakat, dan keluarga menyentuh inti dari bagaimana sumber daya—baik itu waktu, tenaga, uang, maupun materi—digunakan secara optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Berikut penjabaran singkatnya. Efisiensi dalam Pemerintahan esensinya adalah engelola anggaran, sumber daya manusia, dan kebijakan secara tepat guna dan tepat sasaran. Tujuannya untuk pelayanan publik yang maksimal dengan biaya seminimal mungkin. Contohnya digitalisasi pelayanan publik untuk memangkas birokrasi dan mencegah pemborosan anggaran.
Efisiensi dalam masyarakat esensinya adalah kolaborasi antar anggota masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan usaha yang tidak berlebihan. Tujuannya adalah harmoni sosial, produktivitas kolektif, dan keberlanjutan hidup bermasyarakat. Contohnya: Gotong royong sebagai bentuk efisiensi tenaga dan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan bersama.
Efisiensi dalam keluarga esensinya adalah mengatur pengeluaran, waktu, dan tanggung jawab antaranggota keluarga secara seimbang dan bermanfaat. Tujuannya stabilitas ekonomi keluarga dan kualitas hidup yang baik. Contohnya: Membuat anggaran bulanan, membagi tugas rumah tangga, dan merencanakan kegiatan secara bersama.
TASRIF
Efesiensi maknanya yang paling nyata adalah tidak berfoya-foya, berlebih-lebihan dan boros sebagaimana dimaksud adalah firman Allah dalam Surah Al-A’raf ayat 31: Artinya: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Falam Tafsir Al-Tabari Ibn Jarir menjelaskan bahwa perintah makan dan minum adalah bentuk izin dari Allah, namun dilarang berlebih-lebihan baik dalam jumlah maupun cara. Israf (berlebih) berarti melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh, atau menggunakan harta di luar kebutuhan wajar. Al-Qurthubi menyebut bahwa israf bisa bermakna makan berlebihan secara fisik (melebihi kebutuhan). Makan dari harta yang haram atau merugikan. Mengonsumsi sesuatu dengan cara yang sombong dan angkuh.Ia juga mengutip hadits Nabi: “Tidak ada wadah yang diisi lebih buruk oleh anak Adam selain perutnya.”
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan kesederhanaan dalam konsumsi. Allah memberi kelapangan dalam makan dan minum, tetapi tidak menyukai orang yang melampaui batas, karena hal itu bisa membawa kepada penyakit jasmani maupun rohani.
Tafsir Sayyid Qutb (Fi Zhilalil Qur’an), Sayyid Qutb menekankan bahwa ayat ini adalah bagian dari manhaj hidup Islami yang seimbang, antara kenikmatan duniawi dan disiplin spiritual. Makan dan minum dibolehkan, tapi harus dijaga dari sikap konsumtif dan hedonistik.
Tafsir Buya Hamka (Tafsir Al-Azhar) Buya Hamka mengaitkan ayat ini dengan kesadaran sosial dan kesehatan. Berlebihan dalam makan bukan hanya merusak diri sendiri, tapi juga tidak etis secara sosial, apalagi di tengah masyarakat yang banyak kekurangan. Ia menekankan etika konsumsi sebagai bagian dari keimanan.
Pendekatan ekologis dan ekonomi kontemporer, ayat ini juga sering dijadikan dasar dalam kampanye gaya hidup berkelanjutan, anti pemborosan pangan, dan konsumerisme modern. Konsep israf kini dipahami luas. Dilarang berlebihan dalam penggunaan energi, air, plastik, dll. Konsumsi tak bijak yang merusak lingkungan dan sosial. Ayat ini mengajarkan prinsip moderasi (wasathiyah) dalam hidup. Makan dan minum adalah nikmat, tetapi pengendalian diri dan kesadaran sosial adalah nilai utama dalam Islam. Larangan berlebih bukan sekadar fisik, tapi mencakup etika, spiritual, dan lingkungan.
TABZIR
Tabzir maksudnya mubazir, ayat yang dimaksud adalah firman Allah dalam Surah Al-Isra’ (17) ayat 26-27, Artinya: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.”
Tafsir Al-Tabari, Ibn Jarir menjelaskan bahwa tabdzir (pemborosan) adalah menggunakan harta bukan pada tempatnya, baik itu dalam jumlah besar maupun kecil. Orang yang melakukan tabdzir disamakan dengan saudara setan, karena seperti setan, mereka menghancurkan dan tidak memelihara nikmat Allah.
Tafsir Al-Qurthubi, Tabdzir adalah menginfakkan harta pada hal yang tidak benar atau tidak berguna, termasuk membelanjakan untuk maksiat. Ia mengutip riwayat bahwa sebagian sahabat memaknai tabdzir sebagai memberikan harta kepada orang yang tidak berhak. Pemborosan membuat seseorang mirip setan: suka merusak, tidak peduli maslahat.
Ibnu Katsir menegaskan bahwa Allah memerintahkan penggunaan harta secara bijak. Memboroskan harta menunjukkan ketidaksyukuran atas nikmat, dan menyerupai perbuatan setan yang suka merusak. Orang yang mubazzir adalah mereka yang tidak bertanggung jawab terhadap nikmat.
Sayyid Qutb (Fi Zhilalil Qur’an) memandang pemborosan sebagai bentuk perlawanan terhadap nilai-nilai sosial dan spiritual Islam. Dalam sistem Islam, harta bukan hanya milik pribadi, tetapi juga amanah sosial. Pemboros adalah egois dan tidak sadar sosial, mirip dengan setan yang tidak taat dan tidak peduli.
Buya Hamka menekankan bahwa mubazzir adalah tidak menghargai nikmat dan tidak berpikir jangka panjang. Beliau mencontohkan: Membeli barang mewah tanpa manfaat. Menghamburkan makanan di tengah masyarakat yang lapar. Mengadakan pesta besar tanpa makna. Itu semua mendekati sifat setan: membuat kerusakan dan menipu manusia.
Tafsir sosial-ekonomi kontemporer Tabdzir hari ini mencakup konsumerisme berlebihan (membeli karena gengsi, bukan kebutuhan). Pemborosan energi dan sumber daya alam. Gaya hidup yang mendorong ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan. Para mufasir modern menekankan bahwa pemborosan juga adalah bentuk kezaliman terhadap alam, masyarakat, dan masa depan.
RELEVANSI EFESIENSI DENGAN TASRIF DAN TABZIR
Relevansi Efisiensi dengan Israf (إسراف) dan Tabdzir (تبذير). Efisiensi adalah kemampuan menggunakan sumber daya secara optimal untuk mencapai hasil maksimal tanpa pemborosan. Israf (إسراف): Berlebihan dalam penggunaan sesuatu melebihi kebutuhan. Bisa dalam makan, pakaian, gaya hidup, dll. Tabdzir (تبذير): menghambur-hamburkan sesuatu tanpa arah dan tanpa manfaat. Umumnya dalam konteks harta atau materi.
Hubungan dan relevansi konteks Islam, Islam mendorong efisiensi dalam segala hal: ibadah, harta, waktu, energi. Islam melarang israf dan tabdzir karena menyebabkan kerusakan (fasad) dan kesenjangan. Efisiensi adalah bagian dari syukur kepada nikmat Allah; sedangkan israf dan tabdzir adalah bentuk kufur nikmat. Contoh Praktis, Efisiensi, mengelola anggaran masjid untuk program pendidikan, sosial, dan dakwah secara terukur.
Israf, membeli alat sound system mewah hanya untuk gengsi, melebihi kebutuhan sebenarnya. Tabdzir, menghamburkan dana untuk acara yang tidak bermanfaat, seperti hiburan kosong. Efisiensi adalah jalan tengah (wasathiyah) antara israf dan tabdzir. Ia mencerminkan sikap Islam yang mendorong, keseimbangan hidup. Tanggung jawab sosial.Keberlanjutan sumber daya dan etika dalam konsumsi.
Islam adalah agama yang menyeimbangkan antara kebutuhan dunia dan akhirat. Dalam setiap aspek kehidupan, Islam mendorong efisiensi—yakni penggunaan sumber daya secara tepat, hemat, dan bermanfaat. Sebaliknya, Islam melarang israf (berlebihan) dan mubazzir (pemborosan), karena keduanya merusak tatanan hidup dan menyia-nyiakan nikmat Allah.(QS. Al-A’raf: 31) begitu mubazir (QS. Al-Isra’: 27).
Dua ayat ini menunjukkan bahwa israf dan mubazzir bukan sekadar perilaku tercela, namun menyeret manusia ke dalam barisan yang dibenci Allah dan diserupakan dengan setan. Nabi Muhammad SAW pun mencontohkan hidup efisien. Beliau sangat hemat dalam penggunaan air ketika berwudhu. Dalam satu hadis disebutkan: “Rasulullah SAW berwudhu dengan satu mud (± 600 ml) dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud (± 2,5 liter).”(HR. Bukhari dan Muslim). Padahal air adalah sesuatu yang suci dan penting. Bahkan ketika berwudhu di sungai yang airnya melimpah, Nabi tetap mengajarkan untuk tidak boros.
Efisiensi Menurut Pendekatan Ilmiah, dalam ilmu ekonomi, efisiensi berarti menghasilkan output maksimal dengan input minimal. Efisiensi menciptakan produktivitas, menghindari kerugian, dan menjaga kelestarian sumber daya. Negara yang efisien akan sejahtera. Rumah tangga yang efisien akan bahagia. Lembaga yang efisien akan berdaya saing.
Sebaliknya, israf dan mubazzir menimbulkan krisis energi dan lingkungan. Sampah makanan dan sumber daya. Kesenjangan sosial. Ketimpangan ekonomi. Efisiensi adalah bagian dari amanah dan tanggung jawab. Ketika kita mampu mengelola sumber daya dengan efisien, maka kita sedang menjalankan perintah Allah dan meneladani Rasulullah.
Mari kita renungkan betapa banyak nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Air, makanan, waktu, tenaga, uang—semuanya amanah yang harus dijaga. Jangan kita habiskan untuk hal sia-sia. Jangan kita gunakan secara sembrono. “Kemudian kamu pasti akan ditanyai tentang nikmat-nikmat itu.”(QS. At-Takatsur: 8). Maka mari kita tanamkan dalam hati dan perbuatan, hidup ini harus efisien. Efisien dalam penggunaan waktu. Efisien dalam mengatur harta. Efisien dalam bekerja dan beribadah. Jadikan prinsip “cukup, manfaat, dan berkah” sebagai pedoman.
Kesimpulan:
Efisiensi bukan sekadar prinsip ekonomi, tapi merupakan nilai kehidupan yang dijunjung tinggi dalam Islam. Efisiensi berarti menggunakan setiap nikmat—waktu, tenaga, harta, maupun potensi—dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, agar menghasilkan manfaat maksimal tanpa pemborosan. Inilah wujud nyata dari syukur nikmat.
Dalam bahasa Al-Qur’an, efisiensi itu sejalan dengan larangan terhadap dua sikap buruk: israf (tasrif) dan tabzir. Tasrif adalah berlebih-lebihan dalam segala hal, bahkan dalam hal yang halal seperti makan dan minum. Tabzir adalah pemborosan—menghamburkan sumber daya pada hal yang tidak perlu, tidak berguna, bahkan kadang maksiat. Keduanya bukan hanya tercela, tapi disandingkan dengan perbuatan setan.
Islam adalah agama wasathiyah—jalan tengah yang menyeimbangkan antara kenikmatan dan pengendalian diri, antara hak pribadi dan tanggung jawab sosial. Rasulullah SAW sendiri adalah teladan hidup efisien. Beliau tidak pernah mubazir, bahkan ketika air melimpah, wudhunya tetap hemat. Ini bukan soal jumlah, tapi soal sikap dan kesadaran.
Maka, mari kita tanamkan nilai efisiensi sebagai bagian dari keimanan dan kepribadian Muslim. Efisien dalam mengatur harta, waktu, tenaga, bahkan dalam gaya hidup. Hindari israf yang menjerumuskan pada kesombongan.
Jauhi tabzir yang hanya mengundang kerusakan. Jadikan prinsip hidup kita: cukup, manfaat, dan berkah. Karena setiap nikmat akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana firman Allah: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai tentang nikmat-nikmat itu.” (QS. At-Takatsur: 8). Semoga kita termasuk hamba yang menjaga nikmat Allah dengan efisien, bukan hamba yang menyia-nyiakan dan menyesal di kemudian hari.DS.10042025.