FITRI, FITHRI DAN ZAMAN FUTRAH Oleh: Duski Samad

Artikel Tokoh134 Views

FITRI, FITHRI DAN ZAMAN FUTRAH

Oleh: Duski Samad
Pembina Media online sigi24.com indonesiamadani.com dan ic-syekhburhanuddin.com dan TV Syekh Burhanuddin.

 

Judul di atas disampaikan oleh ustad dalam ceramah awal syawal 1446H. Ada yang salah paham dan sekaligus mengingatkan banyak jamaah futrah, terputus hubungannya dengan masjid setelah idul fitri.

Secara bahasa dan ejaan, “fitri” dan “fithri” sering dianggap sama karena salah paham akar kata keduanya sama dalam bahasa Arab. Fitri dengan “t” harusnya berbeda dengan fithri dengan huruf “th” itu sebelum ada tranliterasi EYD, perbedaan penulisan muncul karena transliterasi.
Berikut perbedaannya fitri bentuk baku dalam bahasa Indonesia (sesuai KBBI).
Contoh: Idul Fitri, sifat fitri manusia.
Sedangkan “Fitri” berarti suci, kembali ke asal kejadian (fitrah), atau alami. Fithri bentuk transliterasi Arab yang lebih mendekati bunyi asli, dari kata فِطْرِيّ (fiṭrī).
Huruf “ث” dalam bahasa Arab kadang ditulis dengan “th” (untuk bunyi “ṯ” atau “ẓ”), meskipun dalam kata “fitri” sebenarnya huruf Arab-nya adalah ط (ṭa), bukan ث.

Dalam bahasa Indonesia penulisan “fithri” bisa dianggap tidak sesuai transliterasi standar karena menambahkan “h”, namun dalam “rasa” bahasa Arab yang pakai “th” yang tepat. Fitri tanpa “h” itu berarti putus, mundur dan terkebelakang.

Ayat yang secara paling jelas menunjukkan fitri tanpa “h’ adalah masa futrah yakni terputusnya kenabian dan risalah sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW adalah:
QS. Al-Ma’idah: 19
“Wahai Ahli Kitab! Sungguh telah datang kepada kalian Rasul Kami (Muhammad) yang menjelaskan kepada kalian setelah terputusnya (masa) para rasul…” (QS.Al- Maidah,19). Kata kuncinya adalah: “على فترةٍ من الرسل” (‘ala fatratin minar-rusul**)
= setelah masa jeda atau kekosongan dari rasul-rasul.

“Fatrah” di sini bermakna masa di mana tidak ada rasul diutus, yakni setelah Nabi Isa ‘.

Sedangkan istilah “futrah” (atau yang lebih tepatnya ditulis fitrah dalam transliterasi baku) memang disebut dalam Al-Qur’an dan menjadi konsep penting dalam Islam, terutama tentang asal penciptaan manusia dan potensi keimanannya. Ayat yang menyebut kata fitrah secara eksplisit adalah”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum, 30).
“Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.”
Makna Fithrah yang berasal dari akar kata Arab fa-ta-ra (ف-ط-ر) yang berarti membuka, memulai, menciptakan dari awal. Dari sini, fitrah diartikan sebagai keadaan alami atau murni saat manusia diciptakan. Potensi mengenal dan menerima kebenaran, khususnya tauhid (keesaan Allah). Sifat dasar manusia yang cenderung kepada kebaikan dan keimanan.

Makna “Zaman Fitrah”:
Secara eksplisit, tidak ada istilah “zaman futrah” dalam Al-Qur’an, tapi istilah ini sering digunakan oleh para ulama atau pemikir untuk menggambarkan masa awal manusia yang masih berada dalam kondisi fitrah. Belum terkontaminasi oleh syirik, budaya jahiliyah, atau penyimpangan dari ajaran tauhid. Kadang dikaitkan dengan masa Nabi Adam atau masa sebelum rusaknya ajaran tauhid, sebelum munculnya penyembahan berhala.

ZAMAN FITRAH
Istilah “Zaman Fitrah” dalam dakwah dan pemikiran Islam bisa digunakan sebagai konsep kunci untuk menggambarkan suatu periode atau kondisi ketika kesadaran tauhid dan nilai-nilai dasar kemanusiaan belum tercemari oleh penyimpangan akidah, ideologi, atau budaya menyimpang.
1.Definisi Konseptual “Zaman Fitrah”
Zaman Fitrah adalah fase dalam sejarah atau kondisi sosial di mana manusia masih berada dalam keadaan alami (fitrah), cenderung kepada tauhid dan kebenaran, namun belum mendapatkan bimbingan wahyu secara formal atau risalah kenabian.

Al-Quran surat Ar-Rum: 30 yang menigingatkanntentang fitrah manusia yang cenderung kepada tauhid.
Pada sura tAl-Ma’idah: 19 – tentang fatrah (kekosongan rasul) sebelum Nabi Muhammad SAW.

Zaman Fitrah bisa digunakan untuk
Mendekati masyarakat modern yang belum mengenal Islam secara utuh, seperti masyarakat sekuler, agnostik, atau korban modernisme ekstrem. Mengembangkan pendekatan dakwah humanistik yang membangkitkan fitrah:
Menyentuh nurani, logika sehat, dan kebutuhan spiritual. Bukan langsung menyerang keyakinan lama, tapi mengajak kembali ke fitrah asli.

Dalam Pemikiran Islam konsep ini digunakan oleh tokoh-tokoh seperti:
Sayyid Qutb dalam “Fī Ẓilāl al-Qur’ān” untuk menggambarkan zaman jahiliyah modern sebagai penyimpangan dari fitrah. Malik Bennabi menyebut pentingnya “syurūṭ al-nahḍah” (prasyarat kebangkitan) adalah menghidupkan kembali kesadaran fitrah manusia. Fazlur Rahman dan Nurcholish Madjid melihat bahwa masyarakat bisa digugah melalui pendekatan rasional dan spiritual yang sesuai fitrah.
Strategi Dakwah Berbasis “Zaman Fitrah”. Dakwah bukan sekadar menyampaikan hukum, tapi membangkitkan kembali potensi ruhani dan akal sehat. Fokus pada nilai tauhid, keadilan, kasih sayang, dan akhlak universal sebagai jalan masuk. Gunakan pendekatan uswah hasanah (keteladanan), bukan konfrontasi.
Relevansi untuk Indonesia dan Dunia Modern. Banyak masyarakat modern yang hidup dalam “zaman fatrah kontemporer”: tahu agama tapi tidak paham hakikatnya. Islam bisa ditawarkan bukan sebagai dogma keras, tapi sebagai jawaban alami atas kegelisahan spiritual dan krisis moral zaman.

Analisa
Dari segi bahasa
“Fitri” adalah bentuk baku dalam Bahasa Indonesia (KBBI), berasal dari kata fitrah (فِطْرَة) yang bermakna suci, alami, kembali ke asal penciptaan. “Fithri” menggunakan transliterasi Arab non-standar dengan tambahan huruf “h” (th) yang mengesankan huruf ث (tsa), padahal dalam kata “fitri” huruf aslinya adalah ط (ṭa), bukan ث.

Kesimpulan linguistik secara ejaan baku dan standar KBBI, “fitri” lebih tepat. Penulisan “fithri” adalah bentuk fonetik Arab yang tidak sesuai dengan kaidah transliterasi resmi namun memenuhi rasa regiliustas.

Analisa Nash dalam surat Al-Ma’idah: 19 makna kata “fatrah” adalah jeda atau kekosongan kenabian. Ini menandakan “masa fitri” secara dakwah, yaitu fase manusia hidup tanpa bimbingan wahyu yang segar.

Sedangkan dalam surat Ar-Rum: 30
Ini adalah dasar ontologis bahwa manusia memiliki potensi fitrah: mengenal Tuhan, mencintai kebaikan, dan condong kepada tauhid.

Kajian ilmiah dan fatwa. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pedoman penulisan dan transliterasi umumnya menganjurkan penyesuaian dengan EYD dan KBBI, terutama dalam dakwah publik.
Dalam tulisan ilmiah, penggunaan “fitri” diutamakan kecuali untuk kebutuhan khusus (kajian bahasa Arab, fiqh lughawy).
Penggunaan istilah “fithri” dalam teks populer atau judul keagamaan seringkali terjadi karena pengaruh budaya Arab atau keinginan menyerap nuansa “keaslian” Arab, namun tidak berdampak pada substansi hukum syar’i.

ZAMAN FITRAH.
Zaman Fitrah adalah kondisi masyarakat atau peradaban yang hidup tanpa bimbingan wahyu, namun secara alamiah memiliki kecenderungan kepada tauhid, akhlak, dan kebaikan. QS. Al-Ma’idah: 19. Menyiratkan masa fatrah sebagai jeda kenabian. QS. Ar-Rum: 30. Menegaskan eksistensi fitrah dalam setiap manusia.

Aplikasi dalam Dakwah. Dakwah zaman ini harus bersifat humanistik, empatik, dan membangkitkan fitrah, bukan sekadar fiqhiyah atau formalistik. Menyasar masyarakat urban, rasional, sekuler, dan generasi yang tercerabut dari tradisi agama.

Dalam pemikiran Islam, Sayyid Qutb menulis bahwa zaman jahiliyah modern adalah penyimpangan dari fitrah. Malik Bennabi menyatakan bahwa bangkitan Islam memerlukan kebangkitan kesadaran fitrah.

Fazlur Rahman dan Nurcholish Madjid menyatakan bahwa Islam harus tampil sebagai agama fitrah yang mampu menjawab kegelisahan akal dan jiwa manusia modern.

Dakwah Zaman Fitrah
Kembalikan manusia kepada nilai dasar tauhid dan kemanusiaan. Gunakan pendekatan rasional, spiritual, dan kontekstual. Hindari konfrontasi ideologis, pilih jalan hikmah dan keteladanan.

Perbedaan antara fitri dan fithri bukan hanya soal bahasa, tetapi juga mencerminkan kesadaran akan pentingnya ketepatan makna dalam dakwah dan pendidikan Islam. Sementara itu, konsep Zaman Fitrah penting untuk memetakan strategi dakwah masa kini—membangkitkan kembali kesadaran ruhani dalam masyarakat modern yang kehilangan makna.

Kesimpulan
Perbedaan “Fitri” dan “Fithri”.
Secara bahasa dan ejaan, istilah “fitri” dan “fithri” seringkali dianggap sama karena disangka memiliki akar kata Arab yang serupa. Namun, perbedaan mendasar muncul dari transliterasi huruf Arab ke dalam Latin.

“Fitri” adalah bentuk baku dalam Bahasa Indonesia (KBBI), berasal dari kata fitrah (فِطْرَة) yang bermakna suci, kembali ke asal kejadian, atau alami. Contoh penggunaan nya: Idul Fitri, sifat fitri manusia.

“Fithri” merupakan bentuk transliterasi fonetik Arab non-standar, berasal dari kata فِطْرِيّ (fiṭrī). Penggunaan huruf “th” mengesankan seolah berasal dari huruf ث (tsa), padahal dalam kata “fitri”, huruf Arab aslinya adalah ط (ṭa), bukan ث.

Dalam standar transliterasi resmi (Kemenag dan EYD), “fitri” tanpa “h” adalah bentuk yang benar. Penulisan “fithri” lebih bersifat “rasa keagamaan” yang ingin mempertahankan nuansa keaslian Arab, namun tidak sesuai secara ejaan baku.

Nash Al-Qur’an: Fatrah dan Fitrah
QS. Al-Ma’idah: 19. Ayat ini menegaskan konsep “fatrah”, yakni masa jeda atau kekosongan kenabian sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Ini menjadi landasan istilah “zaman fatrah” dalam konteks dakwah: periode manusia tanpa bimbingan risalah.

QS. Ar-Rum: 30. Ayat ini merupakan dasar ontologis dari konsep fitrah, yaitu bahwa manusia secara alami cenderung kepada tauhid, kebaikan, dan pencarian makna. Fitrah adalah potensi keimanan bawaan yang melekat sejak penciptaan manusia.

Zaman Fitrah
Zaman Fitrah adalah istilah untuk menggambarkan kondisi sosial atau sejarah ketika manusia masih berada dalam keadaan alami (fitrah), belum tercemar oleh penyimpangan aqidah, budaya jahiliyah, atau ideologi sesat, namun juga belum mendapatkan bimbingan wahyu secara formal.

Aplikasi Dakwah. Konsep ini penting untuk mendekati masyarakat modern sekuler, urban, atau agnostik, yang hidup dalam kondisi “zaman fatrah kontemporer”.

Strategi dakwah harus humanistik, rasional, dan spiritual, bukan sekadar formalistik.
Pandangan Pemikir Islam. Sayyid Qutb: Dunia modern adalah bentuk baru jahiliyah karena telah menyimpang dari fitrah.

Malik Bennabi: Kebangkitan Islam (nahdah) harus dimulai dengan kebangkitan kesadaran fitrah. Fazlur Rahman dan Nurcholish Madjid: Islam harus tampil sebagai agama fitrah, menjawab. ds.amak#14042025.

Leave a Reply