Fullday School : Dampaknya terhadap Pendidikan Karakter dan Pelestarian Budaya Lokal di Sumatera Barat Oleh: Duski Samad

Artikel Tokoh147 Views

Fullday School : Dampaknya terhadap Pendidikan Karakter dan Pelestarian Budaya Lokal di Sumatera Barat

Oleh:

Duski Samad

Ketua Yayasan Islamic Centre Penyelenggara STIT Syekh Burhanuddin, Padang Pariaman Email: [duskisamad@gmail.com

 

 

Kebijakan fullday school merupakan strategi nasional untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pembentukan karakter peserta didik. Di Sumatera Barat, daerah yang dikenal dengan budaya religius dan adat Minangkabau yang kuat, kebijakan ini menimbulkan berbagai respon.

Fullday school berpotensi memperkuat karakter, namun penerapannya dapat mengganggu peran keluarga, surau, dan lingkungan adat dalam pendidikan anak. Oleh karena itu, dibutuhkan adaptasi kebijakan berbasis kearifan lokal untuk menjamin efektivitasnya.

Kebijakan fullday school pada dasarnya diterapkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, terutama dalam aspek karakter dan akhlak. Namun, di daerah dengan budaya lokal yang kuat seperti Sumatera Barat, implementasi kebijakan tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-budaya dan keagamaan masyarakat.

Artikel ini mengeksplorasi bagaimana kebijakan tersebut mempengaruhi karakter siswa serta interaksinya dengan lingkungan budaya Minangkabau yang berbasis adat dan syarak.

 

Dampak Positif.

Penguatan Pendidikan Karakter. Waktu lebih panjang di sekolah memberikan ruang bagi pembinaan nilai disiplin, tanggung jawab, dan spiritualitas. Pengawasan Anak Lebih Maksimal: Anak-anak lebih terjaga dari lingkungan luar yang berisiko negatif. Ada beberapa dampak positif dari fullday school.

 

1. Penguatan Pendidikan Karakter

a. Ruang untuk Pembinaan Nilai-Nilai Inti.

Waktu yang lebih panjang di lingkungan sekolah memungkinkan pendidik untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter secara lebih sistematis ke dalam proses belajar mengajar. Dengan adanya waktu ekstra, guru tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek afektif dan psikomotor, yang meliputi:

 

Disiplin: Rutinitas harian dan aturan yang diterapkan secara konsisten memberi contoh nyata bagi siswa dalam belajar menghargai waktu dan mematuhi tata tertib.

Tanggung Jawab: Kegiatan yang diselenggarakan di luar kelas, seperti tugas kelompok atau proyek nyata, mendorong siswa untuk mengembangkan rasa tanggung jawab atas peran mereka masing-masing.

Spiritualitas: Kurikulum tambahan yang mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan, seperti pembacaan doa, pengajaran moral, dan kegiatan keagamaan, membantu membentuk kepekaan spiritual yang sejalan dengan nilai-nilai Islam dan budaya setempat.

b. Integrasi Kegiatan Ekstrakurikuler dan Pendidikan Karakter

Ketersediaan waktu tambahan juga memungkinkan pelaksanaan program ekstrakurikuler yang mendukung pembentukan karakter. Misalnya, kegiatan seni, olahraga, dan diskusi kelompok bisa menjadi medium untuk melatih kerja sama, rasa percaya diri, serta kemampuan memecahkan masalah. Program seperti ini memberi dampak positif dalam menanamkan nilai-nilai karakter melalui pengalaman langsung, yang sering kali lebih bermakna dibandingkan ceramah formal.

c. Peningkatan Kualitas Hubungan Interpersonal di Sekolah

Proses pembelajaran di luar ruang kelas—melalui kerja kelompok dan interaksi antar siswa—memberikan peluang untuk mengembangkan empati dan kepedulian sosial. Hal ini penting dalam pembentukan karakter, karena siswa belajar bagaimana menghargai perbedaan, membangun solidaritas, serta memahami pentingnya kolaborasi dalam mencapai tujuan bersama.

2. Pengawasan Anak Lebih Maksimal

a. Lingkungan yang Aman dan Terstruktur

Dengan durasi waktu yang lebih panjang di sekolah, anak-anak berada dalam lingkungan yang terstruktur dan diawasi oleh pendidik serta staf sekolah. Hal ini membantu:

Mengurangi risiko paparan terhadap pengaruh negatif yang mungkin muncul dari lingkungan di luar, seperti perilaku menyimpang atau pergaulan bebas.

Menjamin bahwa waktu luang tidak digunakan untuk aktivitas yang dapat merugikan perkembangan mental dan fisik anak.

b. Pencegahan Terhadap Perilaku Negatif dan Risiko Sosial

Peningkatan waktu pengawasan merupakan mekanisme preventif yang efektif dalam mengurangi kemungkinan terjadinya kenakalan remaja. Dalam konteks lokal, di mana pengawasan keluarga mungkin terbatas karena berbagai faktor sosial-ekonomi, peran sekolah menjadi krusial dalam menjaga moral dan perilaku siswa.

Dengan pengawasan yang konsisten, sekolah dapat memantau dan memberikan intervensi dini jika terdapat indikasi perilaku menyimpang.

Program bimbingan konseling dan kegiatan penguatan karakter yang dijalankan selama jam sekolah dapat membantu mengatasi permasalahan personal atau sosial yang muncul.

c. Peningkatan Partisipasi Aktif dalam Pembelajaran

Anak-anak yang berada dalam lingkungan sekolah selama lebih lama cenderung memiliki kesempatan lebih besar untuk terlibat dalam berbagai kegiatan edukatif. Keterlibatan ini meningkatkan rasa memiliki terhadap lingkungan belajar, yang pada gilirannya menurunkan tingkat absensi atau bahkan terlibat dalam aktivitas yang kurang konstruktif di luar sekolah.

Secara keseluruhan, kedua temuan tersebut menunjukkan bahwa perpanjangan waktu di sekolah—dengan pemanfaatan waktu secara optimal—berpotensi menjadi instrumen penguatan pendidikan karakter dan sebagai upaya pengawasan yang mendukung keselamatan serta kualitas perkembangan siswa. Adaptasi kurikulum dan metode pembelajaran yang sesuai sangat diperlukan agar manfaat tersebut dapat terwujud secara maksimal dan berkelanjutan.

 

B. Dampak Negatif

Erosi Peran Surau dan Keluarga: Fullday mengurangi interaksi anak dengan keluarga, mamak, dan surau, yang merupakan institusi pendidikan tradisional di Minangkabau.

Tantangan Kultural: Beberapa nilai lokal seperti silat, randai, kaba, dan adat istiadat sulit masuk dalam kurikulum formal. Beban Sosial-Ekonomi: Fullday menyebabkan tambahan beban konsumsi dan logistik, terutama bagi masyarakat pedesaan.

Dampak negatif dari kebijakan fullday school dalam konteks pendidikan karakter dan budaya lokal di Sumatera Barat:

1. Erosi Peran Surau dan Keluarga

a. Melemahnya Sistem Pendidikan Tradisional. Dalam tradisi Minangkabau, surau dan keluarga—terutama mamak (paman dari garis ibu)—memiliki peran sentral dalam membentuk karakter dan identitas anak. Surau bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga lembaga pendidikan nonformal yang mengajarkan adab, agama, silat, dan nilai-nilai adat.

Kebijakan fullday school yang memonopoli waktu anak hingga sore hari menyebabkan:

Berpindahnya pusat pendidikan karakter dari masyarakat ke institusi formal, yang belum tentu memahami nilai-nilai lokal.

Menurunnya interaksi lintas generasi yang selama ini memperkuat transmisi nilai adat dan agama.

b. Gangguan Pola Asuh Tradisional

Fullday school mengganggu jadwal harian keluarga. Anak pulang dalam keadaan lelah, menyisakan sedikit waktu untuk berdialog atau beraktivitas bersama keluarga besar. Akibatnya, nilai-nilai seperti salingka nagari, gotong royong, dan sopan santun yang biasa ditanamkan lewat interaksi informal di rumah dan kampung jadi berkurang.

 

2. Tantangan Kultural: Eksklusi Nilai Lokal dari Kurikulum

a. Kurikulum Nasional Kurang Kontekstual

Kurikulum yang digunakan dalam fullday school umumnya bersifat nasional dan berorientasi akademik, sehingga cenderung mengabaikan muatan lokal. Nilai-nilai dan ekspresi budaya Minangkabau seperti: Silat tradisional (silek) sebagai pendidikan fisik dan mental,

Berikut adalah analisis mendalam terhadap tiga dampak negatif dari kebijakan fullday school dalam konteks pendidikan karakter dan budaya lokal di Sumatera Barat.

3. Beban Sosial-Ekonomi terhadap Keluarga

a. Penambahan Biaya Hidup Sehari-hari

Keluarga, terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah di pedesaan, menghadapi beban baru berupa: Biaya makan siang dan snack harian, karena siswa tidak pulang makan siang.

Transportasi dan kebutuhan logistik tambahan, seperti seragam, tas, atau alat tulis lebih banyak.

 

b. Ketimpangan Akses dan Keadilan Pendidikan..Tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang layak untuk mendukung model fullday. Akibatnya: Anak-anak dari keluarga mampu dan sekolah favorit bisa menikmati manfaat fullday school,

Sementara siswa dari daerah tertinggal justru mengalami kelelahan, stres, dan tidak optimal dalam belajar, sehingga memperlebar kesenjangan pendidikan.

 

c. Dampak Psikologis dan Kesehatan Anak

Jadwal yang padat dan minim waktu istirahat dapat berdampak pada kondisi fisik dan mental anak. Stres akademik, kejenuhan, dan kurangnya waktu bermain dapat melemahkan kreativitas dan semangat belajar, terutama bagi anak usia SD dan SMP.

 

Kesimpulan

Kebijakan fullday school merupakan upaya strategis dalam penguatan pendidikan karakter peserta didik secara nasional. Di Sumatera Barat, kebijakan ini memberi peluang dalam membentuk disiplin, tanggung jawab, dan spiritualitas siswa secara lebih terstruktur dan berkelanjutan. Waktu yang lebih panjang di sekolah dapat menjadi ruang efektif untuk mengintegrasikan nilai-nilai moral dan sosial, sekaligus meningkatkan pengawasan terhadap anak dari pengaruh negatif lingkungan luar.

Dalam konteks sosial-budaya Minangkabau yang mengandalkan kekuatan pendidikan informal melalui surau, mamak, dan keluarga besar, kebijakan ini menimbulkan dampak negatif yang tidak dapat diabaikan. Erosi peran institusi tradisional, sulitnya mengintegrasikan budaya lokal ke dalam kurikulum nasional, serta bertambahnya beban sosial-ekonomi bagi keluarga, menjadi tantangan nyata.

Oleh karena itu, fullday school perlu disesuaikan dengan kearifan lokal Minangkabau yang menjunjung tinggi keseimbangan antara pendidikan formal, nonformal, dan informal. Diperlukan desain kebijakan yang adaptif, integratif, dan kontekstual agar tujuan penguatan karakter tetap tercapai tanpa mengorbankan pelestarian budaya lokal dan keharmonisan sosial masyarakat.ds. 18042025.

Leave a Reply