Fungsi Spiritual Masjid dan Tantangannya Oleh: Dr. H. Afrizen, S.Ag., M.Pd.

Artikel Tokoh271 Views

Fungsi Spiritual Masjid dan Tantangannya
Oleh: Dr. H. Afrizen, S.Ag., M.Pd.
Bendahara Dewan Masjid Indonesia Sumbar

Masjid adalah simbol suci umat Islam, sebuah tempat yang tak hanya menjadi rumah ibadah tetapi juga pusat pendidikan, sosial, dan kebudayaan. Keberadaan masjid mencerminkan jantung kehidupan umat yang penuh kehangatan kebersamaan dan kekhusyukan spiritual. Namun, dalam praktiknya, pengelolaan masjid di era modern menghadapi berbagai tantangan yang kompleks.

Belakangan ini, perhatian masyarakat terhadap pengelolaan masjid semakin meningkat. Tidak hanya menyangkut aspek spiritual, tetapi juga bagaimana masjid dijaga dan diberdayakan secara optimal. Kasus-kasus yang mencuat di media sosial menjadi cermin dari berbagai dinamika yang terjadi.

Sebut saja kasus dugaan korupsi dalam pembangunan masjid raya sumbar tahun 2022 yang lalu yang melibatkan dua tersangka dan menyebabkan kerugian hingga 5 milyar bagi pemerintah. Hal ini menimbulkan duka yang mendalam bagi kita semua. Dana yang sejatinya ditujukan untuk menyelesaikan rumah Allah malah diselewengkan. Akibatnya, masjid menjadi terbengkalai, dan umat kehilangan kepercayaan terhadap pengelolaan dana keagamaan.

Tidak kalah memilukan, pada tahun 2021 kasus penyelewengan dana infak masjid oleh seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Masjid Raya Sumbar. Vonis 7 tahun penjara menjadi ganjaran yang setimpal, tetapi kerusakan moral dan sosial dari perbuatan ini telah menodai citra masjid sebagai tempat yang suci.

Kasus lainnya adalah pergantian imam yang menjadi kontroversi hingga viral di media sosial. Isu ini menunjukkan betapa perlunya komunikasi yang bijak dan keterlibatan jamaah dalam proses pengambilan keputusan. Masjid adalah milik bersama, dan setiap perubahan harus dilakukan dengan musyawarah yang mengedepankan maslahat umat.

Tidak berhenti di situ, ada pula insiden di mana sekuriti masjid melarang seorang difabel untuk beribadah. Diskriminasi ini mengundang kecaman luas, dan kami di Dewan Masjid Indonesia Sumbar menilai bahwa inklusivitas harus menjadi prinsip utama dalam pengelolaan masjid. Masjid harus ramah bagi semua orang, tanpa memandang perbedaan fisik, sosial, atau ekonomi.
Fenomena lain yang menggelitik adalah masjid yang hanya dijadikan tempat wisata atau lokasi foto-foto. Keindahan arsitektur masjid memang layak untuk diapresiasi, tetapi fungsi utamanya sebagai tempat ibadah tidak boleh terabaikan. Masjid bukan sekadar bangunan megah, melainkan ruang yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta. Jangan sampai masjid hanya menjadi rancak di labuah—indah dilihat tetapi kehilangan esensi spiritualnya.

Sebagai bagian dari Dewan Masjid Indonesia, kami memahami bahwa masalah-masalah ini memerlukan solusi strategis. Transparansi dalam pengelolaan dana, edukasi kepada pengurus dan jamaah, serta pemanfaatan teknologi modern menjadi kunci utama. Laporan keuangan yang terbuka, pelatihan pengelola masjid, dan penerapan sistem donasi digital adalah langkah yang perlu diimplementasikan.

Tidak kalah penting adalah membangun kesadaran bersama. Media sosial, yang sering kali menjadi arena perdebatan, harus kita gunakan untuk menyebarkan nilai-nilai positif tentang masjid. Melalui program-program edukasi dan sosial, kita dapat mengembalikan masjid kepada fitrahnya: sebagai pusat spiritual, sosial, dan budaya.

Saya mengajak kita semua untuk menjadikan masjid sebagai ruang inklusif yang penuh kedamaian, di mana setiap umat merasa diterima. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal…” Ayat ini menegaskan pentingnya inklusivitas dan persatuan dalam keberagaman, yang seharusnya menjadi landasan dalam pengelolaan masjid.

Dari sisi yuridis, amanat untuk menjaga masjid sebagai ruang bersama juga tercermin dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, di mana pelayanan yang diberikan kepada masyarakat harus dilakukan dengan prinsip nondiskriminasi. Masjid, sebagai salah satu institusi sosial, juga wajib mematuhi prinsip ini, sehingga memberikan pelayanan terbaik kepada setiap jamaah tanpa memandang perbedaan.

Kearifan lokal di Ranah Minang juga mengajarkan bahwa masjid adalah tali tigo sapilin—tempat yang menyatukan unsur agama, adat, dan kepentingan masyarakat. Dalam budaya Minangkabau, masjid selalu menjadi pusat kehidupan bersama, baik dalam konteks keagamaan, pendidikan, maupun musyawarah adat. Prinsip ini harus tetap dijaga agar masjid tidak hanya menjadi indah secara fisik tetapi juga bermakna bagi umat. Jangan sampai masjid hanya sekadar rancak di labuah—indah dilihat, tetapi kehilangan ruh dan nilai spiritualnya.

Mari bersama menjaga kesucian masjid, baik secara fisik maupun moral, agar fungsi mulianya terus terjaga. Semoga Allah SWT senantiasa memberi kita petunjuk dan kekuatan untuk mengelola masjid dengan amanah dan penuh keberkahan. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis, “Barang siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun untuknya rumah di surga.” (HR. Bukhari dan Muslim). Semoga kita semua dapat berkontribusi dalam menjaga dan memakmurkan masjid sebagai pusat keimanan dan kehidupan umat Islam.