GENERASI STRAWBERRY

Artikel Tokoh121 Views

GENERASI STRAWBERRY
Oleh: Azwirman, S.Pd

 

Dikutip dari Tempo.com, Generasi strawberry adalah istilah yang menggambarkan generasi muda saat ini, yang penuh dengan ide dan kreativitas, tapi mudah goyah apabila dibawah tekanan, layaknya buah stroberi yang tampak indah namun mudah hancur jika diinjak. Artinya, generasi ini adalah generasi yang mudah goyah dan menyerah jika ada tekanan sedikit saja. Jika dengan tekanan yang sedikit mereka mudah goyah, apalagi dengan tekanan yang besar.

Sebenarnya, generasi strawberi tidak melulu dengan generasi Z (gen Z) atau generasi Now. Siapapun yang mudah menyerah dan lembek dalam bekerja dan berkarya, mudah galau, mudah putus asa, takut dengan tantangan dan resiko, maka mereka bisa masuk kedalam kategori generasi Strawberry.

Dalam bukunya yang berjudul “Strawberry Generation”, Prof. Rhenald Kasali menggambarkan generasi ini sebagai kelompok yang memiliki banyak ide brilian dan tingkat kreativitas yang tinggi, namun mereka sering dianggap mudah menyerah, gampang terluka, lamban, egois dan pesimis terhadap masa depan.

Generasi Strawberry, tidak bisa dipungkiri, umumnya ada pada generasi Z (Gen Z) yaitu mereka yang lahir pada awal tahun 2000 an, hingga 2011. Atau katakanlah, anak-anak yang lahir ketika teknologi Informasi sudah sangat pesat perkembangannya. Sehingga generasi ini sering dijadikan bahan candaan dan lelucon di media social. Mereka paling suka memakai kata “healing” yang menunjukkan betapa rapuhnya mental mereka ketika dihadapkan dengan pekerjaan yang menumpuk dan stress.

Sungguhpun demikian, generasi strawberry juga tidak sedikit menjangkiti generasi diatasnya (Gen Millenial, X dan Babby Boomer) terutama yang kecanduan media sosial. Meskipun dengan tingkat yang berbeda-beda.

Lain gen Z, lain pula dengan Gen Alfa, yaitu anak-anak yang lahir tahun 2012 keatas. Ini kalau tidak segera mendapat perhatian yang serius, baik oleh orang tua. Masyarakat dan Pemerintah, Gen Alfa ini bisa lebih mengerikan dibandingkan dengan generasi Z. mereka tidak sekedar bermental pesimis dan mudah menyerah, namun juga memiliki watak sangat egois dan nekat. Kebanyakan mereka meniru apa yang mereka lihat sehari-hari, dan sehari-hari mereka bersama gadget. Tahu sendiri kan, apa yang mereka tiru disana?

Disamping egois, nekad, mental lemah dan pesimis, mereka juga tidak memiliki kepedulian terhadap nasib sesama manusia. Kepekaan sosial yang sangat rendah ini memicu main menang sendiri meskipun berkuat kesalahan.

Dikutip dari salah satu laman website, dinas Kominfo Kabupaten Badung, Bali. Ada 10 dampak Psikologis apabila seseorang kecanduan Gadget, diantaranya adalah:

1. Menjauhkan hal-hal yang dekat, mendekatkan hal-hal yang jauh.

Dengan Gadget, seseorang bisa “berselancar” di ruang yang tanpa sekat, atau yang disebut dengan internet. Apapun bentuk dan tema yang diinginkan, bisa ditemukan waktu itu juga. Kita bisa mencari, mulai dari teman baru, barang dengan model dan jenis apapun dan kebutuhan apapun.

Hiburan dan permainan dengan segala jenis dan bentuk, ilmu pengetahuan, teknologi dan lain sebagainya. Semuanya tanpa batas, kecuali kalau paket data habis.

Apalagi sejak fitur dan aplikasi yang semakin beragam, mulai dari belajar, belanja, bekerja, transportasi, dan lain-lain. Sehingga jarak tidak lagi menjadi persoalan, semua bisa selesai dengan gadget, begitulah kira-kira. Akibatnya, banyak yang lalai dengan keadaan dan lingkungan disekitarnya. Sekarang penjual dan pembeli berinteraksinya cukup didunia maya saja. Kita tidak perlu repot-repot berbelanja ke warung atau pasar terdekat.

2. Mengurangi interaksi dengan orang lain.

Kalau dulu angkutan umum biasanya orang sibuk dengan Koran, buku atau majalah. Kalau tidak baca, ya tidur atau berbincang-bincang dengan teman sebelah. Banyak pula yang dapat teman baru bahkan jodoh diatas angkutan umum, karena sering ketemu dan bincang-bincang. Sekarang orang lebih senang bincang-bincang dengan orang yang entah dimana, baru kenal juga di media social, dan abai dengan orang disekitarnya.

Orang sekitarnya juga sama dengan dirinya, sibuk dengan orang lain yang entah dimana di gadgetnya.

3. Malas melakukan aktivitas keseharian

Makan, mandi, masak, mencuci sampai ibadah, sekarang sudah banyak yang abai. Padahal itu adalah aktivitas harian yang rutin dilakukan. Kecuali memang bagi yang sudah rajin dan terbiasa dengan aktivitas itu.

Urusan makan tinggal pesan gofood, nyuci dan setrika baju tinggal pesan di loundry antar jemput. Selebihnya mager (malas gerak) sehingga pekerjaan dirumah makin berantakan.

4. Waktu istirahat berkurang.

Bagaimana tidak berkurang, hari harinya penuh dengan otak Atik android, sehingga waktu tersita sehingga tugas dan pekerjaan menumpuk akhirnya waktu istirahat terpakai.

5. Menumbuhkan sikap egosentris.

Mau menang sendiri, tidak peduli dengan sesama adalah penyakit era milenium karena manusia disibukkan dengan aktivitas menyita waktu sebagai mana yang dijelaskan diatas. Orang dulu waktu luang dan senggang nya banyak sehingga kepedulian dengan sesama masih ada. Kita dulu adalah bangsa yang berbudaya gotong royong. Sekarang entah kemana perginya.

6. Memicu perkembangan konsumerisme.

Budaya konsumtif adalah budaya masyarakat yang suka berbelanja apa saja, termasuk yang bukan kebutuhan dan prioritas. Meningkatnya kelas menengah di Indonesia adalah hal positif, namun karena tidak bisa mengontrol selera dan nafsu berbelanja, akibatnya banyak yang terpaksa berhutang demi hasrat berbelanja yang tinggi. Akibatnya, cukup banyak yang pailit.

7. Konsentrasi menurun.

Konsentrasi menurun disebabkan karena kurang istirahat dan arus informasi yang masuk ke otak “over kapasitas”. Sehingga sulit membuat skala prioritas.

8. Perkembangan anak terganggu.

Anak anak yang terpapar oleh media sosial dan kecanduan main gadget mereka dewasa sebelum waktunya. Kasus anak SD yang pacaran adalah contoh kecil fenomena ini.

9. Memicu penyakit mental.

Mudah marah, labil, mudah putus asa, galau, hingga gangguan kejiwaan ringan adalah beberapa penyakit mental generasi strawberry.

10. Sosialisasi dengan sekitar terganggu.

Kurang atau tidak mampu berkomunikasi membuat generasi strawberry kesulitan bergaul di masyarakat.

Saya melihat, generasi strawberry hari ini lebih banyak menjadi bagian dari masalah dan segelintir saja dari mereka yang menjadi bagian dari solusi.

Kenakalan remaja dan orang dewasa yang makin menjadi-jadi, tingkah mereka yang makin aneh-aneh, kesulitan mereka terhadap matematika dasar, kesulitan mereka dalam menangkap isi dari setiap paragraph dan kelemahan dalam membaca data.

Istilahnya mereka sudah banyak yang cacat atau lumpuh dalam membaca, bukan karena tidak pandai membaca tapi mereka mengalami apa yang disebut dengan buta huruf secara fungsional.

Mereka tidak focus atau kurang focus. Menurut penelitian, anak sekarang konsentrasinya terhadap pelajaran rata-rata hanya lima menit, setelah itu buyar.

Semua kerusakan dan keburukan itu penyebabnya bukan tunggal semata, artinya bukan mereka saja sebagai faktor utama, namun banyak variable sebagai faktor penyebab hal demikian. Misal, orang tua yang tidak siap karena kurang ilmu dan pengetahuan bagaimana mendidik anak-anaknya yang sesuai dengan zamannya. Mendidik saja mereka kewalahan apalagi mendidik sesuai dengan zamannya, sebab apa? Orang tua pun sekarang banyak yang kurang mendapat pendidikan yang memadai dari orang tuanya dulu atau lingkungannya.

Ketika di rumah si anak kurang sekali mendapat pendidikan yang baik, di lingkungan masyarakat lebih gawat lagi, mereka seolah-olah dibiarkan bebas begitu saja tidak ada control sosial yang memadai. Di sekolah? Banyak dari guru sekarang yang lebih sibuk urusan administrasi sekolah daripada serius membenahi anak didiknya untuk menjadi punya karakter baik.

Mampukah Generasi strawberry menjawab tantangan kedepan? Atau seberapa jauh mereka dipersiapkan untuk generasi emas kedua, 2045?

Wallahu a’lam bish showwab

Leave a Reply