GENERATION GAPS SYNDROM, ARTIFISIAL INTELIGENT DAN ERA POSTMODERNISME  Oleh : Azwirman,S.Pd

Artikel Tokoh332 Views

GENERATION GAPS SYNDROM, ARTIFISIAL INTELIGENT DAN ERA POSTMODERNISME

 Oleh : Azwirman,S.Pd

 

“Generation Gaps Syndrom,” demikian judul artikel yang di tulis oleh Pak Emeraldi Chatra (Dosen Unand) tulisan yang sudah cukup lama sebenarnya, cukup singkat Namun sangat mendalam mengkritisi era kekinian. Menurut saya artikel ini sangat bagus dan penting untuk dibaca dan dipahami oleh kita selaku orang tua dan guru.

Artikel itu beliau tulis ketika melakukan penelitian di sebuah daerah di Jawa Barat pada tahun 2014. ketika beliau mewawancarai beberapa remaja yang bebas berkeluyuran di luar rumah dan bahkan terlibat sex bebas (free sex) sesama mereka. Pertanyaan yang beliau ajukan kepada remaja tersebut adalah; “Siapa orang yang paling kalian benci dalam kehidupan kalian?” Jawaban mereka sangat mengejutkan. “Ada dua kelompok orang yang paling kami benci, yang pertama Orang tua dan yang kedua adalah Guru.” Rata-rata yang mereka benci itu adalah orang-orang dewasa yang usianya diatas 40 tahunan. Siapa lagi kalau bukan guru di sekolah dan orang tua di rumah. Mereka adalah orang-orang dewasa yang paling sering mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari remaja ini.

Meskipun beliau hanya meneliti di salah satu sudut kota di Indonesia, bagi saya ini sangat mewakili umumnya keadaan remaja dan anak-anak kita hari ini.

Kadang Ironis, negeri manapun di dunia ini sejak generasi terdahulu sampai sekarang selalu punya harapan besar terhadap generasi mudanya dalam melanjutkan estafet kehidupan dan peradaban. Baik kehidupan keluarga maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita semua tentunya pasti berharap kepada generasi muda untuk siap dan bisa mengemban amanah kepemimpinan dimasa yang akan datang. Kadang harapan sesuai kenyataan, namun tidak sedikit juga harapan tidak sesuai kenyataan. Banyak orang tua, guru dan negara berharap anak-anaknya kelak menjadi orang yang berguna, berkontribusi buat keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Namun, karena sesuatu dan lain hal, anaknya ternyata setelah besar dan dewasa menjadi beban bagi banyak orang.

Sebenarnya persoalan remaja dan generasi muda bukanlah persoalan baru di negeri ini. Permasalahan kenakalan remaja sudah lama dan sering dibahas di banyak pertemuan. Apakah namanya seminar, pengajian, khotbah atau ceramah. Ustadz, guru, pejabat, tokoh masyarakat dan kalangan akademisi. Sejak dulu selalu mengingatkan terhadap pentingnya generasi muda dan bahaya-bahaya apa saja yang akan menimpa generasi muda ini yang perlu diwaspadai dan dihindari agar mereka terjaga dengan baik. Terjaga kesehatannya, mentalnya, pemikirannya, karakternya dan lain sebagainya.

Disetiap zaman dan era akan selalu ada permasalahan yang menyangkut generasi muda termasuk di indonesia. Dan di setiap zaman itulah permasalahannya selalu berbeda atau tidak sama. Kenapa permasalahan remaja dan generasi muda itu dari zaman ke zaman berbeda? Hal ini menurut hemat penulis disebabkan oleh perkembangan dan kemajuan peradaban itu sendiri yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Ketika zaman televisi belum ada dengan zaman televisi sudah ada akan berlainan pola kenakalan remajanya. Ketika zaman Komputer belum ada dengan Komputer sudah ada juga berbeda. Begitu juga ketika zaman Internet belum ada dan Internet sudah ada maka permasalahnya juga berbeda. Ketika alat komunikasi yang bernama Handphone (HP) belum ada dengan Handphone sudah ada juga berbeda bentuk permasalahannya. Artinya, konteks masalah setiap generasi selalu berbeda, dikarenakan tantangan yang dihadapi juga berbeda.

“Era sekarang adalah era puncak dari kemajuan teknologi”. Meskipun terdengar agak berlebihan, namun ada benarnya juga. Ini sesuai dengan prediksi oleh sebagian para pakar yang menyatakan bahwa, zaman dimana kecanggihan Teknologi abad 21 adalah puncaknya. Dengan ditemukannya Handphone pintar (Smartphone, Android) yang setiap tahun terus diperbaharui secanggih mungkin dengan fitur-fitur terbaru, adalah sebuah kejutan yang tidak bisa dianggap remeh. Sampai kepada robot-robot pintar yang sudah banyak menggantikan kerja manusia. Di prediksi pada tahun 2020 keatas maka 20 juta manusia yang hari ini bekerja di pabrik-pabrik ataupun perusahaan-perusahaan akan di berhentikan karena pekerjaan mereka sudah ada yang menggantikannya, yaitu Robot atau yang lebih dikenal dengan istilah Artifisial inteligent (AI) meskipun prediksi itu tidak seratus persen benar, namun fakta bahwa beberapa perusahaan yang beralih menggunakan tenaga robot telah merumahkan ratusan karyawannya.

Lalu berkembanglah AI (Artifisial Inteligent) atau robot pintar dan cerdas yang didesain menggantikan sebagian pekerjaan yang biasa dilakukan manusia. Artifisial Inteligent (AI) dapat diartikan sebagai kecerdasan buatan yaitu teknologi yang memungkinkan komputer meniru kemampuan berfikir manusia.

Artifisial Inteligent (AI) sebenarnya sudah lama dikembangkan seperti, Komputer, internet, Google, Smarphone, Android, Games Industrial, Film, bisnis dan pertahanan keamanan negara.

Artifisial Inteligent (AI) dikembangkan pertama kali oleh John Mc Carty pada tahuan 1956 sehingga beliau di gelari sebagai bapak Artifial Inteligent.

Ada 5 hal yang dianggap berbahaya jika Artifisial Inteligent ini tidak serius kita kontrol perkembangannya;

1. Perkembangan Artifisial Inteligent lebih cepat dari apa yang kita bayangkan. Misalnya bagi kita yang tergolong generasi tahun 90 an tentu masih ingat dengan HP yang mula-mula muncul diawal Tahun 2000 an. Pada awalnya hp itu hanya nbisa digunakan untuk komunikasi lisan dan tulisan, namun sekarang dalam waktu sepuluh tahunan saja perangkat hp itu sudah sedemikian canggihnya. Padahal hanya dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama.

2. Manusia akan tersaingi oleh robot. Makin pintar robot maka akan banyak jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh robot. Maka manusia akan tersingkir perlahan lahan dan kalah saing oleh robot. Bukan karena robot itu lebih pintar dan canggih dari manusia, yang mana hakekatnya yang membuat robot itu juga manusia. Hanya saja, karena terlalu bergantungnya sebagian kita dengan teknologi, maka kita tidak lagi percaya dengan sesama manusia. Di prediksi 30 tahun yang akan datang, akan terjadi peningkatan pengangguran sekitar 50 persen. Alasan mereka adalah karena Robot tidak pernah capek, robot tidak pernah minta gaji apalagi kenaikan gaji. Makanya perusahaan- perusahaan itu nanti lebih senang memperkerjakan robot daripada manusia. Memperkerjakan manusia banyak yang mesti diperhitungkan dan permintaan yang mesti di kabulkan.

3. 2040 robot akan lebih pintar dari manusia. Karena selalu dikembangkan terus menerus maka bisa jadi robot akan lebih pintar dari manusia. Lihat saja sekarang banyak para pemakai Android, smartphone, lebih pintar hapenya dibandingkan dengan dirinya. Maka suatu saat Smartphone kita akan menertawai kita dengan ucapan “bodoh sih lu”.

4. Artifisial Inteligent akan bisa belajar dengan sendirinya. Karena perangkat Artifisial Inteligent (AI) itu sudah dilengkapi dengan kecerdasan buatan maka dengan sendirinya robot-robot itu akan senantiasa belajar dengan sendirinya. Karena robot tidak pernah capek maka bisa jadi ia akan terus belajar siang dan malam. Disaat kita tidur mereka masih senantiasa belajar. Ini terdengar agak berlebihan, seolah-olah Kecerdasan buatan itu punya “kehendak” dan “perbuatannya berdiri sendiri” maka tidak aneh ada orang yang mempertahankan AI.

5. Berpotensi membahayakan eksistensi manusia. Stephen Hawkin mengkhawatirkan Artifisial Inteligent jika tidak kita batasi perkembangannya. Satu kesalahan kecil bisa akan memusnahkan segalanya. Namun begitu, masih ada kubu atau kelompok yang masih optimis bahwa suatu saat nanti kita akan hidup bahagia karena Artifisial Inteligent akan memecahkan semua permasalahan hidup kita.

Kita kembali ke permasalahan diatas. Munculnya generasi yang membenci orang yang paling besar jasanya dalam hidupnya ( orang tua dan guru) sekarang ini membuat kita berfikir apa sebenarnya yang melatar belakangi hal ini. Kalau dulu remaja-remaja zaman era 90an kebawah senakal apapun mereka namun, kepada orang tua dan guru selalu tetap hormat menghormati. Jarang sekali kita mendengar kejadian guru dipukul siswa atau guru dianiaya siswa hingga tewas. Yang terjadi adalah guru yang sering mukul dan menganiaya siswa. Tapi sekarang sering kali terjadi di pemberitaaan di media tentang guru dianiaya siswa bahkan sampai meninggal dunia. Orang tua dibunuh anak kandungnya sendiri adalah berita yang tidak aneh lagi kita dengar. Beliau (Emeraldy chatra) memberikan istilah kepada generasi sekarang yang membenci orang tua dan gurunya ini dengan istilah Generation Gap Syndrom (GAP). dalam lanjutan tulisan artikel beliau sebagaimana saya kutip sebagiannya;

“Mulanya saya melihat fenomena seperti itu alamiah saja. Ada aksi, ada reaksi. Mungkin orang tua atau guru sudah tak mampu memahami pikiran generasi di bawah mereka, sehingga timbul pemberontakan. Namun sekarang saya punya pikiran berbeda: itu tidak alamiah, tapi fabricated , hasil dari sebuah skenario yang tujuannya menciptakan generasi yang sama sekali berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi itu punya budaya sendiri, tidak lagi mewarisi budaya generasi sebelumnya. Skenario siapa? Nanti akan saya jelaskan. Skenario itu kini melahirkan Generation Gap Syndrom (GGS). Sebuah penyakit sosial baru yang belum banyak disadari dan didiskusikan. Penyakit sosial ini sengaja diciptakan, bukan sesuatu yang alamiah. Generasi tua dengan generasi muda dibuat semakin tidak nyambung dalam berkomunikasi.”

Kalau kita renungkan apa yang beliau tulis, coba kita menengok ke belakang. Duapuluh, tigapuluh, Limapuluh bahkan seratus tahun yang telah berlalu seiring sudah berlalunya belasan generasi sebelum kita, barangkali belum ada generasi sebelum kita ini dimana mereka membenci orang tua mereka sendiri dan guru mereka. Mereka masih menghargai budaya lokal mereka meskipun sebagian kurang peduli dengan budaya lokal mereka masing masing.

lalu tiba-tiba sekarang ini, zaman millenial ini, zaman now kata anak-anak muda sekarang, muncul generasi baru yang bergaya dan berlagak sangat berbeda dengan generasi yang sudah ada belasan generasi dibelakang mereka.

Apakah ini disebabkan karena ketidaksiapan guru dan orang tua dalam mendidik anak mereka? Sebagiannya mungkin saja benar, namun sebagian besar ini adalah proyek yang sengaja diciptakan oleh para pemilik kapitalis yang bermodalkan tak terhingga. Proyek ini bertujuan agar budaya global bisa merusak dan menghancurkan budaya lokal yang ada diseluruh penjuru bumi. Hal ini seperti disampaikan oleh beliau dalam kelanjutan artikelnya seperti berikut ini..

“Konteks pengembangan GGS adalah pertarungan budaya lokal dengan budaya global. Generasi tua makin berbau budaya lokal, sementara generasi milenial sudah mengadopsi budaya global. Perbedaan ini yang terus dipertajam. Generasi milenial diharapkan tidak lagi mengadopsi budaya lokal, karena menjadi penghalang intervensi budaya global. Di Sumbar, misalnya, akan terasa ketika kaum milenial tidak lagi sudi menerima sistem penguasaan tanah yang melarang jual beli. GGS tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Termasuk AS dan Eropa. Dengan semakin meluasnya GGS akan datang saatnya budaya lokal benar-benar musnah. Generasi millenial menjadi tulang punggung budaya global.”

Jadi tidak hanya di Indonesia, di dunia barat pun hal ini juga terjadi. Mereka telah melahirkan anak-anak yang asing dengan budaya asli mereka. Mereka bahkan membenci hal hal yang sudah turun temurun di pertahankan oleh orang orang tua mereka dahulu. Mereka begitu asyik dengan dunia mereka masing masing dengan segala fasilitas teknologi yang ada disekeliling mereka. Lihatlah betapa sibuknya mereka dengan diri mereka sendiri tanpa mempedulikan orang orang disekitar mereka kalau Smartphone sudah ditangan mereka atau fasilitas internet dapat mereka akses. Kalau mau makan mereka sangat malas memasak bahkan tidak pandai memasak karena untuk apa memasak kalau dengan sekali sentuh melalui layanan go food makanan akan sampai ke hadapan kita. Tinggal pilih menu apa yang kita inginkan pikir mereka.

Memang teknologi dengan segala kecanggihannya telah banyak membantu manusia dalam melakukan pekerjaannya. Akan tetapi yang menjadi budak teknologi jumlahnya tidaklah sedikit. Banyak sekali orang orang disekitar kita yang sudah di perbudak oleh teknologi itu sendiri. Apalagi generasi gap syndrom (GGS) ini. Hampir semua anak anak muda zaman now sudah terkoneksi dengan internet dan tanpa mereka sadari ini sudah merusak mental mereka, membenci orang yang seharusnya mereka cintai, terjebaklah mereka dalam sistem yang dibuat oleh para pemodal yang memaksa mereka tunduk dan patuh dengan budaya global dan itu sama dengan menggali kubur mereka sendiri. Hal ini sebagaimana kelanjutan dari artikel yang ditulis oleh bapak Emeraldy Chatra berikut ini..

“Sayangnya, dalam budaya global itu kaum millenial hanya diposisikan sebagai konsumen yang siap memakan apa saja yang ditawarkan oleh penguasa budaya global. Penguasa budaya global inilah yang berada di balik skenario GGS. Budaya global itu bukan budaya Yahudi, Cina atau Jepang. Tapi sebuah budaya ciptaan dari sekelompok orang yang mempunyai akses ke media dan teknologi informasi secara global. Proyek mereka sudah dimulai sejak beberapa tahun lampau dengan nama Post-modernisme (budaya Posmo). Budaya posmo berhasil mendongkel budaya Barat yang modern dan menggiring anak-anak muda ke titik yang mereka buat.”

Postmodernisme, inilah yang sebenarnya jawaban dari semua keanehan ini. Anak-anak muda sekarang sengaja ditempelkan ke jidad mereka dengan politik identitas yaitu generasi millenial, generasi z, generasi jaman now dan lain sebagainya. Padahal sudah puluhan generasi yang menghuni kolong langit ini dengan segala dinamikanya. Namun, tidak satupun dari mereka mendapatkan label atau cap yang begitu istimewanya ini.

Postmodernisme adalah masa setelah era modern. Anti tesis dari zaman modern. Posmodernisme atau pascamodernisme dalam wikipedia dapat diartikan sebagai gerakan akhir abad ke 20 dalam seni, arsitektur, dan kritik yang melanjutkan modernisme. Termasuk dalam pascamodernisme adalah interpretasi skeptis terhadap budaya, sastra, seni, filsafat, sejarah, ekonomi, arsitektur, fiksi dan kritik sastra. Pascamodernime sering dikaitkan dengan dekonstruksi dan pascastrukturalisme karena penggunaanya sebagai istilah mendapatkan popularitas yang signifikan pada waktu yang sama dengan pascastrukturalisme, yaitu dalam abad keduapuluh.

Pascamodernisme adalah paham yang berkembang setelah era modern dengan modernismenya. Postmodernisme bukanlah paham tunggal atau sebuah teori, tetapi memayungi berbagai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh yang memberikan arti pascamodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam.

Bagi Lyotard dan Geldner, pascamodernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme. Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, pascamodernisme adalah bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya “mati sendiri” karena kesulitan menyeragamkan berbagai teori.

Bagi David Graffin, pascamodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari modernisme. Selain itu, bagi Giddens, pascamodernisme adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi Habermas, pascamodernisme merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai. Secara etimologi berdasarkan asal-usul kata, pascamodernisme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya paham (-isme) yang berkembang setelah (pasca) modern. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi dari modernisme. Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947. Setelah itu berkembang dalam bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri. Pascamodernisme dibedakan dengan pascamodernitas. Jika pascamodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir, pascamodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa, serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme, dan sekularisme. Setidaknya kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa pascamodernisme bukan kritik satu bidang saja, tetapi semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era pascamodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya.

Pascamodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna. (sumber: wikipedia indonesia)
Kalau kita simpulkan, pascamodernisme atau postmodernisme adalah antitesa dari kemodernan itu sendiri atau dekonstruksi (penghancuran) sebuah teori di era modern yang selama ini dianggap sudah mapan. Cirinya, pluralitas (keberagaman) yang sangat dihargai. Pluralitas ujungnya akan melahirkan pluralisme atau paham yang menganggap semuanya benar, semua orang boleh berteori dan teori itu punya tolak pikir masing masing yang berguna bagi sebagian kelompok. Pluralisme kalau merambah ke persoalan agama maka akan sangat berbahaya, karena tidak ada agama yang benar atau salah. Semua agama bisa benar atau semua agama salah atau keliru.
Maka, sekarang tidaklah heran kita mendengar istilah-istilah yang dulu jarang bahkan tidak pernah kita dengar dan kita saksikan. Ada Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyerempet kemana mana.

Dengan alasan melanggar HAM seorang guru dipenjarakan oleh muridnya atau orang tua siswa. Guru disekolah tidak boleh menghukum siswa yang melanggar peraturan sekolah. Ada orang tua yang dipolisikan oleh anaknya. LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) yang diperbolehkan demi hak asasi manusia.

Beberapa waktu lalu heboh dengan demo mahasiswa serentak diseluruh indonesia. Dengan tuntutan yang macam-macam yang mengarah kepada satu yang sama yaitu batalkan RUU KPK karena akan memperlemah KPK. Mahasiswa ini yang umumnya adalah anak anak millenial membuat sebagian orang terkejut. Tak disangka mereka yang dianggap tertidur pulas selama ini karena tuntutan sistem perkuliahan yang semuanya kejar tayang mendadak terbangun dan turun kejalan jalan mengikuti jejak senior mereka di era akhir tahun 90-an dan awal tahun 2000-an. Tapi kalau kita melihat lebih teliti dan lebih jeli di balik tuntutan mereka yang menginginkan perubahan bangsa, ada segelintir dari mereka yang mewakili kaum millenial yang luput dari perhatian kita apa yang kita bahas diatas berupa penyakit postmodern. Yaitu pluralisme yang berani mereka tabrak dan labrak nilai nilai atau norma norma yang selama ini sudah mapan.

Bacalah spanduk atau tulisan di kertas karton yang mereka pamerkan dan acungkan;

“Selangkanganku bukan milik negara!”
“Yang bayar kost gua, masa’ elo yang ngurusin..tolak RUUKUHP”

Kesimpulan saya sebelum menutup tulisan ini adalah bahwa kita sebagai orang tua dan orang dewasa tampaknya harus menyadari bahwa masa sekarang adalah masa dimana badai fitnah mengalami puncaknya. Sebuah nilai dan norma yang sudah mapan berusaha diruntuhkan oleh orang-orang Postmodern yang anti terhadap kemapanan sosial yang sudah dibangun selama ini. Kelompok ini berusaha menjadikan generasi millenial sebagai pendukungnya (yang mayoritas menghuni planet bumi ini). dengan jargon-jargon pluralisme dan kebebasan berfikir serta berekspresi mereka menggandeng anak anak kita, murid kita, siswa kita, santri kita agar membolehkan apa yang selama ini dilarang, Membenarkan apa yang selama ini salah, membiasakan apa yang selama ini tidak biasa, menghalalkan apa yang selama ini sudah haram atau sebaliknya. Jika ada pihak atau pemerintah sekalipun mencoba menghalangi kepentingan mereka maka, akan mereka sikat dan libas dengan apapun dan bagaimanapun caranya. Dengan menguasai opini publik lewat penguasaan media massa maka langkah dan cita cita mereka akan mudah tercapai. Semoga kita tabah dan sabar dalam menghadapi ini semua. Jangan sampai kita ikut arus dan ikut ikutan mau mereka. Ingat kita sebagai orang tua ataupun guru bagi anak anak kita dan siswa kita semuanya adalah korban dan mangsa mereka. Generasi millenial itu sendiri adalah korban yang mereka jadikan agen. Ketika cita cita mereka tercapai maka anak anak millenial yang tidak mengerti apa-apa ini akan mereka singkirkan?

Wallahu a’lam bish showwab

Leave a Reply