GILANYA KORUPSI DI INDONESIA

GILANYA KORUPSI DI INDONESIA

Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang

 

 

Tulisan ini lahir ketika mencermati angka-angka korupsi di Indonesia yang triliunan rupiah nilainya. Betul—“gila”-nya korupsi di negeri ini memang sudah lama disebut sebagai penyakit struktural. Bukan hanya soal banyaknya pelaku, melainkan karena ia sudah menyatu dalam sistem politik, ekonomi, bahkan budaya keseharian.

Skala Masalah

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 menempatkan Indonesia dengan skor 34/100 dan peringkat 115 dari 180 negara. Artinya, tingkat korupsi masih dipersepsikan tinggi. BPK dan KPK mencatat, kerugian negara akibat korupsi mencapai ratusan triliun per tahun—terutama dari sektor SDA (tambang, hutan, minyak, gas) dan proyek infrastruktur.

Bayangkan, di saat rakyat berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari, uang negara justru bocor dalam jumlah yang bisa membiayai pendidikan gratis, rumah sakit modern, hingga infrastruktur unggul di seluruh pelosok.

Lahan Subur Korupsi

Ada beberapa “ladang” yang paling basah:

Pertambangan dan SDA: izin tambang penuh suap, harga ekspor ditekan rendah (mark down), royalti ke negara sangat kecil.

APBN/APBD: proyek fiktif, mark-up anggaran, bansos yang bocor di jalan.

Birokrasi sehari-hari: pungli izin, jual beli jabatan, gratifikasi.

Politik: mahar partai dan praktik “balik modal” setelah terpilih, menjadikan jabatan sebagai investasi politik.

Dampak ke Rakyat

Korupsi bukan sekadar angka, ia hadir dalam kehidupan rakyat setiap hari:

Ekonomi makin sulit, harga barang dan layanan publik lebih mahal.

Infrastruktur banyak mangkrak, kualitas jalan dan jembatan rendah.

Kesenjangan kaya–miskin makin tajam.

Kepercayaan rakyat pada negara hilang, melahirkan sinisme sosial dan aksi-aksi protes.

Dimensi Sosiologis

Korupsi di Indonesia sering dipandang bukan sekadar kriminal, tapi budaya permisif. Ada ungkapan populer: “asal sama-sama enak”. Inilah wajah gelap social capital kita: kepercayaan dan jaringan sosial justru dipakai untuk kolusi, bukan kolaborasi positif.

Media sosial kadang berperan sebagai ruang kontrol rakyat, tapi isu cepat menguap. Tokoh agama dan adat sering bersuara, namun patronase politik membuat suara moral itu mudah dilumpuhkan.

Potensi SDA dan Ilusi Rp 20 Juta

Pernyataan bahwa jika kebocoran SDA ditutup rakyat bisa mendapat “Rp 20 juta/orang/bulan” memang hiperbolis. Tetapi basisnya jelas:

Nilai produksi minerba Indonesia (2023) mencapai Rp 2.300 triliun per tahun.

Penerimaan negara hanya sekitar Rp 200–250 triliun.

Artinya, ada gap ribuan triliun yang hilang akibat inefisiensi, transfer pricing, dan korupsi.

Jika dikelola bersih, tambahan penerimaan negara bisa dibagi rata sekitar Rp 600 ribu/orang/bulan. Angka ini jauh dari 20 juta, tapi cukup untuk membiayai layanan pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial gratis.

Banding Internasional

Norwegia—negara kaya minyak—menyalurkan hasil SDA lewat Sovereign Wealth Fund, sehingga manfaat langsung bisa dirasakan warga. Indonesia bisa belajar, dengan catatan:

Politik harus bersih.

KPK dan lembaga hukum harus kuat.

SDA dikelola transparan, bukan untuk memperkaya elite.

Solusi dan Harapan

1.Penguatan KPK: bukan dilemahkan, tapi diberi ruang independen.

2.Digitalisasi layanan: kurangi tatap muka, kurangi peluang pungli.

3.Transparansi SDA: adopsi standar EITI.

4.Budaya malu dan integritas: diperkuat lewat pendidikan agama, adat, dan moralitas sejak dini.

5.Politik bersih: pembiayaan pemilu transparan agar pejabat tak merasa wajib “balik modal”.

Konklusi

Korupsi adalah khianat publik yang meluluhlantakkan bangsa. Gilanya korupsi di Indonesia bukan hanya pada angka triliunan rupiah, tapi karena ia sudah dianggap biasa. Jika celah korupsi ditutup rapat, Indonesia punya potensi besar untuk menjadi negara sejahtera.

Tidak realistis rakyat tiap orang dapat Rp 20 juta per bulan dari SDA. Tapi realistis—tanpa korupsi—setiap warga bisa menikmati pendidikan gratis, layanan kesehatan berkualitas, subsidi energi, dan infrastruktur yang membanggakan.

Maka, agenda besar bangsa ini adalah membongkar akar struktural korupsi. Dari politik bersih, birokrasi transparan, hingga budaya malu yang ditegakkan oleh agama dan adat. Jika ini dilakukan, Indonesia tidak hanya akan bebas dari “gila korupsi”, tetapi akan menjadi bangsa besar yang berdaulat, adil, dan bermartabat.ds. 04092025.