GUBERNUR JAWA BARAT DAN GEJALA NATIVISME oleh Azwirman,S.Pd

GUBERNUR JAWA BARAT DAN GEJALA NATIVISME

Penulis: Azwirman,S.Pd

 

Kang Dedi Mulyadi, begitu biasa beliau dipanggil, yang beberapa hari belakangan selalu memenuhi jagad media, baik media social maupun media televisi dan lainnya. Siapa kang Dedi Mulyadi? Beliau sekarang dikenal sebagai seorang pejabat public, lebih tepatnya Gubernur Jawa Barat yang terpilih pada pemilu beberapa waktu yang lalu. Beliau boleh disebut salah satu, dari sedikit pejabat public yang sangat disorot oleh media, terutama media social. Apakah ada unsur kesengajaan agar menaikkan elektabilitas atau ada unsur politik lainnya yang mau ditarget, misal jadi calon presiden tahun 2029, saya tidak tahu, biar para pengamat yang akan menilai.

Menurut saya, salah satu faktor yang membuat Kang Dedi sedemikian “viral” adalah beberapa aksi dan tindakan serta perkataannya yang bagi sebagian orang dianggap kontroversi dengan sejumlah pernyataannya yang dianggap bermasalah, maupun tindakannya yang cenderung tegas dan berani serta nekad. Ini bisa kita lihat dari kasus beberapa waktu yang lalu, salah satu Wahana Wisata Hibisc Fantasy di kawasan Puncak Bogor yang dikelola anak perusahaan BUMD PT Jaswita Jabar akhirnya dibongkar. Pembongkaran itu diinstruksikan langsung oleh Kang Dedi. Alasan pembongkaran karena Wahana itu telah melanggar banyak aturan, diantaranya; AMDAL, perizinan dan pemalsuan.

Sebenarnya, Dedi Mulyadi, terlepas dari viralnya beliau hari ini, dengan sejumlah kebijakan dan tindakannya yang berani dan kontroversi, ternyata beliau sudah “kontroversi” sejak menjadi bupati kabupaten Purwakarta. Buktinya bisa kita lihat dari pemberitaan sekitar tahun 2015, dimana beliau dilaporkan oleh sejumlah ulama Purwakarta ke Polda Jawa Barat karena dinilai telah melakukan suatu tindakan penistaan terhadap agama.

Dikutip dari laman Hidayatullah.com, Dedi dilaporkan dengan nomor laporan polisi LPB/983/XI/2015/Jabar tanggal 30 November 2015. Bupati Purwakarta ini diadukan karena dianggap telah melanggar Pasal 156 KUHP mengenai kebencian atau merendahkan suatu golongan rakyat Indonesia.

Inilah beberapa poin dugaan penodaan agama Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menurut ulama.

– Didalam Buku “Kang Dedi Menyapa” jilid 2:

1. Halaman 192: Ketika bicara Pancasila maka kita bicara ketuhanan yang Maha Esa, keragaman bertuhan.

2. Halaman 203: Nah inilah prinsip yang di luar alam pendidikan. Allah memahami Rasulullah sebagai kekasihnya tetapi perlakukan Allah terhadap Rasulullah justru mendidiknya dan membiarkan Rasulullah sengsara.

– Penodaan agama dalam video:

1. Video Safari Ramadhan 2015 part 1, di menit 06.15-06.32. Dedi mengatakan “pemahaman kita dalam agama selama ini selalu memahami Allah itu dalam aspek yang formal, shalatnya formal, puasanya formal, semuanya hubungan dengan Allah menjadi formal. Padahal hubungan dengan Allah itu hubungan percumbuan.”

2. Video Orasi Ilmiah KAHMI Dedi Mulyadi -Pelantikan HMI Cabang, di menit 19.00-19.12. Dedi mengatakan “Islam itu bagi saya, saya Sunda, saya dengan menjadi Sunda yang sebenarnya maka saya menjadi Islam yang sebenarnya, begitulah menurut saya.”

3. Masih di Video Orasi Ilmiah KAHMI Dedi Mulyadi -Pelantikan HMI Cabang, di menit 19.15-19.33. Dedi mengatakan “dan kita punya karakter itu dan itu bisa dibuktikan di dalam sejarah ketika Islam masuk, semuanya menjadi bersenyawa karena orang Indonesia, orang Nusantara sebelum Islam dari sisi kelembagaan datang sudah Islam dari sisi substantif sejak lama dan jauh lebih Islam dari orang Arab yang sebelumnya. Di sini saya tegaskan urang Sunda boga hak asup surga pangheulana.”

4. Video Dangiang, di menit 04.50-05.00. Dedi mengatakan “supaya urang Indonesia teu cape mangkat ka Mekkah, mun kuring jadi Presiden Rek diinjem eta Kabah dipindahkeun ka Purwakarta.”

5. Video Orasi Ilmiah Koordinator Presidium KAHMI Jawa Barat, 19 Desember 2014. Dedi mengatakan “ketika sampah mulai bersatu dengan dirinya, maka di situ sampah menjadi harum. Kenapa? Karena Allah hadir pada sampah-sampah itu.”

6. Video Ceramah Sunda Kang Dedi Mulyadi, di menit 02.41-02.52. Dedi mengatakan “Kanjeng Rasulullah SAW ngajarkeun ka-Islam di tanah Mekkah, ngajarkeun naon eta teh? Ngajarkeun saripati ajaran Sunda nu dibawa ka tanah Mekkah. Pek tulis!”

Selain dari laporan resmi dari sejumlah ulama Purwakarta, Dedi Mulyadi dalam salah satu kesempatan mengatakan bahwa, “agama adalah budaya, dan budaya adalah agama.” Selain itu, Dedi menyamaratakan antara budaya dan agama. Padahal, dua hal tersebut sangatlah berbeda. Agama Islam bersumber pada wahyu Allah SWT yang memiliki kebenaran mutlak, sementara budaya itu produk manusia.

“Lalu dia (Dedi) katakan orang Sunda itu tidak mengenal simbolisasi penyembahan, maksudnya orang yang bertuhan secara benar itu yang membaktikan dirinya kepada alam, bahkan dia juga menghina Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam dengan menulis; Allah memahami Rasulullah sebagai kekasihnya tetapi perlakukan Allah terhadap Rasulullah justru mendidiknya dan membiarkan Rasullah sengsara.”

Dalam rekamannya, Dedi juga mengatakan, “Ketika sampah mulai bersatu dengan dirinya, maka di situ sampah menjadi harum. Kenapa? Karena Allah hadir pada sampah-sampah itu.”

“Dan yang fatal juga dia (Dedi) katakan bahwa zakat itu tidak wajib bagi masyarakat, yang wajib adalah APBD sampai ke masyarakat.”

Selain penodaan agama, dalam kelanjutan laporannya, perihal yang membuat resah warga Purwakarta adalah upaya yang dinilai sebagai Hinduisasi oleh Dedi di daerah yang dikenal sebagai kota santri itu.

“Dia melakukan upaya Hinduisasi kepada masyarakat Islam di Purwakarta, misalnya dengan membuat banyak patung, membuat gapura Hindu, mengikat pohon dengan kain poleng, dan lainnya.”

“Jadi Dedi Mulyadi itu menodai syariat dengan bungkus adat, menodai agama dengan bungkus budaya. Upaya-upaya dia lewat festival, karnaval, perayaan budaya yang dia usung itu hanya sebagai bungkus, padahal isinya mengandung kemusyrikan dan banyak menodai ajaran agama Islam,”.

Sebelum itu, di tahun yang sama (2015) Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Pusat, pada waktu itu, Prof. Dr. KH. Didin Hafiduddin juga sempat mengatakan bahwa Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dinilai telah salah menafsirkan makna dari kearifan lokal. “Kearifan lokal jangan diartikan dengan kebudayaan yang sempit. Artinya jangan segala macam tradisi yang ada di suatu daerah dimunculkan, padahal tradisi tersebut bertentangan dengan akidah maupun syariah,” ujar Didin usai konferensi pers di Kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi 51, Menteng, Jakarta Pusat.

Kita tentu tidak bisa memastikan seperti apa kang Dedi Mulyadi dan menilai secara pasti siapa dia sebenarnya hanya dari laporan-laporan diatas atau dari tindakan dan perkataannya yang kasat mata. Namun, yang jelas, secara identitas keagamaan, beliau sebagaimana orang Sunda yang identik dengan Islam, sebagaimana halnya dengan orang Minangkabau terkenal religious. Kalau dituduh bahwa, beliau adalah orang yang benci kepada nilai dan ajaran Islam, sebagaimana yang dituduhkan oleh salah seorang tokoh Islam, saya kurang setuju karena itu adalah cara penarikan kesimpulan yang cukup gegabah.

Kalau boleh saya menilai, bahwa kang Dedi Mulyadi itu orang yang sangat cinta sekali dengan budaya kesundaannya. Beliau itu beraliran sunda wiwitan. Sunda Wiwitan adalah kepercayaan asli masyarakat Sunda yang berakar dari budaya dan spiritualitas leluhur, dengan konsep monoteisme purba yang mengagungkan “Sang Hyang Kersa” (Tuhan Yang Maha Esa). Kita bisa melihat secara penampilan, kang Dedi sangat kental kesundaannya. Belum lagi kalau kita melihat dari pidato dan pernyataannya yang “terlalu” menyanjung budaya Sunda.

Disamping itu, kang Dedi Mulyadi secara kepemimpinan sejak menjadi bupati Purwakarta termasuk bagus dan kalau konteks di Indonesia, orang seperti Kang dedi itu tergolong pejabat “langka” karena gebrakan-gebrakan kebijakan yang membuat mayoritas masyarakat Purwakarta sangat puas, itu bisa kita cari datanya di media.

Disamping sebagai seorang pejabat yang “nyentrik” dan “langka”, sangat cinta dengan budaya kesundaannya, dan beliau sangat konsisten sekali dengan identitas itu, bukti dari kentalnya kesundaan beliau adalah kepeduliannya yang begitu kental terhadap alam dan lingkungan, yang merupakan salah satu ajaran dari kesundaan. Karena kebetulan beliau ditakdirkan menjadi pejabat publik, dan sekarang menjadi orang nomor satu di jawa Barat, maka kebijakan pelestarian alam dan lingkungan, semisal membongkar bangunan-bangunan yang dianggap menjadi dalang kerusakan alam dan lingkungan sangat kentara beliau lakukan. Semangat kesundaan beliau menjadi landasan dalam kebijakan dan ini sebuah kelebihan beliau. Namun, justru kelebihan inilah yang kelebihan sekaligus kelemahan beliau.

Beliau karena mencintai dan menghayati budaya kesundaan, dengan agak berlebihan tanpa dibarengi dengan pemahaman dan ilmu agama (islam) yang memadai sehingga beliau tanpa sadar terjebak pada sebuah paham yang disebut dengan Nativisme. Menurut Tiar Anwar Bachtiar, seorang Dai asal jawa barat yang mengupas tentang fenomena nativisasi di Indonesia mengungkapkan bahwa nativisasi adalah salah satu efek dari sekularisasi. “Nativisasi cenderung mengembalikan masyarakat kepada nilai-nilai tradisi sehingga mengesampingkan nilai-nilai keagamaan yang telah dianutnya.

Dalam konsep Nativisme, nilai-nilai tradisi merupakan nilai asli yang hidup di masyarakat yang harus diangkat. Padahal, di sisi lain, kebudayaan bersifat dinamis sehingga nilai-nilai tradisi terus berkembang sehingga tidak ada yang murni,” ungkap Tiar. Kemudian Menurut Tiar, nativisasi di Indonesia sudah dimulai sejak zaman kolonial dahulu. Beberapa tokoh yang berpengaruh dalam penyebaran nativisasi adalah para sejarawan asal Eropa yang menuliskan sejarah Indonesia, di antaranya adalah Thomas Stanford Raffles, gubernur jenderal di masa penjajahan Inggris yang menulis buku The History of Java pada tahun 1817. “Dalam buku tersebut, Raffles mengembangkan teori bahwa Hindu adalah akar budaya orang-orang Indonesia, khususnya Jawa,” ungkap Tiar. “Sekalipun Islam secara kasat mata terlihat menjadi anutan mayoritas masyarakat Indonesia saat Raffles menulis bukunya, namun ia melihat Islam hanya sebelah mata,” ujar Tiar. Karena itulah Raffles lebih merujuk budaya Hindu daripada Islam dalam tulisannya.

Selain Raffles, ada juga William Marsden, penulis buku The History of Sumatera pada tahun 1783. Dalam bukunya, William memberikan pandangan bahwa adat selalu dipertentangkan dengan agama sehingga Islam menjadi benda asing yang mempengaruhi adat di Sumatera. “Seolah-olah, masyarakat Sumatera tidak ada kaitannya dengan Islam,” ujar Tiar. Pemikiran Raffles, Marsden dan tokoh-tokoh nativisme lainnya di era kolonial tersebut berpengaruh dalam membentuk pemikiran masyarakat ketika bicara sejarah serta kebudayaan Indonesia.

“Ada kecenderungan mengesampingkan Islam yang mempunyai pengaruh sangat besar dalam membentuk kebudayaan Indonesia. Mereka malah merujuk budaya Hindu-Budha maupun aliran sinkretisme lainnya yang ada di Indonesia sebelum Islam datang. Padahal, budaya-budaya tersebut juga bukan budaya murni yang tanpa pengaruh dari budaya luar Indonesia.” Menurut Tiar, Islam sendiri mempunyai pengaruh pada budaya Indonesia yang tak bisa dilepaskan begitu saja.

Politik Nativisme

Sebuah paham dan keyakinan, ketika ada pada orang biasa, tidak berpengaruh sama sekali dan tidak membawa kemudharatan dan kemaslahatan kecuali untuk dirinya. Namun, ketika paham dan keyakinan itu ada pada orang yang berpengaruh maka, dampaknya akan sangat terasa bagi masyarakat luas dan Nativisasi atau Nativisme baik disadari atau tidak jika ada pada keyakinan kang Dedi Mulyadi maka akan muncul masalah baru yaitu apa yang disebut dengan Politik Nativisme.

Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat sejarah, mengatakan bahwa politik nativisasi itu merupakan rekayasa sarjana-sarjana Barat. Tujuannya, untuk menghilangkan warisan Islam di Nusantara, sehingga generasi selanjutnya tidak mengenal identitas Islam di rantau Melayu.

Dalam bukunya Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, al-Attas menjelaskan: “Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka” .

Hindu-Budha memang lebih dulu berjaya di Nusantara daripada Islam. Akan tetapi kebudayaan Hindu-Budha tidak memberi bekas terhadap masyarakat Nusantara. Sebaliknya, peradaban Islam mengubah pandangan hidup rakyat Melayu-Indonesia dengan warisan yang lekat dan mengakar. Pengaruh kuat Hindu hanya terbatas kepada keluarga elit kerajaan. Sedangkan kalangan rakyat tidak begitu menghiraukan doktrin kebudayaan Hindu.

Dalam hal ini al-Attas menulis: “Kita harus tahu bahwa kedatangan agama Hindu itu tidak merubah pandangan hidup masyarakat Melayu-Indonesia, suatu weltanschaung atau pandangan hidup yang berdasarkan seni dan bukan falsafah. Apabila agama Hindu tiba di kalangan mereka, ajaran-ajaran yang mengandung unsur falsafah tiada dihiraukan, dan yang lebih menarik hati mereka adalah ajaran-ajaran yang lebih sesuai dengan bawaan jiwa asli masyarakat”. Jadi, politik Nativisasi Belanda ini bertujuan melanggengkan penjajah, dan mengesankan ketiadaan budaya rasional dan filosofis di bumi Nusantara. Maka, jika ingin berjaya peradaban Nusantara ini, maka harus kembali kepada Islam.pungkas Al Attas.

Dalam Kamus besar bahasa Indonesia istilah “Nativisme” diartikan sebagai sikap atau paham suatu negara atau masyarakat terhadap kebudayaan sendiri berupa gerakan menolak pengaruh, gagasan atau ideologi dari kaum pendatang, atau menolak kaum pendatang. Sementara itu kata lain yang sepadan dengannya adalah Nativistik, yang artinya bersifat menghidupkan kembali kebudayaan murni masyarakat untuk menolak serbuan kebudayaan asing. Dari dua istilah tersebut maka, terbentuklah istilah Nativisasi, yaitu usaha yang dilakukan untuk berupaya menghidupkan kembali kebudayaan lokal (asli) guna untuk menghilangkan dan menolak pengaruh asing (dalam hal ini Islam).

Apakah Tujuan politik Nativisme adalah meminggirkan Islam?

Kenapa penolakan ini hanya berlaku untuk arab (Islam)? seperti yang marak akhir-akhir ini dikenal banyak narasi-narasi yang menyudutkan arab. Belakangan ini, ada disertasi yang “menggemparkan” jagad dunia maya, yang ditulis oleh KH Imaddudin asal Banten. Disertasi itu menjelaskan bahwa, keturunan-keturunan Rasulullah SAW yang ada di Indonesia itu tidak sah dan batal. Karena disebabkan oleh beberapa hasil penelitian. Diantaranya, Berdasarkan hasil tes DNA tidak satupun para Habaib di Indonesia itu yang cocok dengan DNA nya Rasulullah SAW. Kemudian, tidak ada kitab yang sezaman yang menjelaskan bahwa nasab Ba’lawi yang ada di Indonesia itu keturunan langsung dari Rasulullah SAW. Itu diantara kesimpulan dari disertasi yang ditulis oleh KH Imaddudin asal Banten itu.

Sebenarnya disertasi itu sudah dibantah oleh banyak kalangan dan ulama di Indonesia. Hanya saja, bantahan itu kurang dibesar-besarkan. Justru yang dibesar-besarkan itu isi dari disertasinya KH Imad. Hal ini terindikasi ada unsur kesengajaan untuk membesar-besarkan hasil penelitian KH Imad. Secara logika, selama ratusan tahun tidak ada satu kitabpun yang ditulis oleh para ulama yang meragukan nasab Ba’lawi. Bahkan, jika ada yang membantah sangat mudah untuk diluruskan. Bahwa, keberadaan Nasab Ba’lawi yang menjadi bagian dari Dzuriyat Rasulullah SAW adalah hasil dari ijma’ para ulama bukan hasil pendapat satu dua orang dan itu bertahan selama ratusan tahun. Lalu ada disertasi yang berseberangan dengan pendapat jumhur ulama, kenapa dibesar-besarkan dan langsung dianggap membatalkan semua pendapat yang sudah ratusan tahun. Ini sebenarnya ujung panahnya mengarah sikap anti arab, karena bukan asli Nusantara (budaya pendatang) dan ujungnya nanti dari anti Arab menjadi anti islam.

Mari kita lihat betapa tidak nyambungnya pernyataan-pernyataan berikut ini; jenggot budaya arab, cadar budaya arab, jubah, sorban itu budaya arab. Kalau kita lihat narasi ini sangat tidak masuk akal dan terkesan lucu. Kalau jenggot budaya arab kenapa orang yahudi banyak yang berjenggot? Cadar bukan budaya arab karena setahu saya sebelum ajaran islam berkembang di arab ada tradisi tari perut (yang hingga sekarang masih ada juga yang menyelenggarakan tarian perut itu) yang memperlihatkan perutnya. Orang afrika atau asia yang wilayahnya bergurun pasir juga sudah ada yang pakai cadar bahkan laki laki juga bercadar. Jadi sangat mengada ada. Sorban dan jubah juga bukan hanya budaya arab tapi juga peradaban dunia lainnya juga sering rajanya memakai jubah dan penutup kepala. Jadi memang narasi yang mengada-ada.

Kembali kepada pertanyaan diatas tadi, kenapa hanya islam dan ajarannya saja yang ditolak? Kalau ditelusuri sebenarnya mudah saja jawabannya, karena islam dan ajarannya dianggap mengekang kebebasannya, mengekang nafsu syahwatnya. Sementara budaya lain yang asing (budaya barat, korea, india dll) tidak mereka tolak, buktinya dimana-mana kita lihat budaya dan tradisi selain islam dianggap tidak masalah, misal mabuk mabukan, pesta, bahasa, potongan pakaian dan lain sebagainya justru dianggap tidak masalah karena punya kesamaan dengan nafsu mereka.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas tadi bahwa politik Nativisme merupakan program yang dijalankan dan digerakkan pertama kali oleh pemerintah kolonial dinegeri-negeri muslim yang mereka duduki dan kuasai. Untuk menjalankan program ini maka pemerintah kolonial bekerjasama dengan para Orientalis (orang yang dianggap memiliki kepakaran tentang asia khususnya islam) sebagaimana yang diakui sendiri oleh salah seorang orientalis yang bernama T. Ceyler young, dia berkata: “disetiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban sebelum islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat islam kepada Aqidah sebelum islam tapi cukuplah dengan itu kami membuat mereka terombang ambing antara memilih islam atau peradaban lama tersebut”. Jadi jelas bagi kita terutama umat islam begitu bencinya para penjajah kolonial barat terhadap islam dan umat islam.

Keberhasilan dari program Nativisme bisa kita saksikan sekarang baik dalam bentuk bangunan fisik maupun kebudayaan kebudayaan lama yang senantiasa masih dilestarikan ditengah tengah masyarakat kita. Pemugaran candi Borobudur (pada masa pemerintahan kolonial gubernur Raffles), Prambanan dan Penataran serta masih terjadinya pembiaran kebiasaan-kebiasaan semasa pra Islam ditengah tengah masyarakat yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran islam.

Keberhasilan para Orientalis yang dibawa oleh penjajah termasuk yang di Indonesia dikarenakan salah satu program penjajah Eropa yaitu Gospel. Selain punya misi untuk mencari kekayaan (Gold) dan kekuasaan (Glory) di negeri jajahan mereka, mereka kaum penjajah juga punya misi kristenisasi atau gospel yang juga merupakan tugas wajib dari misi gereja bagaimana menyebarkan agama kristen di tanah jajahannya. Karena Islam sudah duluan berkembang di Indonesia dibandingkan ajaran kekristenan (menurut buya HAMKA Islam sudah masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke 7 masehi yang dibawa oleh ulama ulama langsung dari timur tengah dan bahkan dari kalangan sahabat nabi SAW, Walaupun sebagian pendapat ada yang mengatakan abad ke 13 yang dibawa oleh pedagang Gujarat India bahkan juga dari persia katanya, teori Snouck Hougranje). Bahkan ajaran islam waktu itu dianut oleh hampir seluruh penduduk Nusantara (indonesia) pada waktu bangsa barat (Eropa) pertama kali masuk ke wilayah nusantara.

Dengan demikian ketika para penjelajah Eropa awal masuk ke indonesia, bangsa indonesia sudah menganut Islam dan agama Islam menyatu dengan masyarakat nusantara, maka inilah yang menjadi tantangan terbesar sekaligus faktor penghambat penjajah Eropa untuk menguasai nusantara dikemudian harinya. Islam dan umat islam adalah faktor utama sulitnya bangsa Eropa menguasai Indonesia sehingga dibutuhkan waktu ratusan tahun untuk menguasai Indonesia, meski akhirnya berhasil dilakukan kolonialisme fisik, namun keyakinan orang Indonesia (islam) sulit dirobah.

Kerajaan Belanda adalah paling lama bercokol menjajah bangsa Indonesia dibandingkan dengan bangsa Eropa lainnya, namun pada prinsipnya mereka sama saja karena mereka semua adalah bangsa Eropa yang baru terbangunkan setelah tidur panjang mereka selama lebih kurang 16 abad (zaman kegelapan eropa atau dark age). Bangsa Eropa mengalami apa yang disebut dengan era Renainsance (abad kebangkitan) pada awal abad 15 dan era kejayaan pada awal abad 18 (revolusi politik di prancis dan revolusi industri di inggris). Sebelumnya atau semasa zaman kegelapan (dark age) bangsa Eropa selama berabad-abad hidup dalam tekanan gereja dan raja-raja yang bersekongkol dengan gereja untuk berperan mendominasi kehidupan rakyat Eropa pada waktu itu. Ilmu pengetahuan dilarang berkembang, ajaran nabi isa (kristen) sudah diacak acak sekehendak hati oleh para paus, pastor dan para petingginya. Kesewenang wenangan terjadi dimana mana. Para raja, petinggi kerajaan, bangsawan dan tokoh agama menari nari diatas penderitaan bangsa Eropa. Mereka menderita secara fisik dan secara mental atau bathin.

Ketika peradaban Eropa mengalami abad kegelapan, sementara itu di Asia khususnya di jazirah arab terbitlah cahaya islam yang dimulai dari abad ke 7 masehi yaitu ketika Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah swt sebagai Rasul terakhir yang membawa risalah yang menyempurnakan ajaran tauhid (islam) yang dibawa oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Berawal dari arab (mekah madinah) cahaya islam perlahan namun pasti merangsek keberbagai belahan dunia, menerangi kegelapan karena kebodohan bangsa-bangsa dan peradaban waktu itu. Kebodohan disini maksudnya bukan bodoh tidak bisa matematika, pertanian, teknologi dan lain sebagainya. Namun, mereka bodoh tidak mengenal siapa yang menciptakan alam semesta ini, siapa yang menghidupkan dan mematikan, siapa yang mengatur alam semesta ini. Kebodohan mereka karena tidak mengenal Allah swt (islam). berawal dari pembebasan bangsa parsia, pembebasan negeri syam dari cengkraman romawi, mesir dan seterusnya. Puncaknya pada masa kekhalifahan harun ar rasyid pada dinasti abbasiyah.

Ketika bangsa Eropa pertama kali mendarat di Indonesia (awal abad 15) dan diawali dengan penguasaan malaka oleh Portugis (1511) Islam sudah sangat kuat di nusantara. Hal ini ditandai dengan berdirinya kerajaan -kerajaan Islam, baik di sumatera maupun di jawa serta kalimantan dan sulawesi bahkan sampai maluku. Dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis maka membuka gerbang bagi bangsa barat untuk menguasai bangsa Indonesia. Namun, selama puluhan tahun bahkan ratusan tahun bangsa barat hanya mengklaim bahwa mereka pernah menguasai nusantara.

 

Kesimpulan

Kang Dedi Mulyadi, sekarang menjabat sebagai Gubernur jawa Barat, provinsi terpadat di Indonesia dan mayoritas dihuni oleh suku Sunda yang terkenal kental dengan keislamannya. Sebelumnya kang Dedi Mulyadi menjabat sebagai bupati Kabupaten Purwakarta provinsi Jawa Barat. Beliau orang Sunda, muslim dan sangat kental dengan Kesundaannya, dalam kehidupan sehari-hari kita bisa menyaksikannya, baik secara atribut maupun perkataan dan perbuatan.

Secara personal, beliau termasuk sosok pemimpin yang tidak biasa. Beliau bukan tipe pemimpin kebanyakan yang nyaris tidak ada gebrakan. Kang Dedi adalah tipe pemimpin yang punya terobosan, berani dan kadang nekad. Ketika menjadi bupati kabupaten Purwakarta mayoritas warga Purwakarta puas dengan kepemimpinnya.

Berbicara kang Dedi Mulyadi, kita akan melihat “dua wajah” dalam dirinya. Pertama, wajah kesundaannya yang kental dan kedua, tentu saja wajah keislaman beliau, meski wajah kesundaan paling dominan. Ini cukup unik dan hal ini bisa kita temukan di Provinsi Sumatera Barat yang mayoritas beragama islam dan islam telah menjadi bagian dari Minangkabau itu sendiri, hal ini bisa kita lihat pada postulat yang terkenal di Minangkabau, “Adat basandi syara’ syara’ (agama) basandi Kitabullah (Alqur’an) Syara’ mangato adat mamakai”.

Berbeda dengan kang Dedi, meski beragama islam yang cukup kental. Namun, beliau sebagaimana yang telah dibahas diatas, lebih menonjolkan adat budaya kesundaanya. Hal ini dibuktikan ketika beliau menjabat bupati Purwakarta, dengan membuat banyak patung dan mendirikan rumah ibadah agama lain. Hal ini tentu saja menimbulkan kontroversi ditengah masyarakat. Bukan berarti apa yang dilakukannya salah (membuat patung dan symbol) namun karena masyarakatnya religious membangun patung adalah sebuah keganjilan.

Kita tentu tidak menyalahkan prinsip yang dipegang oleh Kang Dedi. Justru kita mendukung jika ada pejabat yang begitu mencintai kebudayaannya, sesuatu yang semakin memudar di pejabat kita, karena kebodohan dengan sejarah asal mereka. Kang Dedi telah menunjukkan contoh bagaimana cara mencintai budaya bangsanya.

Hanya saja, sikap berlebihan terhadap kebudayaan sendiri sebagai sebuah identitas membuat seseorang gagal paham dengan budayanya itu. Bukankah kebudayaan itu bersifat dinamis? Bukankah kebudayaan itu berkembang sesuai dengan pengaruh-pengaruh dari luar yang masuk dan menyesuaikan dengan kebudayaan setempat. Islam, sebuah ajaran yang sudah sekian ratus tahun ada dan berkembang di Indonesia termasuk di jawa Barat (sunda) hal ini dibuktikan dengan mayoritas penduduk jawa barat yang berbudaya Sunda beragama Islam. Sesuatu yang patut disyukuri.

Hanya saja, kadang terlalu mencintai kebudayaan sendiri membuat sesseorang gagal paham dengan budaya luar atau ajaran (agama) yang datang dan berkembang ditengah-tengah masyarakat setempat. Mulai muncul sikap memisahkan antara budayanya dengan ajaran agamanya. Islam dengan sunda. Seolah-olah budaya sunda itu satu hal dan islam hal lain. Kalau seperti ini kenapa mereka islam? Bukankah budaya Sunda itu banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur keislaman? Sebagaimana minangkabau?

Bentuk gagal paham itu akhirnya “memusuhi” minimal memandang bahwa Islam itu hanya kulit luar saja, sementara di dalamnya adalah Sunda. Islam hanya seumpama lapisan cat pada tembok dan kursi, bukan tembok atau kursi itu sendiri. Adapun tembok dan kursi adalah sunda. Ini adalah cikal bakal munculnya bibit-bibit Nativisme, atau sikap yang berupaya memisahkan unsur-unsur yang dianggap asing dan bukan bagian dari budaya mereka.

Sejauh ini, saya melihat kang Dedi masih berupaya menyatukan dua wajah tadi, kesundaan dan keislamannya. Semoga beliau tidak salah langkah dengan membenci dan memusuhi sesuatu yang seharusnya menjadi identitas dirinya, Islam.

 

Wallahu a’lam bish showwab