GUBES VIRAL, TAFAQQUH FIDDIN

GUBES VIRAL, TAFAQQUH FIDDIN

 Oleh: Duski Samad

Ketua Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol

Pengukuhan Guru Besar (Professor) dalam jumlah jumbo, 10 (sepuluh) orang, yang dilakukan Universitas Islam negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, hari Rabu, 04 Juni 2025 tidak saja mencatat rekor sejarah terbanyak dalam satu tahun, bersamaan itu juga mengundang decak kagum dan apresiasi warga nitizen atau viral di media sosial.

Satu di antara yang paling banyak komentar dan mengisi jagad media sosial adalah pidato pengukuhan Professor Doktor Zainal Azwar dalam mata kuliah Ilmu Ushul Fiqih. Guru besar yang satu ini tidak saja ahli dalam menetapkan hukum Islam, ia juga mubaligh yang disenangi jamaah di mimbar, santun, ceria dan bahasa mudah dipahami, tak terkecuali canda juga muncul saat menyampaikan orasi ilmiah.

Inti yang menjadi perhatian public adalah ketika sang Professor menyatakan keprihatinannya terhadap masa depan kemampuan dosen dan mahasiwa dalam membaca kitab kuning (kitab tanpah harkat, artinya sumber-sumber orisinil ilmu Islam). Guru Besar ini menyatakan perlunya revitalisasi Tafaqquh Fiddin di UIN Imam Bonjol.  Ia mengajak pimpinan dan civitas akademika membaca tanda-tanda zaman,  untuk menghidupkan kembali ruh keilmuan Islam berbasis kitab, sanad dan adab.

Kritik terhadap kebijakan Pemerintah yang mewajibkan artikel ilmiah, scopus, yang menempatkan referensi pada jurnal terkini, mengabaikan kajian turast, kitab kuning yang mestinya menjadi sumber utama dan kekuatan keilmuan Islam. Ajakan menjadikan UIN tidak melupakan jati dirinya, pengkaji turast, UIN Imam Bonjol yang berkitab kuning.

Transformasi IAIN menjadi UIN membuka peluang integrasi ilmu, namun secara bersamaan menghadirkan tantangan terhadap eksistensi tafaqquh fiddin. Urgensi, kondisi aktual, tantangan, dan strategi revitalisasi tradisi tafaqquh fiddin di lingkungan UIN agar tetap menjadi basis pembentukan ulama dan intelektual muslim yang otoritatif dan berakhlak.

Tafaqquh fiddin merujuk pada proses pendalaman ilmu agama secara menyeluruh dan mendalam, dengan fondasi utama sanad keilmuan dan adab terhadap guru dan ilmu. Di tengah arus modernisasi perguruan tinggi Islam (PTKIN), nilai-nilai ini mulai mengalami pergeseran.

Makna klasik tafaqquh bukan hanya tahu fikih, tapi mendalami agama dengan niat lillah, adab, dan riyadhah. Terwujud dalam surau dan pesantren dengan mata rantai sanad yang jelas. Harus diakui tafaqquh fiddin mengalami pergeseran di UIN. Setelah perubahan status IAIN ke UIN terjadi diversifikasi ilmu (hadirnya prodi umum). Kurikulum keagamaan semakin terfragmentasi dan terakademikkan, kehilangan kajian pokoknya, kalaupun ada menimal sekali, dan lebih menyedihkan hilangnya dimensi ruhaniah.

Krisis otoritas keilmuan (tanpa sanad), tak memiliki ilmu alat (bahasa arab, nahu, rafa, qawaid dan ilmu penunjang lainnya).  Degradasi adab dalam belajar.  Hilangnya halaqah kitab dan pembelajaran tatap muka yang intensif. Minimnya integrasi antara ilmu dan spiritualitas.

Beberapa langkah strategis yang diharapkan dapat kembali membangkitkan tafaquuh fiddin adalah dengan sungguh-sungguh reaktivasi Ma’had al-Jami’ah sebagai pusat tafaqquh. Pembelajaran kitab kuning secara intensif sebagai kegiatan wajib luar kelas. Dosen bersanad diberi ruang dan penghargaan untuk mengembangkan metode klasik. Menghadirkan ulama tradisi ke kampus melalui halaqah, bahtsul masail, dan seminar. Integrasi digital dan kitab klasik, dengan platform belajar online bersanad.

Revitalisasi tafaqquh fiddin di UIN bukan langkah mundur, tetapi kembali kepada akar ilmu yang kokoh untuk melangkah lebih jauh. Di tengah krisis etika dan disorientasi spiritual, ruh tafaqquh menjadi kebutuhan mendesak umat.

 

UIN ULAMA DAN CENDEKIAWAN

UIN Ulama dan Cendekiawan yang dimaksud disini adalah sebagai pendekatan strategis dalam mengintegrasikan ilmu keislaman (tafaqquh fiddin) dengan keilmuan modern dalam pendidikan tinggi Islam. Model ini menawarkan sinergi antara otoritas moral ulama dan kapasitas intelektual cendekiawan untuk menjawab tantangan zaman. Visi ini berpotensi menguatkan peran UIN sebagai pelopor peradaban Islam yang transformatif dan kontekstual.

Universitas Islam Negeri (UIN) merupakan transformasi institusi keislaman dari IAIN yang mengemban misi ganda: sebagai pusat studi keagamaan dan pusat keilmuan multidisipliner. Dalam konteks ini, penting untuk memformulasikan paradigma baru yang relevan dengan tantangan zaman, salah satunya adalah konsep “UIN Ulama dan Cendekiawan”. Konsep ini ingin menghidupkan kembali karakter institusi yang melahirkan figur dengan kedalaman ilmu-ilmu dan spiritual keislaman dan keluasan intelektual—suatu sosok yang tidak hanya faqih tetapi juga cendekia.

Ulama dan Cendekiawan: Dua Kutub Keilmuan Islam.  Dalam tradisi Islam, ulama adalah pewaris nabi yang memiliki otoritas moral dan keilmuan dalam bidang keagamaan. Mereka berakar pada tradisi pesantren, surau, dan madrasah. Sementara cendekiawan (intellectual) muncul dari kultur akademik modern yang menekankan rasionalitas, kritisisme, dan metodologi ilmiah.

Dimensi Perbandingan Ulama dan Cendekiawan basis ilmu kitab kuning, ilmu bersanad dan buku akademik dan riset. Fungso sosial ulama pembimbing spiritual, sedangkan cendikiawan penganalisis sosial. Orentasi ulama fitrah dan hikmah, cendikiawan nalar dan solusi. Ruang pergerakkan ulama di Masjid, Surau, Pesantren dan Madrasah , sedangkan cendikiawan di kampus dan forum ilmiah. Kedua entitas ini tidak untuk dipertandingkan, kecuali untuk disandingkan. Itu nilai lebih yang dihasil IAIN-kini UIN Imam Bonjol.

UIN Sebagai Kawah Candradimuka Ulama-Cendekia. UIN idealnya menjadi tempat pembentukan karakter ilmuwan Muslim yang mampu membaca realitas dengan kecerdasan nalar dan nurani. Mampu memadukan antara teks (nash) dan konteks (zaman). Mampu mewarisi warisan klasik dan menciptakan inovasi kontemporer. Pendidikan di UIN harus menyatukan epistemologi bayani (tekstual), burhani (rasional), dan irfani (spiritual). Hal ini sejalan dengan gagasan integrasi ilmu yang diusung banyak pemikir Muslim kontemporer seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas, Nurcholish Madjid, dan M. Amin Abdullah.

Strategi Implementasi Konsep Ulama-Cendekia di UIN, beberapa strategi yang dapat diterapkan di antaranya revitalisasi kurikulum: Integrasi kurikulum pesantren (kitab klasik) dengan metodologi riset modern. Model Pendidikan Holistik: Kombinasi antara learning to know, to do, to be, and to live together. Reorientasi Profil Lulusan: Ulama yang berpikir kritis, cendekia yang berakhlak. Pendidikan Karakter Berbasis Spiritualitas Islam: Surau kampus, halaqah, kajian kitab, tahfiz dan riset unggul.

Konsep “UIN Ulama dan Cendekiawan” merupakan strategi integratif dan rekonstruktif untuk menjawab tantangan masa depan pendidikan Islam. Dengan mengakar pada tradisi ulama dan bergerak menuju horizon kecendekiaan, UIN dapat menjadi pilar kebangkitan peradaban Islam yang menyatukan hikmah masa lalu dan harapan masa depan. Mari berdoa untuk hadirnya Imam (Rektor) yang akan mengimami UIN Ulama dan Cendikiawan.

 

KESIMPULAN

Fenomena viralnya pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Ushul Fiqih, Prof. Dr. Zainal Azwar, di UIN Imam Bonjol Padang menjadi momentum reflektif dan kritik konstruktif terhadap arah pendidikan tinggi Islam, khususnya urgensi revitalisasi tradisi tafaqquh fiddin. Tradisi ini, yang berakar pada pendalaman ilmu agama melalui kitab kuning, sanad, dan adab, mulai terpinggirkan di tengah arus modernisasi dan tuntutan akademik formal seperti publikasi bereputasi internasional yang cenderung mengabaikan turats.

Transformasi IAIN menjadi UIN memang memperluas cakrawala keilmuan, namun juga menghadirkan tantangan serius bagi eksistensi ilmu-ilmu keislaman klasik. Krisis sanad, degradasi adab, lemahnya penguasaan ilmu alat, serta terfragmentasinya kurikulum agama menandai perlunya langkah serius dan sistematis untuk menghidupkan kembali ruhul ilmi dalam pendidikan Islam.

Konsep strategis “UIN Ulama dan Cendekiawan” hadir sebagai tawaran integratif antara kedalaman tradisi ulama dan keluasan wawasan cendekiawan. Keduanya bukan entitas yang bertentangan, melainkan dua kutub yang saling menguatkan. UIN idealnya menjadi kawah candradimuka yang melahirkan intelektual Muslim dengan integritas moral, spiritualitas mendalam, dan kapasitas akademik unggul yang mampu membaca teks (nash) dan konteks (zaman) secara bijak dan visioner.

Revitalisasi tafaqquh fiddin di UIN bukanlah langkah ke belakang, melainkan upaya kembali ke akar ilmu untuk menapaki masa depan yang lebih kokoh dan bermakna. UIN dengan identitas sebagai penggabung warisan ulama dan pemikiran cendekia berpotensi menjadi mercusuar kebangkitan peradaban Islam di tengah krisis nilai dan arah zaman. DS.08062025.

 

Leave a Reply