GURU DAN SIPRITUAL RESILIENCE
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol
Topik tulisan di atas muncul dipikiran saat penulis menziarahi makam ulama guru umat di nusantara, terakhir tanggal 4 Mei 2025 lalu menziarahi makam almarhum Tuan Guru Bodang di Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat, saat menghadiri peringatan nasional milad 97 PERTI di Pesantren Yatofa Bodak Lombok.
Memang dalam tradisi Islam, guru bukan sekadar pengajar ilmu, tetapi pembimbing ruhani yang memandu murid melewati jalan panjang menuju makrifatullah.
Dalam tasawuf, hubungan guru dan murid bersifat eksistensial dan mendalam. Ungkapan sufi “lawlā murabbī mā ‘araftu rabbī” (kalau bukan karena guruku, aku tidak akan mengenal Tuhanku) adalah menggambarkan betapa pentingnya peran guru dalam proses spiritual yang akhirnya menjadi benteng untuk ketangguhan sipritual.
Pentingnya ketangguhan sipritual, sebab resilensi sipritual menjadi pertahanan jiwa menghadapi kondisi sulit, susah dan senang sekalipun. Sipritual yang lemah dan rentan menjadi sebab awal kerusakan diri.
Ketangguhan sipritual guri dan murid membawa efek psikologis dari hubungan tersebut serta bagaimana adab murid menjadi faktor penting dalam menerima limpahan ilmu dan hikmah dari seorang guru spiritual.
Relasi Guru-Murid
Tasawuf menekankan pentingnya bimbingan langsung dari seorang mursyid atau murabbi. Dalam perjalanan suluk, murid tidak dibiarkan berjalan sendiri, tetapi dibimbing agar terhindar dari jebakan ego dan syahwat yang dapat menghalangi makrifat.
Relasi ini bukan hubungan akademik belaka, melainkan hubungan ruhani yang diikat oleh cinta, adab, dan kepercayaan.
Guru spiritual adalah pembuka jalan yang telah lebih dahulu menempuh rute yang sama, sehingga mampu menunjukkan arah yang benar.
Efek Psikologis Guru Spiritual terhadap Murid. Secara psikologis, kehadiran guru spiritual membawa ketenangan batin, rasa aman, dan kepercayaan diri pada murid. Dalam konteks psikologi transpersonal, guru seringkali menjadi figur ideal (idealized figure) yang membantu murid mentransformasi jati dirinya ke arah yang lebih spiritual.
Hubungan ini memperkuat identitas ruhani, membantu murid mengatasi trauma batin, dan membuka pintu kesadaran terhadap kehadiran Allah (God- consciousness).
Efek ini juga memperkuat spiritual resilience, yaitu ketangguhan jiwa dalam menghadapi godaan dunia dan krisis kehidupan.
Adab Murid sebagai Jalan Penerimaan Ilmu dan Hikmah.
Dalam Islam, adab mendahului ilmu. Murid yang tidak beradab kepada guru, akan tertutup hatinya dari keberkahan ilmu. Dalam sejarah, Imam Syafi’i bahkan mencontohkan bagaimana ia duduk dihadapan Imam Malik dengan penuh takzim, tidak berani membuka lembaran kitab tanpa izin. Adab meliputi rendah hati, sabar, taat, dan tidak menyela atau membantah guru.
Adab juga membentuk kesiapan batin untuk menerima limpahan nur (cahaya) spiritual yang tidak dapat ditangkap oleh akal semata.
Relevansi dan Aplikasi dalam Konteks Modern.
Di era digital, relasi spiritual seringkali terdistorsi oleh media sosial dan budaya instan. Banyak yang merasa cukup belajar melalui video atau tulisan tanpa menghadirkan sikap adab kepada guru. Padahal, dalam pendidikan Islam yang otentik, kehadiran guru secara fisik dan spiritual tetap penting.
Adab tidak hanya berlaku dalam majelis ilmu, tapi juga dalam interaksi online, dengan menjaga etika komunikasi, sopan santun, dan tidak gegabah dalam menyampaikan komentar atau kritik.
Relasi antara guru spiritual dan murid memiliki spiritual resilience atau ketangguhan spiritual adalah kemampuan seseorang untuk tetap tegar, tenang, dan bermakna dalam menghadapi tekanan, kesulitan, atau krisis hidup dengan berpijak pada keyakinan, nilai, dan hubungan spiritualnya dengan Tuhan.
Ciri-ciri Spiritual Resilience:
Kepercayaan kuat kepada Tuhan. keyakinan bahwa segala ujian memiliki hikmah dan dikelola oleh kehendak Ilahi.
Makna dalam penderitaan, mampu melihat cobaan sebagai bagian dari proses pembentukan jiwa.
Kekuatan batin dari ibadah dan doa, menjadikan spiritualitas sebagai sumber energi dan ketenangan.
Hubungan yang dalam dengan komunitas spiritual, seperti guru, ulama, atau jamaah yang saling menguatkan.
Harapan dan optimisme berbasis iman, yakin bahwa pertolongan Allah akan datang di waktu yang tepat.
Konsep ini dekat dengan sabr (kesabaran), tawakkal (pasrah kepada Allah), dan ridha (menerima ketentuan Allah dengan ikhlas).
Dalam tasawuf, spiritual resilience sering terbentuk melalui suluk dan bimbingan guru yang membantu murid menemukan keteguhan hati dalam perjalanan batin.
Guru spiritual bukan hanya pemberi ilmu, tetapi pembentuk jiwa. Efek psikologis yang positif dari kehadiran guru hanya dapat dirasakan oleh murid yang menjaga adab. Oleh karena itu, menghidupkan kembali tradisi adab dan membangun relasi spiritual yang sehat merupakan kebutuhan mendesak dalam pendidikan Islam kontemporer, agar proses transformasi jiwa berjalan dengan lurus dan penuh berkah.
DALIL NASH
Peran Guru dan Pembimbing Ruhani
QS. Al-Kahfi: 66.
“Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”
Ayat ini menggambarkan sikap Nabi Musa terhadap Khidr sebagai guru ruhani, dengan penuh hormat dan keinginan untuk belajar secara langsung. Ini mencerminkan adab murid dan pentingnya bimbingan spiritual langsung.
QS. Az-Zumar: 9
“Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Ini menegaskan keutamaan ilmu dan orang yang diberi ilmu (guru), yang dalam tradisi tasawuf juga termasuk ilmu ma’rifat.
Hadis Nabi SAW Tentang Guru dan Adab. Hadis Riwayat Al-Bukhari
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” Guru ruhani (ulama rabbani) melanjutkan tugas kenabian dalam membimbing umat secara spiritual dan intelektual.
Hadis Riwayat At-Tirmidzi
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua kami, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak orang berilmu di antara kami.” Ini menunjukkan pentingnya adab terhadap guru sebagai bentuk kesiapan ruhani menerima ilmu dan hikmah.
Ungkapan Ulama Sufi “Lawlā Murabbī mā ‘araftu RabbKalau bukan karena guruku, aku tidak akan mengenal Tuhanku.” Dari ungkapan ini, terlihat bahwa hubungan guru-murid dalam tasawuf bersifat eksistensial, bukan sekadar instruksional.
ANALISIS ILMIAH
Dalam psikologi modern, spiritual resilience adalah kemampuan individu menghadapi tekanan hidup dengan berpijak pada kekuatan iman, makna, dan keterhubungan spiritual. Menurut Pargament (1997), religiusitas yang sehat memperkuat daya tahan psikologis melalui:
Sacred coping: menghadapi masalah dengan mendekat kepada Tuhan.
Religious support: dukungan dari komunitas spiritual. Transformasi spiritual: perubahan makna hidup yang mendalam setelah mengalami ujian.
Hal ini sangat selaras dengan konsep suluk dalam tasawuf yang dibimbing oleh guru (mursyid) untuk mencapai keteguhan ruhani.
Guru Sebagai Mediator Transformasi Ruhani. Dalam psikologi transpersonal, guru ruhani dipandang sebagai idealized figure atau transitional object yang membantu individu keluar dari penderitaan batin menuju pencerahan spiritual. Proses ini memperkuat identitas diri dan spiritual resilience.
Pentingnya Adab dalam Relasi Guru-Murid. Dalam pedagogi Islam, adab adalah pondasi keberhasilan murid. Konsep ini dibahas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam and Secularism, bahwa:“Pendidikan adalah proses instilasi adab, dan ilmu hanya bermakna jika diterima dengan jiwa yang beradab.”
Konteks Kekinian: Digitalisasi dan Tantangan Adab
Relasi guru dan murid kini sering tereduksi menjadi relasi konten dan konsumen. Padahal proses ruhani tidak cukup hanya lewat video atau teks.
Guru bukan hanya sumber pengetahuan, tapi penyalur barakah dan pembimbing transformasi batin.
Kesimpulan:
Tulisan ini menegaskan bahwa dalam tradisi Islam, khususnya dalam tasawuf, guru bukan hanya pengajar ilmu, tetapi pembimbing ruhani yang berperan penting dalam membentuk spiritual resilience atau ketangguhan jiwa murid. Relasi guru-murid bersifat mendalam dan eksistensial, ditopang oleh cinta, adab, dan kepercayaan. Guru spiritual memberikan efek psikologis yang positif, menumbuhkan ketenangan batin dan kekuatan menghadapi krisis hidup.
Spiritual resilience tercermin dalam kepercayaan kepada Tuhan, makna dalam penderitaan, kekuatan ibadah, dukungan komunitas, dan harapan berbasis iman. Proses pembentukan ketangguhan ini tidak bisa dilepaskan dari adab murid terhadap guru, sebab adab adalah kunci terbukanya keberkahan ilmu dan pencerahan ruhani.
Dalam konteks modern yang serba digital, tulisan ini mengingatkan akan pentingnya menghadirkan kembali tradisi adab dan bimbingan langsung guru agar transformasi spiritual tetap berjalan lurus dan bermakna. Guru spiritual adalah penjaga cahaya ilahi yang tak tergantikan oleh teknologi. ds.07052025.