GURU ITU PEJUANG DAN PENULIS
Penulis: Azwirman,S.Pd
Kenapa guru harus menulis? Maka, saya akan balik bertanya, kenapa guru tidak menulis? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan mengajak pembaca untuk menengok sejarah kebelakang apa perbedaan guru dulu dengan guru masa sekarang ini (Millenial).
Ada sebuah pergeseran yang sangat tajam yang menurut saya harus segera dibenahi terutama dikalangan pendidik (guru) dan juga pada pemangku kebijakan, yang dalam hal ini tentu pemerintah. Pergeseran yang saya maksud adalah cara pandang masyarakat, orang tua, siswa, pemerintah bahkan guru itu sendiri terhadap “guru” yang menurut saya keliru. Cara pandang yang keliru akan membentuk konsep guru yang keliru, konsep guru yang keliru akan melahirkan guru yang salah, guru yang salah akan menghasilkan murid yang salah, murid yang salah akan melahirkan pemimpin yang salah dikemudian hari dan pemimpin yang salah akan menimbulkan kerusakan sebuah bangsa dan peradaban dimasa yang akan datang.
Apa yang salah dari cara pandang kita terhadap guru selama ini? Salah satunya adalah bahwa guru dijadikan sebagai sebuah Profesi. Guru sebagai sebuah Profesi memaksa guru itu disamakan dengan Dokter, Perawat, Bidan, Tukang Bengkel, Tukang Kayu, Tukang Ojek dan tukang-tukang lainnya. Padahal guru itu hakekatnya bukan “tukang” yang digaji karena bekerja sebagai tukang mengajar.
Cobalah kalau kita lihat dalam kehidupan sehari hari, yang namanya tukang maka ia harus pandai memuaskan pelanggannya. Kalau ia tukang cukur maka ia harus memuaskan orang yang gunting rambut kepadanya. Kalau tukang cukur itu memangkas rambut tidak sesuai dengan permintaan pelanggannya maka pasti ia akan dimarahi minimal orang tidak akan mau potong rambut lagi kepadanya.
Padahal kita bangsa indonesia kaya akan Potret guru ideal dalam sejarah Bangsa Indonesia, mereka di samping mendidik anak didiknya dengan baik dan benar, juga menulis dan berjuang. Jadi guru itu bukan sebuah profesi, akan tetapi pejuang.
Lihatlah Ki Hajar Dewantara (pendiri Taman Siswa), Rahmah El Yunusiyah (Pendiri pendidikan khusus putri pertama di Indonesia, Diniyah Puteri), KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari (dua tokoh yang di sebutkan terakhir adalah pendiri ormas islam terbesar di Indonesia yaitu, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama/NU) Muhammad Natsir (pendiri Pendidikan Islam (PENDIS) dan Dewan Dakwah Islam Indonesia.
Semua potret tokoh yang saya sebutkan tadi, adalah segelintir tokoh dan pahlawan Indonesia yang aktivitas sehari-harinya adalah pendidik alias Guru. Kita juga mengenal sosok semisal, Datuk Tan Malaka, yang juga seorang guru. Bahkan, jenderal besar Sudirman saja, beliau itu aslinya guru di Muhammadiyah. disamping mereka itu seorang guru yang hebat, pejuang dan juga sekaligus adalah seorang penulis juga yang karyanya masih di pakai hingga sekarang. Tan Malaka, misalnya, beliau punya karya tulis berupa buku yang cukup banyak dan masih dibaca oleh anak-anak muda millenial hari ini.
Lihatlah Pak Natsir yang telah menulis sekitar 45 buku atau monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya tentang Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam sejak karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929. padahal yang kita tahu selama ini Pak Natsir adalah seorang politikus Islam, ternyata beliau juga seorang penulis.
Ki Hajar Dewantara, yang belakangan menjadi Menteri Pendidikan Pertama di Indonesia adalah seorang penulis juga, meskipun tidak banyak tulisan beliau baik artikel maupun buku. Tulisan beliau yang cukup terkenal adalah kolom KHD (Ki Hajar Dewantara) yang paling terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.
Belum lagi kalau kita belajar dari seorang pejuang, guru sekaligus pendiri Diniyah Puteri Padang Panjang, Syekhah Hj Rangkayo Rahmah El Yunusiyah (lahir di Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang, Hindia Belanda, 26 Oktober 1900 – meninggal di Padang Panjang, Sumatra Barat, 26 Februari 1969 pada umur 68 tahun) seorang reformator pendidikan Islam. Diniyah puteri, perguruan yang saat ini meliputi taman kanak-kanak hingga sekolah tinggi. Sewaktu Revolusi Nasional Indonesia, ia memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padang panjang serta menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat senjata mereka. Perempuan, sekaligus tentara dan pejuang serta Guru besar Pendiri Lembaga pendidikan puteri pertama di Indonesia bahkan dunia, boleh di bilang sesuatu yang langka dan luar biasa kalau kita berbicara konteks zaman waktu itu.
Rahmah muda, sempat belajar di Diniyah School yang dipimpin abangnya, Zainuddin Labay El Yunusy. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri, Rahmah secara inisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau untuk mendalami agama (hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau) ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923.
Rahmah El Yunusiyah, pada masa pendudukan Jepang, sempat juga memimpin Hahanokai di Padang panjang untuk membantu perwira Giyugun (tentara sumatera bentukan jepang, kalau di jawa tentara PETA). pernah juga ditangkap oleh Belanda pada 7 Januari 1949 dan ditahan (agresi militer kedua Belanda). karir beliau yang terakhir di kancah nasional adalah Dalam pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Sejauh yang penulis lacak dari beberapa sumber yang sudah ditemukan, untuk sementara penulis belum menemukan karya tulis dari sosok luar biasa Syaikhah Rahmah El Yunusiyah. Menurut penulis, karena beliau seorang pejuang yang luar biasa sejak era Penjajah Belanda, Jepang, hingga Orde lama bahkan memimpin pejuang Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di zaman Belanda dan Menginisiasi Giyugun cabang Padang panjang di zaman Jepang. Hal ini, sekali lagi menurut penulis membuat beliau tidak sempat untuk menulis. Namun yang jelas, beliau adalah pahlawan yang layak di tempatkan pada kedudukan tinggi di Indonesia. Sebab bukan hanya Indonesia, dunia Islam pun mengakui beliau sebagai tokoh besar sekaligus pembaharu Islam. Sehingga Universitas islam tertua di dunia (Al Azhar, Mesir) tidak ragu memberikan gelar kehormatan Syaikhah kepada Rahmah El Yunusiyah.
KH Ahmad Dahlan, adalah nama yang udah tidak asing lagi bagi kita, umat islam Indonesia. Tokoh pendiri organisasi Islam terbesar di indonesia, Muhammadiyah (1912), pendirian organisasi Muhammadiyah dengan tujuan untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Karena Beliau cukup lama menimba ilmu di Mekkah dan berguru dengan seorang ulama terkenal asal Minangkabau (Syaikh Ahmad Khatib Al minangkabawi) bersama-sama dengan KH Hasyim Asyari (Pendiri organisasi islam yang terbesar juga sebagaimana halnya Muhammadiyah yaitu Nahdhatul Ulama (1926).
Keinginannya yang besar untuk mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. di latar belakangi oleh situasi dan kondisi umat islam di dunia waktu itu dan Nusantara pada khususnya. Keterbelakangan yang disebabkan terlalu lamanya di jajah oleh bangsa asing. Bangsa asing yang menjajah tidak hanya mengambil kekayaan alam, namun juga harga diri umat islam yang perlahan-lahan dilucuti. Dampaknya pendidikan umat makin rendah. Hal ini di tandai dengan praktek amalan ibadah yang banyak di warnai oleh Takhayul, Bid’ah dan Khurafat (TBC).
Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Awal pendirian Muhammadiyah, tidak sedikit halangan, hambatan dan rintangan yang beliau dan rekan-rekan nya hadapi. Fitnah kepada beliau juga datang bertubi-tubi. Diantara fitnah itu adalah, Penyebar aliran sesat, antek-antek Belanda, hingga beliau mau di ancam pembunuhan.
Yang jelas, Muhammadiyah yang sekarang berusia lebih dari satu abad di Indonesia masih bisa kita lihat geliat pergerakan dan kegiatan sosial masyarakatnya yang makin hari semakin bersinar. Jutaan kader, simpatisan dan pendukung Muhammadiyah tersebar di pelosok Nusantara. Lembaga pendidikan, Sekolah-sekolah dari Pra sekolah hingga kampus Universitas megah yang jumlahnya ribuan tersebar di seluruh negeri. Belum lagi rumah sakit, klinik, panti asuhan dan lain-lain. Itulah buah dari perjuangan seorang guru yang bernama KH Ahmad Dahlan.
Dalam bidang tulis menulis, beliau menulis kitab “Fiqh Kemuhammadiyahan” yang menjadi rujukan utama majelis tarjih Muhammadiyah hingga sekarang. Terakhir, berbicara tentang guru dan pejuang agak kurang rasanya kalau kita tidak belajar dari sosok KH Hasyim Asyari. Sebagaimana halnya dengan Muhammadiyah, KH Hasyim Asyari adalah seorang ulama besar, guru, pejuang dan penulis yang produktif. Beliau juga pernah mengeluarkan fatwa yang sangat fenomenal ketika tentara sekutu yang di boncengi oleh NICA mendarat di Surabaya untuk kembali ingin menguasai Indonesia yang baru berumur beberapa bulan. Fatwa, wajib jihad (Fardhu ain) bagi kaum muslimin radius 90 km kota Surabaya untuk melawan tentara Penjajah, membuat pecah perang 10 November 1945 yang terkenal itu.
Nama asli beliau Kiai Haji Mohammad Hasjim Asy’arie bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari (lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871 – meninggal di Jombang, Jawa Timur, 21 Juli 1947 pada umur 76 tahun; 24 Dzul Qo’dah 1287 H- 3 Ramadhan 1366 H; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) K.H. Hasjim Asy’ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, ia berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Pada tahun 1892, K.H. Hasjim Asy’ari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (Asal Minangkabau), Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi (Asal Pacitan, Jawa Timur), Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, K.H. Hasjim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20, dan Pada tahun 1926, K.H Hasjim Asy’ari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
Dalam bidang tulis-menulis, KH Hasyim Asyari adalah seorang ulama yang produktif. Ada sekitar tujuh (7) buah judul kitab yang beliau tulis dan menjadi rujukan bagi santri-santri khususnya Pesantren Tebu Ireng dan umumnya Pesantren di seluruh Indonesia.
Hadratusy Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, nama dan gelar lengkap beliau telah mewarisi kita tidak hanya keteladanan perjuangan beliau, ilmu beliau, pesantren-pesantren beliau termasuk Ormas islam terbesar di Indonesia yang hingga hari ini masih eksis dan puluhan juta kader, simpatisan dan pendukung tersebar di seluruh indonesia. Nahdhatul Ulama (NU)
Berikut ini sejumlah karya Kiai Hasyim Asy’ari yang masih menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesantren Nusantara. Catatan: karya Mbah Hasyim diambil dari website Pesantren Tebuireng (tebuireng.net):
Kitab pertama, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat.
Kitab kedua, Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama’ah atau sering disingkat dengan ASWAJA.
Kitab ketiga, At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama.
Kitab keempat, An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya KH.Hasyim Asy’ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW.
Kitab kelima, Ziyadatut Ta’liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu.
Kitab keenam, At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna’ Al-Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar.
Kitab ketujuh, Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tentang lembaga perkawinan.
Selain menulis kitab, Kiai Hasyim juga rajin menyebarkan ilmu dan penapatnya di sejumlah media yang beredar secara nasional pada waktu itu, di antaranya, majalah Soeara Moeslimin Indonesia (majalah milik Masyumi), Tema yang beliau tulis tidak sebatas bidang ilmu keagamaan, tapi juga meliputi pertanahan dan pertanian, politik internasional, kolonialisme, dan macam-macam lagi.
KESIMPULAN
Memutuskan untuk menjadi seorang pendidik bukanlah sebuah keputusan yang kecil dan sepele atau remeh. Menjadi seorang pendidik atau guru adalah tugas besar dan mulia. Kita adalah “role model” bagi semua orang. Setiap tindakan dan perbuatan serta perkataan hingga tulisan yang kita ukir di buku dan media sosial adalah cermin bagi orang banyak untuk melihat dirinya dan diri kita sebagai seorang guru.
Makanya, dulu seorang guru itu begitu dihormati dan dimuliakan. Mereka adalah “Ka Pai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito” mereka tokoh sekaligus ulama dan pejuang yang merintis usaha-usaha pendidikan umat.
Jika ada yang berkomentar, “kalau begitu konteksnya, tentu jadi guru itu tidak mudah, dan tidak semua orang bisa jadi guru?” Jawabannya, Benar! Tidak semua orang bisa jadi guru dalam arti yang ideal. Kalau sekedar transfer pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman, semua orang bisa, bahkan jadi orang tua bagi anak anaknya, semua orang siap dan bisa meskipun banyak juga yang mengaku bisa padahal tidak bisa, buktinya banyak anak yang salah didikan dan asuhan dari orang tuanya.
Wallahu a’lam bish showwab