HORMAT, BELUM TENTU MENGHARGAI OlehAzwirman, S.Pd

HORMAT, BELUM TENTU MENGHARGAI
Penulis: Azwirman, S.Pd

 

Bagi yang sering nonton acara American got tallent atau yang semisal seperti, American idol yang cukup Booming di negara asalnya (Amerika Serikat) ternyata acara yang sama juga diselenggarakan di Indonesia seperti Indonesian Got Talent atau Indonesia Idol. Siapa pula yang memulai duluan? Apakah Indonesia yang meniru Amerika atau Amerika yang meniru Indonesia? Saya juga tidak tahu dan juga tidak ingin berspekulasi (menebak-nebak). Yang jelas acara ini sudah terselenggara dan ditonton oleh jutaan orang, baik warga Amerika sendiri (American idol) maupun warga Indonesia (Indonesian idol) yang berarti (acara yang sama meskipun lokasi/ Negara berbeda) sudah dapat persetujuan dari pihak yang berwenang.

Pertanyaannya adalah, apa yang membedakan kedua acara tersebut? Konsep acara sama tapi di lokasi yang berbeda. Yang satu diadakan di Amerika Serikat dan yang satu di Indonesia.

Sekilas kita melihat, tidak ada yang berbeda dari kedua acara tersebut. Sama-sama acara mencari bakat-bakat yang akan di asah sehingga peserta yang berhasil lolos babak demi babak yang sudah di tentukan, suatu saat akan menjadi juara (idol) yang di kenal banyak orang (bintang). Yang membedakan mungkin lokasinya saja. Akan tetapi kalau kita adalah seorang yang peka dan pengamat perkembangan Budaya, apalagi pembaca budaya, katakanlah anda (pembaca) termasuk orang yang suka mengamati budaya-budaya atau kebiasaan masyarakat di berbagai kawasan dunia dan membandingkan dengan budaya yang terjadi di Indonesia, maka dipastikan anda akan pasti menyatakan ada perbedaan (budaya) antara penonton Indonesia dengan penonton Amerika Serikat.

Apa yang membedakannya? Perbedaanya bukan soal siapa yang tampil di atas panggung dan bagaimana komentar pedas dari para juri, yang kadang membuat hati terbakar dan kuping kepanasan, baik pendukung salah seorang peserta, apalagi bagi peserta yang tampil dengan performa yang kurang memuaskan menurut juri padahal kita sebagai penonton mengidolakannya.

Perbedaan itu terletak pada emosi penonton yang berada dalam ruang studio itu. Karena kamera yang tidak fokus ke penonton maka kita yang menonton lewat Televisi seringkali mengabaikan hal ini. Padahal kalau kita perhatikan dengan seksama, disinilah perbedaan antara budaya masyarakat Amerika (baca: Barat) dengan masyarakat Indonesia dalam memberikan penghargaan terhadap sebuah karya. Cukuplah penonton itu mewakili masing masingnya. Penonton American Idol dan American Got Tallent (tentu saja penontonnya rata-rata orang Amerika) jika diperhatikan selalu memberikan penghargaan yang begitu antusias dan tinggi kepada siapapun yang tampil, meskipun yang tampil tidak maksimal dan biasa-biasa saja menurut kita. Bahkan, ada yang gagal dalam performancenya tetap diberikan Standing Applaus.

Mereka begitu tinggi memberikan penghargaan terhadap seseorang yang memang pantas di hargai meskipun hasilnya kurang memuaskan. Mantan presiden Amerika Serikat Barack Obama, ketika masih menjabat dalam salah satu pidato beliau yang disaksikan oleh publik dan tentu saja wartawan secara langsung (Presiden Amerika memang secara berkala punya tradisi menyapa warganya di tempat terbuka untuk berpidato dan di dengar langsung oleh warganya) beliau berpidato lebih kurang 60 menit, akan tetapi tepuk tangan lebih dari 80 kali. Artinya dalam satu menit pidato Barrack Obama, tepuk tangan yang diberikan oleh penonton rata-rata hampir sebanyak dua kali.

Sebaliknya, di Indonesia kalau kita cermati dan perhatikan penonton Indonesian Idol atau Indonesian Got Tallent (penontonnya sudah pasti rata rata warga Indonesia) kurang begitu gegap gempita ketika memberikan pujian kepada yang tampil meskipun performance-nya bagus, Kecuali kalau yang tampil itu idola pujaannya. Apalagi kalau Standing Aplaus. Meskipun ada itupun tidak banyak hanya beberapa orang saja, Apalagi bagi yang tampil dengan performance yang buruk.

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai minimnya penghargaan di berikan kepada para pelaku seni, pelaku bisnis dan alih teknologi. Masih ingat dengan Ricky Elson? Seorang anak bangsa asal Padang ini, masih tergolong muda yang namanya pernah Booming di masa kabinet presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jilid II. Alkisah, Dahlan Iskan (menteri BUMN kala itu) punya sebuah ide besar bagaimana mengembangkan mobil listrik di Indonesia. Sebab ada seorang anak bangsa (Ricky Elson) yang selama ini berdomisili di Jepang (waktu itu sudah 14 tahun beliau di sana) dan sudah mematenkan banyak penemuannya, terutama teknologi motor listrik di Jepang.

Maka, di suruhlah Ricky Elson untuk pulang ke Indonesia, bersama rekannya yang juga ahli mobil listrik, Dasep Ahmadi. Dengan dukungan penuh pak Dahlan Iskan (Menteri BUMN) mereka mulai menggarap proyek ini. Hasilnya cukup memuaskan. Pada 12 juli 2012 sebuah mobil listrik bernomor plat B 2422 XTW mengaspal dan langsung di kendarai oleh pak Dahlan sendiri.

Proyek yang dianggap “kontroversial” ini sejak awal, akhirnya berujung kepada pidana dengan tuduhan “tersangka” kepada ketiganya (Dahlan Iskan, Ricky Elson, Dasep) ketiganya dinyatakan bersalah dengan alasan penyalahgunaan keuangan negara sehingga merugikan negara. Akhirnya, mimpi pak Dahlan dan rekan-rekannya untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara produsen mobil listrik, sebagai kendaraan masa depan yang ramah lingkungan terkubur hingga hari ini.

Dalam dunia Intelektual di kampus misalnya, mahasiswa semester akhir ketika ujian Skripsi, Tesis atau Disertasi kebanyakan stress sebelum ujian. Bukan karena tidak memahami tugas akhirnya atau tidak mampu mengerjakannya, akan tetapi ketika ujian komprehensif selalu dilakukan “pembantaian” terhadap calon sarjana ini. Cukup banyak mahasiswa yang gagal kuliah ketika mereka tidak siap mental menghadapi dosen killer ketika ujian.

Fenomena ini justru berbeda jauh dengan kampus-kampus yang ada di luar negeri terutama di Eropa dan kampus di Amerika Serikat. Mahasiswa yang ujian skripsi, tesis atau disertasi (doctor) tidak dipermalukan oleh dosen-dosen, baik dosen penguji maupun dosen pembimbing. Malah mereka diberikan semangat dan motivasi untuk memperbaiki tugas akhir mahasiswa tersebut. Penghargaan adalah motivasi yang kuat kepada seseorang untuk terus optimis dalam berkarya. Demikian yang di pahami oleh mereka.

Saya bukan tidak setuju dengan budaya anak didik kita sekarang di sekolah-sekolah dimana siswa kita selalu dibiasakan dalam setiap akan memulai dan mengakhiri kegiatan proses belajar mengajar (PBM) melakukan ritual “salam jabat tangan sambil cium tangan guru”. Mulai dari siswa yang paling patuh sampai yang paling tidak patuh (nakal) juga melakukannya. Persoalan apakah siswa itu menghargai guru atau tidak itu tidak penting. Jadi siswa dibiasakan menghormati guru meskipun itu lewat simbol saja (cium tangan guru) padahal dalam keseharian mereka, baik di sekolah, di rumah atau di masyarakat siswa tersebut tidak menghargai guru mereka.

Inilah kepura-puraan yang sering di tampilkan di depan publik (pencitraan) yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita. Kepura-puraan berbeda dengan terus terang (apa adanya). kepura-puraan suatu saat akan menimbulkan bencana bagi banyak orang. Sikap kepura-puraan ciri dari manusia munafik (Mukhtar Lubis, Manusia Indonesia,1978) salah satu ciri manusia Indonesia yang di sampaikan oleh Budayawan dan wartawan senior kawakan, Mukhtar Lubis, dalam orasi budayanya di Taman Ismail Marzuki (TIM) lima puluh tahun yang lalu, dan hingga sekarang tesisnya kelihatan masih terbukti.

Hal ini di perparah dengan kebiasaan “kepura-puraan” pada generasi muda (siswa) terhadap orang yang wajib mereka hargai (guru) dengan budaya “salam cium tangan” yang lebih menampilkan Lips Service daripada sikap apa adanya. Pendidikan yang sejatinya melahirkan manusia yang baik, bukan pekerja yang baik. Namun sayangnya pendidikan kita lebih sibuk menciptakan pekerja yang baik dengan target-target tertentu yang harus di capai. Slogan wajib belajar 12 tahun sebenarnya lebih tepat di sebut “wajib sekolah 12 tahun” sebab setelah mereka tamat sekolah (SMA) yang di fikirkan oleh siswa setelah tamat adalah dimana akan bekerja.

Dengan sistem pendidikan yang masih memakai paradigma “menciptakan pekerja yang baik” mustahil akan melahirkan manusia yang baik. Apalagi porsi pendidikan karakter, akhlak dan moral sangat minim karena semakin ke sini semakin mengejar target untuk melahirkan “pekerja yang baik”

Alangkah bagusnya siswa di biasakan dengan sikap berterus terang, apa adanya dalam memberikan penghargaan kepada guru mereka. Jelaskan kepada mereka pentingnya adab terhadap guru, bagaimana adab terhadap guru? Dengan menghargai semua guru mereka tanpa memandang apakah guru itu mengajar di kelasnya atau tidak. Jelaskan kepada mereka dampak buruk dari tidak menghargai guru, di samping ilmu yang kita dapatkan tidak berkah karena tidak menghargai guru, juga masa depan kita (dunia dan akhirat) tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman.

Meskipun guru itu memiliki sifat dan sikap yang buruk, bukan alasan kita untuk tidak menghargainya. Dalam tradisi pendidikan Islam disebut dengan adab terhadap guru. Bila di bandingkan dengan kondisi pendidikan sekolah sekarang ini dengan tradisi pendidikan dalam Islam, begitu jauh panggang dari api. Tidak pernah kita mendengar seorang murid memukul guru yang tidak ia senangi, seorang murid mencaci maki gurunya, seorang murid menganiaya gurunya bahkan membunuh gurunya. Sementara sekarang, sudah tidak aneh lagi siswa di sebuah sekolah menzalimi gurunya bahkan membunuh gurunya. Ironisnya sebagian bahkan di amini/ setujui oleh orang tuanya. Nauzubillah.

Kalau sudah begini wajar bila bangsa ini tidak pernah mendapatkan keberkahan. Kemiskinan dan ketimpangan dimana-mana, keadilan adalah barang langka di negeri ini, bencana alam silih berganti datang dan pergi, pemimpin yang adil sulit di temukan, keamanan, kenyamanan lingkungan adalah barang langka. Sebutlah bidang kehidupan mana yang bisa kita banggakan di negeri ini? Hal ini salah satunya di sebabkan penghargaan terhadap pendidik (guru) yang sudah sangat terkikis.

Bukan hanya siswa dan murid saja yang tidak menghargai gurunya, pemerintah dan para pengambil kebijakan, apakah di pusat dan di daerah hingga tingkat desa dan kelurahan kurang memberikan penghargaan kepada guru. Buktinya dengan gaji yang kecil, terutama guru honor, bahkan ada guru yang tidak pernah di gaji-gaji sekian tahun. Jika alasannya guru itu harus ikhlas (memang ada segelintir guru yang ikhlas tidak di gaji) bukan berarti ini alasan untuk menggaji guru rendah.

Sudahlah gajinya rendah, sering kali guru juga di jadikan kambing hitam kerusakan moral anak anak remaja. Memang guru ada salahnya juga, akan tetapi kesalahan guru kalau kita mau jujur di sebabkan oleh kebijakan yang tidak memihak ke pada mereka. Yang lebih parahnya lagi adalah, orang kaya, pejabat, tokoh masyarakat, lebih di hargai dan disegani di bandingkan dengan guru. Ini terjadi di banyak tempat dan lingkungan masyarakat. Bahkan layanan publik pun juga begitu. Di negara-negara maju, guru di perlakukan istimewa dalam hal pelayanan. Misal, harga tiket yang lebih murah dari umum jika penumpang angkutan umumnya adalah guru. Kemurahan barang belanjaan kerap di terapkan jika sang pembeli adalah guru dst.

Kedepan, masyarakat kita harus dibiasakan untuk tidak sekedar menghormati, apakah kepada orang yang lebih tua, lebih berilmu dan berpengalaman saja, akan tetapi juga sikap menghargai juga ditanamkan. Penghargaan adalah motivasi pembakar semangat bagi seseorang sehingga pesimis menjadi optimis sehingga bisa untuk bangkit lagi dari kegagalan dan keterpurukan.

Wallahu a’lam bish showwab