ILMU BERSANAD DAN PERBEDAAN SIKAP

Artikel Tokoh164 Views

ILMU BERSANAD DAN PERBEDAAN SIKAP

Oleh: Duski Samad
Pembina link indonesiamadani.com sigi24.com, dan IC_Syekhburhanuddin TV

 

Tema tulisan ini hadir ketika menjawab pertanyaan mahasiswa aktivis tentang mengapa organisasi keislaman di nusantara berbeda sikap, paham dan pengamalan agamanya padahal guru dan sanad keilmuannya sama dari Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi?.

Begitu akhir-akhir inj seringkali khatib, mubaligh dan penceramah menyampaikan bahwa hanya kelompoknya saja yang ilmunya bersanad dan menyatakan ilmunya bersanad dari Rasulullah, dan generasi awal, salafussaleh, ada juga menyebutnya dengan salafi.

Istilah ilmu bersanad ini dalam tradisi keilmuan di Minangkabau disebut ” kaji ba guru”. Yaitu berkaitan jejaring keilmuan sangat lazim disebutkan dari siapa seseorang belajar, berguru dan dari gurunya dari mana pula sampai ke Rasulullah SAW.

Fakta menunjukkan sanad dalam ilmu turast (kitab standar bahasa arab atau kitab kuning) di Minangkabau itu jejaknya dapat dilacak dari Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), Perguruan Thawalib dan surau mangaji duduk.

Perguruan MTI Thawalib dan surau mengaji duduk (berhalaqah) telah mewariskan sanad keilmuan kepada alumni sejak awal abad 20 ini. Lebih dalam silakan baca jejak sejarah dua perguruan ini dengan warisan sanad turast dan pemikiran keislamannya. Artinya ilmu turast (kitab) ulama di Minangkabau ini bersambung sanadnya MTI, Thawalib dan Surau mengaji berhalaqah.

Sanad keilmuan yang mudah melacaknya di awal abad 20 lalu dari ulama nusantara adalah sanad keilmuan yang bersambung dengan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi.

KH.Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah berguru atau sanadnya dari Ahmad Khatib al Minangkabawi, KH.Hasyim Asyari pendiri NU, Syekh Sulaiman Arrasuli Candung, pendiri PERTI dan ulama seangkatan yang belajar ke Mekah sanad keilmuannya sama. (Lebih lanjut baca buku Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara, Mizan).

Pesan utama ingin ditegaskan sanad keilmuan ulama nusantara pada awalnya adalah satu Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi imam dalam mazhab Syafi’i di Mekah, namun kritis terhadap praktik Islam yang konservatif dan beliau puritan serta tegas dalam pemikirannya, misalnya penolakan terhadap praktik wasilah dan rabithah dalam tarekat.

MAKNA SANAD KEILMUAN
Sanad atau jaringan mata rantai keilmuan sangat penting dalam Islam dikarenakan besok di hari kiamat, manusia bukan saja dimintai pertanggungjawabannya tetapi juga ditanyai dari mana ia mengamalkan sesuatu. Dalam Alquran dijelaskan, “Dan Aku akan menanyaimu orang-orang yang diutus kepada mereka dan sungguh Aku akan meminta laporan para rasul.” (QS Al A’raaf: 6)

Merujuk ayat ini, seorang ulama bernama Abu Abdurrahman al-Marwazi yang memiliki nama Ali b. Al-Hasan Saqiq bercerita. Aku Mendengar dari Abdullah b. al-Mubarak yang berkata: jika kamu kelak menghadapi persidangan di hadapan Allah di Padang Mahsyar, maka berpeganglah kepada “al-atsar”.

Ali b. Al-Hasan suatu saat melakukan konfirmasi tentang apa yang dimaksud Abdullah ibn al-Mubarak dengan “al-atsar” kepada Abu Hamzah Muhammad b. Maimun al-Saukri. Apa kamu dapat menjelaskan tentang “al-atsar”? Pastinya aku akan mengamalkan apa yang kamu katakan.

Abu Hamzah menjawab: “(al-atsar adalah) di hari kiamat kelak kamu akan ditanya dari siapa kamu mengamalkan. Misalnya kamu jawab: saya mengamalkan dari Abu Hamzah. Maka saat itu juga aku dihadirkan bersamamu di hadapan Allah.

Tidak selesai di situ saja. Kata Abu Hamzah: Aku juga ditanya hal serupa. Lalu aku jawab dari al-A’mas. Maka dihadirkan pula Al-A’mas. Beliau ketika ditanya maka akan menjawab: Saya mengamalkan berdasarkan didikan Ibrahim. Lalu Ibrahim dihadirkan dan ditanya tentang asal usul ilmunya. Ia menjawab dari Alqamah. Beliau pun menjawab dari gurunya Ibnu Mas’ud. Sahabat nabi inipun menjawab dari Rasulullah. Nabi Muhammad terus menjawab dari Jibril yang diperintahkan langsung oleh Allah SWT.

Jadi, sanad keilmuan juga disebut “al-atsar” yaitu jaringan yang menghubungkan murid dengan guru sampai kepada Rasulullah SAW. Menurut Asyhal b. Hatim dari Ibn Aun dari Muhammad, ia berkata bahwa: “Ilmu merupakan urusan agama. Maka perhatikan dari siapa ilmu itu kalian dapatkan!”

Kesimpulan
Sanad keilmuan adalah fondasi penting dalam transmisi ilmu Islam, menjadi penghubung antara murid dan guru hingga kepada Rasulullah SAW. Tradisi “kaji ba guru” di Minangkabau memperlihatkan betapa pentingnya silsilah keilmuan dalam membentuk otoritas dan legitimasi agama.

Namun, meskipun sanad keilmuan para ulama nusantara—seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, dan Syekh Sulaiman Arrasuli—berujung pada satu sosok, yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, kenyataannya perbedaan sikap, pemahaman, dan praktik keagamaan tetap terjadi. Hal ini membuktikan bahwa sanad yang sama tidak selalu melahirkan cara pandang dan praktik yang seragam, karena interpretasi, konteks sosial, dan visi dakwah masing-masing tokoh turut membentuk sikap keberagamaan mereka.

Perbedaan bukanlah tanda kelemahan, melainkan dinamika dalam khazanah keilmuan Islam. Justru, dengan sanad yang jelas dan tanggung jawab intelektual yang kuat, umat dapat memilih rujukan keilmuan yang terpercaya dan bersikap arif terhadap keragaman yang ada.ds.130525.

Leave a Reply