INTELEKTUAL INKLUSIF SANG ULUN NUHA Pelajaran dari Sejarah Keruntuhan Bangsa-Bangsa Oleh Duski Samad

Artikel Tokoh206 Views

INTELEKTUAL INKLUSIF SANG ULUN NUHA
Pelajaran dari Sejarah Keruntuhan Bangsa-Bangsa

Oleh Duski Samad
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang

Artinya: “Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (orang-orang musyrik) berapa banyak (generasi) sebelum mereka yang telah Kami binasakan, padahal mereka melewati (bekas-bekas) tempat tinggal mereka (umat-umat itu)? Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.”(QS. Ta-Ha 20: Ayat 128). “Makanlah dan gembalakanlah hewan-hewanmu. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi ulun nuha (orang-orang yang berakal).”( Surah Thaha (20:54).

Tulisan ini hadir ketika penulis saat membaca kata ulun nuha pada surat Thaha yang diulang dua kali dalam satu surat. Membaca dua ayat di atas menjadikan pikiran tertuju pada kehidupan bangsa Indonesia akhir-akhir ini.

Prilaku yang luar biasa merusak dan massifnya pejabat negara yang bermoral bejat begitu dahsyat kerusakan yang terjadi. Terungkapnya korupsi triliyunan rupiah di instansi Pemerintah kasus penyelenggaran APBN-APBD yang menyeret Kepala Daerah, praktik jahat dalam pengelolaan perusahaan negara PN Timah dan Pertamina, kejahatan curang dalam pemilihan umum dan pemilihan kepada daerah dan banyak lagi deretan kerusakan yang sejarah mencatat itu semua adalah timbunan kejahatan luar biasa yang dilakukan sistim pejabat jahat dan bejat, yang pasti segera merusak negara dan bangsa.

 

ULUN NUHA DAN INTELEKTUAL INKLUSIF
“Ulun Nuha” dalam Al-Qur’an, dalam Surah Thaha (20:54) dan Surah Thaha (20:128) memiliki makna penggunaan akal dan kebijaksanaan dalam memahami tanda-tanda Allah. Peringatan terhadap kehancuran bangsa-bangsa terdahulu agar manusia mengambil pelajaran.

Keutamaan berpikir kritis dan merenungi ciptaan Allah sebagai ciri khas orang-orang berakal. Jadi, Ulun Nuha merujuk kepada mereka yang mampu menggunakan akalnya untuk memahami petunjuk Allah dan menjauhi kesalahan umat terdahulu.

Istilah “ulun nuha” asal kata “nuha” berasal dari akar kata “nahy” yang berarti mencegah atau menahan, yang dalam konteks ini menunjukkan kemampuan akal untuk menahan diri dari keburukan dan memilih jalan yang benar. Ulun nuha adalah orang-orang yang menggunakan akalnya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah, mengambil pelajaran dari sejarah, dan menjauhi keburukan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kebijaksanaan dalam berpikir dan bertindak. Dalam makna praktis ulun nuha dapat diartikan penangkal, pencegah dan mereka yang siap melakukan preventif dari kejahatan sekecil apapun.

Para mufasir klasik umumnya menafsirkan ayat ini sebagai peringatan kepada kaum musyrik Mekah agar mengambil pelajaran dari umat-umat terdahulu yang dibinasakan karena keingkaran mereka terhadap Allah dan rasul-rasul-Nya.

Tafsir Ibnu Katsir, pelajaran dari umat terdahulu. Ayat ini mengingatkan bahwa banyak kaum sebelum Quraisy telah dibinasakan akibat kesombongan dan penolakan terhadap ajaran tauhid. Bukti kebesaran Allah. Bekas-bekas kehancuran mereka masih bisa disaksikan oleh orang-orang Arab yang bepergian dalam perjalanan dagang mereka. Ath-Thabari menekankan bahwa ayat ini adalah bukti nyata kekuasaan Allah dalam membinasakan umat-umat yang durhaka. Allah memperingatkan kaum musyrik Mekah agar tidak mengulangi kesalahan mereka.

Tafsir modern mencoba menggali aspek historis, sosiologis, dan ilmiah dari ayat ini. Tafsir Sayyid Qutb (Fi Zhilalil Qur’an), Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai peringatan sosial dan peradaban. Peradaban yang menolak kebenaran akan mengalami kehancuran, sebagaimana banyak bangsa besar dalam sejarah yang musnah karena moralitasnya runtuh.

Tafsir Wahbah Az-Zuhaili (Tafsir Al-Munir) menyoroti bahwa umat manusia sering kali tidak belajar dari sejarah. Sejarah menunjukkan bahwa kesombongan dan penyimpangan dari nilai-nilai kebaikan selalu berujung pada kehancuran.
Analisis Ilmiah (Pendekatan Historis dan Arkeologis) ayat ini dapat dianalisis secara ilmiah.

  1. Bukti Arkeologi Umat yang Dihancurkan. Kaum ‘Ad (di Al-Ahqaf, Yaman) dan kaum Tsamud (Madain Shalih, Arab Saudi) memiliki reruntuhan yang sesuai dengan deskripsi dalam Al-Qur’an. Peradaban seperti Pompeii di Italia yang hancur dalam satu malam akibat letusan Gunung Vesuvius juga menunjukkan konsep kehancuran mendadak yang bisa dikaitkan dengan pesan moral ayat ini.
  2. Pelajaran dari Kehancuran Peradaban. Banyak peradaban besar seperti Mesir Kuno, Babilonia, Yunani, dan Romawi runtuh bukan hanya karena faktor eksternal, tetapi juga karena kemerosotan moral, ketidakadilan sosial, dan penyalahgunaan kekuasaan.
  3. Kajian Sosiologi dan Psikologi Sosial. Ayat ini mengajarkan bahwa individu dan masyarakat yang mengabaikan nilai-nilai kebenaran cenderung menuju kehancuran. Dalam psikologi sosial, ini mirip dengan teori jatuhnya peradaban akibat kemerosotan etika dan korupsi moral.

Jadi, surah Thaha ayat 128 adalah peringatan Allah kepada manusia agar belajar dari sejarah dan menggunakan akalnya (ulun nuha) untuk memahami tanda-tanda kebesaran-Nya. Tafsir klasik menyoroti kehancuran umat terdahulu sebagai bukti kekuasaan Allah, sementara tafsir kontemporer mengaitkannya dengan siklus peradaban dan kejatuhan moral. Secara ilmiah, banyak bukti sejarah dan arkeologi yang mendukung pesan ayat ini bahwa kemerosotan moral dan ketidakadilan sosial sering kali menjadi awal kehancuran suatu bangsa.

Ulun nuha dalam konteks sosial banyak kesamaan dengan intelektual Inklusif yakni ilmuwan dan akademisi yang ikut terjun dan peduli dengan kehidupan masyarakat, umat dan bangsa. Intelektual inklusif adalah seseorang yang memiliki kapasitas berpikir tinggi, tetapi tidak eksklusif dalam wawasannya. Ia terbuka terhadap berbagai perspektif, menghargai perbedaan, dan berupaya menyatukan gagasan dari berbagai kelompok tanpa terjebak dalam fanatisme atau sekat-sekat ideologis.

Karakter intelektual inklusif adalah terbuka terhadap perbedaan. Tidak memandang kebenaran secara sempit dan bersedia mendengar berbagai sudut pandang. Berorientasi pada solusi. Tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan pemikiran yang membangun. Mengutamakan dialog, lebih suka berdiskusi daripada berkonflik, mencari titik temu dalam perbedaan.

Menghargai nilai-nilai universal, seperti keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan bersama. Menyebarkan ilmu untuk kebaikan bersama, tidak hanya untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
Gerakan intelektual inklusif biasanya berbentuk dalam insiasinya melakukan forum dialog lintas pemikiran.

Menghubungkan berbagai perspektif, baik dalam akademik, sosial, maupun politik. Melakukan pendidikan dan literasi dengan mendorong masyarakat untuk berpikir kritis dan terbuka. Intelektual inklusi berkolaborasi lintas sektor, misalnya, akademisi bekerja sama dengan tokoh agama, aktivis sosial, atau pemerintah untuk mencari solusi bagi masyarakat.

Istilah inklusif yang dilekatkan pada intelektual ini berkaitan dengan aktivitasnya dalam advokasi, toleransi dalam keberagaman. Melawan sikap eksklusif, baik dalam pemikiran politik, agama, maupun budaya.

Menggunakan teknologi untuk pencerahan. Memanfaatkan media digital untuk menyebarkan gagasan inklusif. Istilah inklusi di Indonesia, pemikiran ini sering muncul dalam konteks keberagaman agama, demokrasi, dan kebijakan publik, agar tidak ada kelompok yang merasa tersingkir atau dimarginalkan.

Nilai-nilai yang melekat pada diri intelektual inklusif adalah memiliki prinsip-prinsip keterbukaan. Menerima dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang tanpa fanatisme. Kejujuran intelektual menyampaikan pemikiran dengan objektif, tidak bias, dan berdasarkan fakta.

Empati dan toleransi memahami perbedaan budaya, agama, dan ideologi tanpa menghakimi. Kritis namun konstruktif, tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan solusi yang membangun. Komitmen terhadap kebaikan bersama. Menggunakan ilmu untuk kesejahteraan masyarakat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Urgensi (Pentingnya Intelektual Inklusif) dalam dunia yang semakin kompleks dan beragam, intelektual inklusif sangat dibutuhkan uuntu kkmengurangi polarisasi. Membantu meredakan ketegangan sosial, politik, dan agama dengan menciptakan ruang dialog. Mendorong inovasi dan lolaborasi.

Pemikiran terbuka intelektual ingklusif memungkinkan kerja sama lintas disiplin dan sektor untuk menghasilkan solusi baru. Membangun masyarakat yang adil ddandemokratis. Memberikan wawasan yang seimbang dan tidak eksklusif, intelektual inklusif bisa menjadi penjaga nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Mengatasi disinformasi dengan menjadi sumber kebenaran di tengah maraknya hoaks dan propaganda yang memecah belah.

Kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi intelektual inklusif, seseorang harus memiliki keterampilan kemampuan berpikir kritis. Mampu menganalisis berbagai perspektif secara objektif dan rasional.

Komunikasi yang efektif dengan mampu menyampaikan ide dengan jelas, persuasif, dan mudah dipahami oleh berbagai kalangan. Literasi multidisiplin dengan menguasai berbagai bidang ilmu agar dapat memahami isu secara komprehensif. Keterampilan dialog dan mediasi bisa menjadi jembatan antara kelompok yang berbeda pandangan. Pemanfaatan teknologi dan media dengan menggunakan media digital untuk menyebarkan wawasan yang inklusif.

Menjadi intelektual inklusif bukan hanya soal kecerdasan, tetapi juga soal sikap, etika, dan kemampuan dalam membangun kebersamaan. Di era globalisasi dan demokrasi seperti sekarang, peran ini semakin penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan maju.

KORUPSI DAN DEKADENSI MORAL PEJABAT
Kerusakan sistem bernegara akibat korupsi dan dekadensi moral pejabat merupakan fenomena yang telah terjadi dalam banyak peradaban sepanjang sejarah. Dari perspektif ilmu politik, ekonomi, dan sosiologi, kejahatan korupsi dan kerusakan moral elite negara berkontribusi pada disfungsi institusi pemerintahan, ketimpangan sosial, dan bahkan kejatuhan suatu negara.

1.Ilmu Politik: Korupsi dan Disfungsi Institusi Negara

a. Korupsi Melemahkan Institusi Demokrasi. Dalam teori State Failure (Kegagalan Negara), korupsi menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan, melemahkan demokrasi, dan meningkatkan instabilitas politik. Francis Fukuyama dalam bukunya Political Order and Political Decay menyebutkan bahwa korupsi menghambat perkembangan institusi yang kuat dan transparan.

b. Penyalahgunaan Kekuasaan dan Oligarki Politik. Pejabat yang kehilangan moralitas sering mempraktikkan nepotisme, kolusi, dan oligarki, di mana segelintir elite mengendalikan kebijakan negara demi kepentingan pribadi. Hal ini menciptakan kesenjangan kekuasaan, di mana hukum tidak lagi berlaku adil dan hanya menguntungkan kelompok tertentu.

2.Dampak Korupsi terhadap Pertumbuhan Negara.
a. Kerugian Ekonomi dan Krisis Fiskal. Menurut laporan Transparency International, negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi mengalami penurunan investasi asing, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan defisit anggaran yang membengkak. Korupsi dalam pengelolaan anggaran negara menyebabkan kebocoran keuangan, yang menghambat pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.

b. Ketimpangan Sosial dan Kemiskinan. Teori Kuznets Curve dalam ekonomi menunjukkan bahwa di negara dengan tingkat korupsi tinggi, ketimpangan sosial meningkat karena sumber daya ekonomi hanya berputar di kalangan elite. Korupsi menyebabkan anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat disalahgunakan.

3.Sosiologi: Kerusakan Moral dan Disintegrasi Sosial
a. Normalisasi Budaya Korupsi. Dalam sosiologi, Teori Strain Merton menjelaskan bahwa ketika pejabat negara tidak lagi menjunjung nilai moral, maka masyarakat juga kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan norma. Korupsi menjadi budaya yang diterima secara sosial, sehingga sulit diberantas.

b. Meningkatnya Ketidakpercayaan Publik. Teori Anomie Durkheim menyebutkan bahwa ketika norma sosial melemah, masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap sistem pemerintahan. Hal ini memicu ketidakstabilan sosial, meningkatnya aksi protes, bahkan revolusi terhadap pemerintah yang dianggap tidak bermoral.

4.Contoh Empiris: Kasus-Kasus Nyata dalam Sejarah.
a. Kejatuhan Kekaisaran Romawi. Korupsi dan dekadensi moral para senator serta pemimpin Romawi menyebabkan runtuhnya ekonomi dan meningkatnya pemberontakan rakyat.

b. Kolapsnya Uni Soviet. Elite politik Uni Soviet terlibat dalam korupsi besar-besaran yang akhirnya merusak sistem ekonomi dan menyebabkan kehancuran negara pada 1991.

c. Krisis Ekonomi dan Politik di Venezuela. Korupsi di kalangan elite politik menyebabkan hiperinflasi, kekurangan pangan, dan krisis kemanusiaan di Venezuela sejak 2014.

Korupsi dan kerusakan moral pejabat negara berdampak sistemik terhadap kehancuran negara, baik dari segi politik, ekonomi, maupun sosial. Negara yang tidak mampu mengatasi korupsi akan mengalami pelemahan institusi, ketimpangan sosial, dan hilangnya kepercayaan rakyat, yang pada akhirnya berujung pada ketidakstabilan bahkan kehancuran pemerintahan.

Untuk mencegah hal ini, diperlukan reformasi sistem hukum dan politik untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Pendidikan moral dan etika kepemimpinan di kalangan pejabat negara. Partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi pemerintahan dan menolak budaya korupsi. Negara yang kuat bukan hanya dibangun oleh hukum yang baik, tetapi juga oleh moralitas dan integritas pemimpinnya.

ULUN NUHA PENANGKAL KERUSAKAN BANGSA
Untuk mencegah kerusakan bangsa akibat korupsi, dekadensi moral, dan disfungsi sistem negara, dibutuhkan gerakan intelektual inklusif yang berbasis pada kesadaran kolektif, keterlibatan lintas sektor, dan aksi nyata. Langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan di secara sistimatis dan melibatkan semua komponen bangsa.

  1. Reformasi Pendidikan: Membangun Kesadaran Sejak Dini. Langkahnya dengan melakukan iIntegrasi pendidikan antikorupsi dan etika kepemimpinan dalam kurikulum sekolah dan universitas. Membangun komunitas diskusi kritis di kalangan mahasiswa dan akademisi untuk mengawal kebijakan publik. Mengembangkan platform digital edukatif untuk menyebarkan kesadaran akan bahaya korupsi dan dekadensi moral. Contoh Implementasi: Program Sekolah Integritas yang mengajarkan nilai-nilai antikorupsi sejak usia dini. Pembentukan forum intelektual inklusif yang melibatkan akademisi, aktivis, dan tokoh masyarakat.
  2. Partisipasi Masyarakat: Membangun Kesadaran dan Aksi Kolektif. Langkahnya mendorong partisipasi publik dalam pengawasan pemerintah, misalnya dengan membentuk Lembaga Pemantau Kebijakan Publik. Mengadakan gerakan sosial seperti kampanye media, demonstrasi damai, dan petisi rakyat. Memperkuat keterlibatan komunitas lokal dalam membangun transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Contoh Implementasinya gerakan “Jangan Diam, Laporkan!” untuk mempermudah masyarakat melaporkan kasus korupsi. Pembentukan Watchdog Citizen yang mengawasi kebijakan dan anggaran pemerintah secara independen.
  3. Transparansi dan Reformasi Birokrasi: Mewujudkan Pemerintahan Bersih. Langkahnya menerapkan sistem e-government untuk mengurangi celah korupsi dalam pelayanan publik. Membuka akses laporan keuangan dan kebijakan negara untuk publik agar mudah diawasi. Mendorong hukum yang lebih ketat terhadap pelaku korupsi tanpa diskriminasi. Contoh Implementasinya penerapan open government initiative yang memungkinkan masyarakat memantau anggaran negara. Pembuatan Aplikasi Pelaporan Korupsi yang dapat digunakan masyarakat secara langsung.
  4. Kolaborasi dengan Media dan Teknologi: Menggalang Kesadaran Massal. Langkahnya memanfaatkan media sosial dan jurnalistik investigatif untuk mengungkap kasus korupsi dan penyimpangan pejabat. Mengembangkan film dokumenter, podcast, dan konten digital untuk menyebarkan edukasi tentang bahaya korupsi dan dekadensi moral. Memanfaatkan big data dan AI untuk mendeteksi pola-pola korupsi dalam pemerintahan. Contoh Implementasinya kampanye “Transparansi Digital” melalui media sosial untuk mengedukasi masyarakat. Platform berbasis AI untuk menganalisis laporan keuangan pemerintah dan mendeteksi ketidakwajaran anggaran.
  5. Revitalisasi Budaya dan Etika Publik: Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Kebangsaan. Langkahnya mengangkat kembali nilai-nilai gotong royong, integritas, dan kepemimpinan beretika dalam kehidupan sosial dan politik. Menjadikan pemimpin bermoral sebagai role model dalam berbagai sektor, termasuk politik, ekonomi, dan sosial.

Mendorong gerakan anti-korupsi berbasis budaya lokal agar lebih relevan dengan masyarakat. Contoh Implementasinya program “Pemimpin Berintegritas” yang melibatkan tokoh agama, budayawan, dan akademisi untuk memberikan teladan kepemimpinan moral. Festival “Budaya Anti-Korupsi” yang memanfaatkan seni dan tradisi lokal untuk menyebarkan kesadaran etika publik.
Gerakan intelektual inklusif harus berbasis pada kesadaran, aksi nyata, dan kolaborasi lintas sektor.

Mengintegrasikan pendidikan, partisipasi masyarakat, transparansi pemerintahan, media, dan budaya, dapat membangun sistem negara yang lebih bersih, adil, dan berkelanjutan. Perubahan tidak bisa hanya bergantung pada satu kelompok atau individu, tetapi harus menjadi gerakan kolektif rakyat yang terus mengawal etika kepemimpinan dan keadilan sosial. Saatnya bergerak, bukan hanya bicara!

Kesimpulan:

  1. Makna Ulun Nuha. Ulun Nuha dalam Al-Qur’an merujuk pada orang-orang yang memiliki akal sehat dan kebijaksanaan dalam memahami tanda-tanda kebesaran Allah. Mereka mampu mencegah keburukan, mengambil pelajaran dari sejarah, dan bertindak bijak dalam menghadapi tantangan zaman.
  2. Intelektual Inklusif: Peran dan Karakteristik. Intelektual inklusif adalah mereka yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga peduli terhadap kehidupan sosial, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Mereka bersikap terbuka, toleran, dan mengedepankan dialog dalam menghadapi perbedaan, serta berusaha mencari solusi konstruktif untuk berbagai permasalahan sosial.
  3. Korupsi dan Dekadensi Moral: Penyebab Kehancuran Bangsa. Sejarah menunjukkan bahwa banyak peradaban hancur akibat korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan dekadensi moral pemimpinnya. Dari Kekaisaran Romawi hingga Uni Soviet, kehancuran negara sering diawali dengan rusaknya integritas pemimpin dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap sistem yang ada.
  4. Gerakan Ulun Nuha dan Intelektual Inklusif sebagai Solusi. Untuk mencegah kehancuran bangsa, diperlukan gerakan yang mengintegrasikan pendidikan anti-korupsi, partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemerintahan, transparansi birokrasi, pemanfaatan teknologi, serta revitalisasi nilai-nilai moral dan budaya. Intelektual inklusif berperan sebagai motor penggerak perubahan dengan memberikan pemahaman yang luas dan mendalam kepada masyarakat.

Akhir kalam ingin ditegaskan bahwa negara yang ingin maju harus memastikan bahwa pemimpinnya memiliki integritas dan rakyatnya memiliki kesadaran kolektif untuk menolak segala bentuk kejahatan moral. Membangun generasi Ulun Nuha dan intelektual inklusif, bangsa dapat menjaga keutuhan dan keberlanjutan peradaban, serta menghindari kehancuran akibat korupsi dan ketidakadilan sosial. DS.18032025.
Saatnya bertindak, bukan hanya berbicara.

Leave a Reply