‘ITIKAF PRIMER (BERBAYAR)? Oleh: Duski Samad 

Artikel Tokoh170 Views

‘ITIKAF PRIMER (BERBAYAR)?

Oleh: Duski Samad 

Dewan Pakar Badan Kemakmuran Masjid Pusat dan Ketua Dewan Pakar PW DMI Provinsi Sumatera Barat 

Headline harian Padang Ekspres hari ini

Kamis, 27 Februari 2025 tentang kegiatan Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Alminangkabawi Sumatera Barat selama Ramadhan yang ditulis ada ‘itikaf primier berbayar Rp.100.000 dapat membawa penafsiran yang kurang baik. Bukan tidak mungkin menjadi preseden negatif pengelolaan ibadah bagi pengurus masjid lain, sebab berita ini ada bias dan kuat aromanya mispersepsi.

Dalam Islam, i’tikaf adalah ibadah sunnah yang dilakukan dengan berdiam diri di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah, terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Secara umum, i’tikaf adalah ibadah yang bersifat sukarela, dan tidak ada syarat bahwa seseorang harus membayar untuk melaksanakannya.

Dapat dipastikan bahwa i’tikaf yang mengharuskan adanya pembayaran adalah tidak diperbolehkan. Jika suatu masjid atau lembaga mewajibkan peserta membayar agar bisa beritikaf, ini tidak sesuai dengan prinsip Islam karena i’tikaf adalah ibadah sunnah yang tidak boleh diperdagangkan.

Masjid adalah tempat ibadah yang terbuka untuk umum, dan tidak boleh ada biaya untuk sekadar berdiam diri dan beribadah di dalamnya. Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak pernah memungut biaya untuk i’tikaf.

Sementara i’tikaf berbayar untuk fasilitas tambahan mungkin dapat diterima atau diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu Dalam beberapa kasus, ada masjid atau lembaga yang menawarkan paket i’tikaf dengan fasilitas tertentu (misalnya makanan berbuka dan sahur, kasur, pendingin ruangan, dan sebagainya) bisa dimaklumi. Artinya bisa dipastikan pembayaran tersebut bukan syarat utama untuk i’tikaf, tetapi hanya untuk menutup biaya fasilitas tambahan, maka hal ini dibolehkan dengan beberapa ketentuan:

 

Tidak ada unsur pemaksaan. Orang yang tidak membayar tetap bisa beritikaf tanpa fasilitas tambahan. Biaya yang dikenakan bukan untuk ibadah i’tikaf itu sendiri, tetapi hanya untuk keperluan logistik. Masjid tetap membuka akses bagi siapa saja yang ingin beritikaf tanpa dipungut biaya.

Mesti diperhatikan oleh semua pengurus masjid jika i’tikaf dipungut biaya wajib agar bisa beribadah di masjid adalah perbuatan tidak dan tidak diperbolehkan. Namun, jika pembayaran bersifat sukarela untuk fasilitas tambahan bisa dimaklumi walau sebenarnya tidak elok ibadah dihubungkaitkan dengan bayar membayar..

Sejatinya di Sumatera Barat banyak masjid pengelolanya cukup cerdas dapat mengandalkan infak dan donasi sukarela dari jamaah untuk biaya pelaksanaan i’tikaf bisa berjalan tanpa membebani peserta dengan biaya wajib. Contoh nyata ada di Masjid Baiturrahmah di Air Pacah dan Masjid Rahmatan Lil Alamin, Masjid Muhammadan Pasar Gadang banyak lagi masjid mereka melaksanakan tanpa ada pembayaran sedangkan jamaah diberi nasi kotak untuk sahur.

 

MENCEGAH KOMERSIALISASI DI MASJID

Kritik terhadap i’tikaf primer atau berbayar di Masjid Raya kebanggaan Sumatera Barat jika berita harian Padang Ekspres itu benar itu adalah bentuk nyata dan komersialisasi atau transaksi ekonomi atas nama masjid khususnya ibadah i’tikaf.

Komersialisasi ibadah merujuk pada praktik memungut biaya atau memperjualbelikan ibadah dengan tujuan mendapatkan keuntungan materi. Dalam konteks Islam, ada beberapa kritik terhadap komersialisasi ibadah karena bertentangan dengan nilai-nilai dasar dalam agama Islam, seperti keikhlasan, niat yang tulus, dan kesetaraan dalam beribadah.

 

Beberapa kritik utama terhadap komersialisasi ibadah di antaranya

mengabaikan keikhlasan dalam beribadah.

Salah satu prinsip dasar dalam Islam adalah niat yang tulus (ikhlas) dalam beribadah hanya karena Allah. Ketika ibadah, seperti i’tikaf, haji, atau sedekah, diperdagangkan atau dipungut biaya, maka niat untuk mencari ridha Allah bisa terganggu.

Komersialisasi bisa mengubah ibadah menjadi suatu kegiatan yang bersifat duniawi atau pragmatis, mengurangi unsur spiritualitas dan keikhlasan dalam melaksanakan ibadah tersebut. Misalnya, seseorang yang membayar untuk i’tikaf atau haji bisa jadi lebih fokus pada pelayanan yang diterima (seperti fasilitas) daripada tujuan utama ibadah itu sendiri.

I’tikaf atau ibadah berbayar dapat menghalangi akses bagi orang miskin dan tidak mampu. Salah satu nilai utama dalam Islam adalah kesetaraan dan memberi kesempatan yang sama bagi semua umat untuk beribadah tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau kemampuan finansial.

Ketika ibadah seperti i’tikaf dikenakan biaya, hal ini dapat menjadi penghalang bagi orang-orang yang tidak mampu secara finansial. Dalam hal ini, komersialisasi ibadah menciptakan ketidakadilan dan mengabaikan hak orang miskin untuk melaksanakan ibadah yang sama.

 

Praktik i’tikaf primier atau berbayar bisa terjatuh pada memperdagangkan agama.

Memperjualbelikan ibadah atau menjadikannya sebagai komoditas untuk mendapatkan keuntungan finansial bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah ﷺ menekankan bahwa agama tidak boleh diperdagangkan dan ibadah harus dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah semata, bukan untuk mendapatkan keuntungan duniawi.

Praktik ini sering kali mengarah pada eksploitasi terhadap kepercayaan dan keagamaan umat Islam demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Bahagian lain dampat negatif ibadah berbayar adalah melemahkan nilai jeberkahan dalam ibadah. Dalam Islam, ibadah yang dilakukan dengan niat yang benar dan dengan cara yang sesuai dengan syariat akan mendapatkan keberkahan dari Allah. Ketika ibadah dipengaruhi oleh motif materi, keberkahan tersebut bisa hilang atau berkurang.

Misalnya, jika seseorang melaksanakan ibadah karena dibayar atau karena adanya fasilitas mewah, maka ia bisa kehilangan tujuan spiritual dari ibadah tersebut, yang seharusnya mendekatkan dirinya kepada Allah.

Aspek lain yang mesti dicegah dari komersialisasi ibadah adalah potensi penyalahgunaan dan penipuan. Komersialisasi ibadah membuka peluang untuk penyalahgunaan dan penipuan. Dalam beberapa kasus, lembaga atau individu yang menyediakan ibadah dengan biaya tinggi bisa saja menawarkan layanan yang tidak sesuai dengan janji atau menarik biaya berlebihan atas suatu ibadah yang seharusnya sederhana dan tidak membutuhkan banyak biaya. Kasus haji dan umroh sudah banyak terjadi.

Realitas ini dapat merusak kepercayaan umat Islam terhadap organisasi-organisasi keagamaan dan mengurangi kepercayaan mereka terhadap prinsip-prinsip agama.

Segi lain tidak baiknya itikaf berbayar adalah ibadah itu tanda dari ketaatan bukan komoditas.Ibadah dalam Islam adalah dilakukan untuk mencari ridha Allah dan tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan materi. Ketika ibadah dikomersialisasikan, hal ini mengubah statusnya dari kewajiban spiritual menjadi suatu transaksi ekonomi, yang sangat bertentangan dengan tujuan utama ibadah.

Komersialisasi ibadah dalam Islam memiliki dampak yang merugikan dari segi spiritualitas, keadilan sosial, dan integritas agama itu sendiri. Ibadah seharusnya dilakukan dengan niat yang tulus, tanpa paksaan atau tujuan materi. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga murni dan tulusnya ibadah, serta memastikan bahwa setiap umat Islam memiliki akses yang setara untuk beribadah tanpa terbebani oleh biaya. Islam mengajarkan bahwa ibadah harus melibatkan keikhlasan, kesetaraan, dan kerendahan hati, yang tidak dapat dicapai jika ibadah dijadikan sebagai komoditas untuk keuntungan duniawi.

 

MUSLIM PALING DERMAWAN 

Beberapa link berita dan pernyataan tokoh bahwa umat Islam Indonesia adalah entitas yang sangat pemurah atau dermawan. Apalagi muslim di Sumatera Barat luar biasa pemurahnya, lihat saja pasca gempa 2009 justru masjid jauh lebih dulu siap dibanding kantor pemerintah.

Secara umum, umat Islam di Indonesia dikenal sebagai salah satu komunitas paling dermawan di dunia. Beberapa indikator yang menunjukkan sifat kedermawanan ini antara lain:

 

Indeks Kedermawanan Global.

Menurut World Giving Index yang dirilis oleh Charities Aid Foundation (CAF), Indonesia sering menempati peringkat teratas dalam hal kedermawanan. Ini mencakup aspek membantu orang lain, berdonasi, dan kesukarelawanan.

 

Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS).

Indonesia memiliki sistem pengelolaan zakat yang terorganisir melalui lembaga seperti BAZNAS, Dompet Dhuafa, dan Lazismu. Jumlah penghimpunan zakat terus meningkat setiap tahunnya, mencapai puluhan triliun rupiah.

 

Gotong Royong dan Budaya Berbagi.

Tradisi Islam di Indonesia dipadukan dengan budaya lokal seperti gotong royong dan sedekah, yang membuat semangat berbagi sangat kuat di masyarakat.

 

Donasi dalam Krisis.

Saat terjadi bencana alam, masyarakat Indonesia selalu cepat menggalang dana dan bantuan kemanusiaan, baik di dalam negeri maupun internasional.

Jadi, bisa dibilang umat Islam Indonesia memang termasuk yang paling dermawan, baik dalam bentuk zakat maupun aksi sosial lainnya. Realitasnya nampak dukungan masyarakat dan pemerintah Sumatera Barat tahun 2024 memberikan bantuan untuk Palestina 2,4 milyar. Contoh lain Baznas Kota Padang menghimpun zakat tahun 2024 lebih 14 milyar.

 

STRATEGI PENGALANGAN DANA UMAT SUKARELA 

Belajar pada filantropi Islam yang tumbuh menjamur di Sumatera Barat maka tidak perlu ada pemikiran apalagi program ibadah yang dikaitkan dengan pembayaran.

Memang menghimpun dana umat secara sukarela membutuhkan strategi yang efektif agar partisipasi masyarakat meningkat dan donasi dapat dikelola dengan baik.

Berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan:

1. Pendekatan Berbasis Kepercayaan dan Transparansi

Laporan keuangan terbuka artinya publikasikan laporan keuangan secara berkala agar donatur tahu bagaimana dana digunakan. Testimoni penerima manfaat dengan menampilkan kisah sukses penerima bantuan untuk membangun kepercayaan dan motivasi berdonasi. Sertifikasi dan kegalitas. Pastikan lembaga pengelola dana memiliki izin resmi (contoh: terdaftar di BAZNAS atau Kementerian Agama).

2. Memanfaatkan Teknologi da Digitalisasi.

Platform Crowdfunding: Gunakan platform seperti kitabisa.com atau website resmi lembaga untuk donasi online. QR Code & Transfer Bank: Sediakan metode donasi yang mudah seperti QRIS, e-wallet (OVO, GoPay, Dana), dan transfer bank. Media Sosial & Kampanye Digital: Gunakan Instagram, Facebook, WhatsApp, dan YouTube untuk menyebarkan informasi dan mengajak lebih banyak orang berdonasi.

3. Penggalangan Dana Berbasis Komunitas.

Kotak Amal Digital dan Fisik: Tempatkan kotak amal di masjid, sekolah, pasar, dan tempat strategis lainnya. Program Sedekah Harian: Ajak jamaah atau anggota komunitas untuk menyisihkan uang setiap hari, misalnya Rp1.000 per hari. Kelompok Majelis Taklim dan Pengajian: Manfaatkan kegiatan pengajian untuk menggalang dana dari anggota jamaah.

4. Event dan Program Kreatif.

Gerakan Infaq Jumat: Kampanye infaq rutin setiap Jumat di masjid-masjid atau melalui aplikasi digital. Lelang Amal dan Charity Event: Selenggarakan acara seperti konser amal, bazar, atau lelang barang donasi untuk mengumpulkan dana. Challenge dan Tantangan: Buat tantangan sosial seperti “Gerakan 10 Ribu per Bulan” yang bisa diikuti oleh banyak orang.

5. Kolaborasi dengan Lembaga dan Tokoh Berpengaruh.

Kerja Sama dengan Bisnis dan Perusahaan: Gandeng perusahaan untuk program CSR (Corporate Social Responsibility). Dukungan dari Ulama dan Influencer: Gunakan pengaruh tokoh agama dan publik figur untuk mengajak masyarakat berdonasi. Kerja Sama dengan Sekolah dan Kampus: Libatkan siswa dan mahasiswa dalam program donasi rutin.

6. Fokus pada Isu yang Menyentuh Hati

Bantuan untuk Fakir Miskin dan Yatim: Kampanye yang menyentuh seperti “Sedekah untuk Anak Yatim” lebih mudah mendapat respons. Dukungan untuk Palestina dan Bencana Alam: Penggalangan dana untuk korban bencana atau negara Muslim yang terzalimi sering kali efektif. Program Beasiswa dan Pendidikan: Banyak orang tertarik berdonasi jika dana digunakan untuk pendidikan anak-anak kurang mampu.

Dengan strategi yang terencana dan eksekusi yang baik, penggalangan dana umat bisa berjalan lebih efektif dan berkelanjutan.

Kesimpulan.

Artikel ini menyoroti potensi mispersepsi terkait konsep itikaf primer berbayar yang diberitakan terjadi di Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Alminangkabawi, Sumatera Barat. Dalam Islam, itikaf adalah ibadah sunnah yang tidak seharusnya dipungut biaya. Jika ada pembayaran yang diwajibkan untuk melaksanakan itikaf, hal ini bertentangan dengan prinsip ibadah yang terbuka bagi semua umat Muslim tanpa memandang status ekonomi.

Namun, jika pembayaran bersifat sukarela untuk fasilitas tambahan seperti makanan, kasur, atau pendingin ruangan, hal itu masih dapat dimaklumi asalkan tidak menjadi syarat utama untuk beritikaf. Praktik mewajibkan biaya untuk ibadah dapat mengarah pada komersialisasi masjid, yang berpotensi menghilangkan keberkahan, menghambat akses orang miskin, serta menciptakan ketidakadilan dalam beribadah.

Perlu juga diingatkan bahwa umat Islam Sumatera Barat dikenal sebagai komunitas yang dermawan, terbukti dari berbagai inisiatif sosial dan penggalangan dana berbasis infak serta sedekah. Oleh karena itu, daripada mengaitkan itikaf dengan pembayaran, lebih baik masjid mengandalkan sistem infak sukarela dan partisipasi jamaah, sebagaimana telah berhasil dilakukan di banyak masjid di Sumatera Barat. Wallahu’alam bisshawab. DS.27022024.