KEBAHAGIAAN, KESEJAHTERAAN DAN KEMAKMURAN DALAM ISLAM Oleh: Azwirman, S.Pd

Artikel Tokoh201 Views

KEBAHAGIAAN, KESEJAHTERAAN DAN KEMAKMURAN DALAM ISLAM

Oleh:

Azwirman, S.Pd

 

Setiap orang pasti menginginkan dan mengimpikan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. Apakah kebahagiaan itu dinikmati oleh dirinya saja, keluarga dan kelompoknya saja atau kebahagiaan itu dinikmati oleh semua orang tanpa memandang apakah orang lain itu ada hubungan atau tidak dengan dirinya.
Parameter kebahagiaan masing masing orang berbeda-beda. Hal ini disebabkan bukan karena konsep kebahagiaan itu relatif sehingga semua orang bebas menganggap hal dan keadaan apapun itu bahagia atau tidak. Akan tetapi ini terjadi disebabkan pemahaman terhadap nilai-nilai kehidupan yang minim dari sebagian besar manusia.

Nilai-nilai kehidupan yang penulis maksud adalah agama (Islam). Islam tidak sekedar sebuah agama secara identitas, tetapi islam adalah konsep hidup dan pedoman hidup itu sendiri. Tidak ada konsep kebahagiaan yang dijelaskan secara sempurna selain konsep kebahagiaan dalam Islam.

Semua orang boleh saja beranggapan hingga pada tahap meyakini bahwa Kebahagiaan itu apabila kita hidup dalam kondisi berkecukupan (kaya) penuh kemakmuran dan kesejahteraan. Jika belum kaya maka seseorang belum dikatakan bahagia. Atau ada juga yang meyakini bahwa kebahagiaan itu bisa dicapai apabila sudah menyelesaikan jenjang pendidikan pada tingkat yang paling tinggi di dunia akademik. Atau seseorang itu baru dikatakan bahagia apabila menduduki jabatan tertentu, atau bahagia apabila sudah naik pangkat, menang lotere, atau bahagia jika cita-cita sudah tercapai.

Lain lagi jika Parameter kebahagiaan pada dunia anak-anak. Kalau kita melihat anak kita atau anak orang lain yang belum Baligh berakal, mereka punya parameter kebahagiaan yang unik dan sederhana. Tidak seperti orang dewasa yang memiliki parameter kebahagiaan seperti yang saya jelaskan diatas tadi.

Ada anak yang senang serta bahagia jika dibelikan mainan oleh orang tuanya. Atau ada juga anak yang senang dan bahagia jika memang dalam sebuah perlombaan sederhana. Atau ketika hari hujan rata-rata anak-anak senang dan bahagia karena punya kesempatan untuk mandi hujan.

Semua contoh “kebahagiaan” yang saya sebutkan diatas belum pada tahap kebahagiaan. Mereka masih pada tahap senang, akan tetapi belum tentu bahagia. Sebab senang saja belum tentu bahagia sedangkan orang bahagia pasti senang.

Senang dan bahagia dua hal yang berbeda, akan tetapi tidak bisa di pisahkan. Sebab syarat dari sebuah kebahagiaan adalah kesenangan. Mustahil orang bahagia tidak senang meskipun senang belum tentu bahagia.

Apa perbedaan antara senang dan Bahagia?

Perbedaannya terletak pada Durasinya. Durasi artinya rentang waktu atau bisa juga diartikan lamanya sesuatu peristiwa atau kejadian berlangsung.
Jika kita perhatikan arti atau makna dari kata “senang” dan “bahagia” itu hampir sama yaitu, keadaan puas dan lega, tanpa rasa susah dan kecewa atau tidak ada sesuatu yang menyusahkan, tidak kurang suatu apapun juga dalam hidupnya.

Meskipun arti dari makna senang dan bahagia itu hampir sama akan tetapi senang dan bahagia punya durasi yang berbeda atau tidak sama. Senang itu kondisi seseorang yang puas, lega, tidak susah atau kelegaan yang sifatnya sementara. Misal, seorang mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kuliah S1 ketika di wisuda senangnya tak dapat dilukiskan, namun ketika ijazah sudah ditangan maka muncul kebingungan dan kegalauan (tidak semua sarjana begitu) karena mencari pekerjaan atau menciptakan lapangan kerja atau berbisnis dan lain sebagainya tidaklah mudah.
Apalagi selama ini ia hanya focus saja dengan mata kuliah-mata kuliahnya tanpa peduli dengan lingkungan sekitar dan membangun relationship.

Contoh lain, seorang dilantik menjadi pejabat di salah satu instansi. Ketika upacara pelantikan senang nya minta ampun. Namun, hal itu tidak berlangsung lama sebab besoknya ia harus kerja melaksanakan amanah dan tanggung jawab itu dengan sepenuh hati. Maka, hari harinya adalah hari-hari kesibukan dan ketegangan sebab, rasa tanggung jawab ditambah tekanan dari atasannya membuat ia kadang-kadang stress dan tertekan.

Atau seseorang yang baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji besar, alangkah senangnya hatinya waktu itu. Namun besok-besoknya hari-hari yang dilaluinya adalah hari-hari yang melelahkan karena gaji besar punya konsekwensi untuk bekerja dari pagi hingga malam.

Atau anak kecil yang suatu hari dikasih jajan sama orang tuanya, hatinya senang riang gembira. Namun, pas mau belanja uang di dalam sakunya hilang karena terjatuh di suatu tempat yang tidak diketahui, dari senang berubah sedih.

Banyak sekali contoh-contoh yang kita sendiri pasti pernah mengalami hal itu. Lalu timbul pertanyaan, apa itu kebahagiaan dan bagaimana serta seperti apa seseorang itu dikatakan bahagia?
Berikut ini ada beberapa ilustrasi yang semoga para pembaca bisa paham apa beda antara senang dan bahagia.

Ada seorang kaya sedang naik mobil mewah dan besar. Dalam perjalanan dia melihat ke pinggir jalan dan memperhatikan ada sawah ladang dan disitu ada pondok tua dan di pondok tua itu ada keluarga kecil ayah ibu dan anak membawa makanan dan minuman dan dengan lahapnya mereka makan. Si orang kaya yang diatas mobil mewah itu membathin, “alangkah bahagianya mereka disana, dalam kesederhanaan masih bisa bercengkerama tertawa menikmati kehidupan ini”.

Di seberang sana di dalam pondok tua, si bapak melihat laki-laki kaya di dalam mobil mewahnya juga membathin, “alangkah bahagianya orang yang didalam mobil mewah itu hidup serba berkecukupan sedangkan saya hanya hidup dipondok tua ini”.
Dari ilustrasi diatas, maka kedua-duanya adalah orang yang tidak bahagia, baik bapak yang di sawah itu maupun orang yang ada di dalam mobil mewah itu.

Seorang anak manusia ketika dia masih duduk di bangku sekolah mengimpikan kuliah disebuah kampus bergengsi. Ketika menamatkan pendidikan menengah (SMA/ sederajat) dia langsung mendaftarkan dirinya ke kampus yang dia tuju dan lulus. Alangkah bahagianya hati. Ketika tamat strata satu, dia berkata, “alangkah bahagianya kalau saya lanjut Master (S2)”. Kemudian dia mendaftar Master dan lulus. Ketika sudah master dia pun membathin, “alangkah bahagianya kalau saya lanjut Doctor”. Kemudian dia mendaftar S3 dan kemudian lulus. Ketika sudah Doctor dia pun membathin. “Ternyata sudah Doctorpun saya belum bahagia karena saya belum punya pekerjaan”. Setelah itu dia pun mendaftar di sebuah perusahaan bergengsi dan langsung diterima karena kebetulan yang bertitel Doctor dibutuhkan oleh perusahaan sebab masih langka. Karyawan rata rata hanya strata satu (S1) dan dia memperolah gaji yang lumayan besar.

Setelah bekerja cukup lama, orang-orang disekitarnya mulai memperbincangkan dan nyinyir sebab dia belum menikah. Kemudian dia pun membathin, “alangkah bahagianya kalau saya menikah”. Setelah menikah dia pun membathin, “alangkah bahagianya kalau saya punya anak”. Setelah punya anak satu ia pun membathin, “alangkah bahagianya kalau saya punya anak dua, tiga dst”.

Begitulah kalau kita mengukur kebahagiaan dengan materi, jenjang pendidikan dan karier serta keluarga. Ibarat minum air laut, makin di minum justru makin haus bukannya makin hilang dahaga yang terasa.

Jadi sekali lagi, bahagia itu seperti apa ?

Sesungguhnya Seseorang itu dikatakan bahagia jika dia memiliki hati yang lapang. Rasulullah saw adalah orang yang paling bahagia, sebab beliau memiliki hati yang luas seluas samudera dan lapang lebih lapang dari alam semesta. Suatu ketika rasulullah saw berkata, “Bahagia itu terletak disini (sambil menunjuk ke dadanya, jantung, qalbu)”. Makanya, ketika kaki beliau berdarah, pelipis pecah karena dilempari batu oleh penduduk Thaif ketika berdakwah disana, Rasulullah saw masih sempat tersenyum dan menolak tawaran Jibril untuk menimpakan gunung batu ke penduduk Thaif.

Bahagia tidak terletak pada rumah yang besar, harta yang banyak, pangkat yang tinggi, Pendidikan yang tinggi. Bahagia juga tidak terletak pada otot yang kuat sehingga semua orang takut dan segan dengan kita, bahagia juga tidak terletak pada makanan yang enak, minuman yang sejuk, kasur yang empuk, ruangan yang sejuk ber AC. Akan tetapi seperti yang dijelaskan diatas tadi, bahagia terletak pada kelapangan hati dalam mengarungi hidup dan kehidupan.

Secara umum, saya mengklasifikasikan kebahagiaan itu kepada dua bentuk;

Pertama, Kebahagiaan semu

Kita pernah menemukan sosok-sosok yang dalam kehidupannya senantiasa dalam kesabaran dan kelapangan, dermawan dan suka membantu. Wajah selalu ramah dan tersenyum. Tidak resah dan gelisah, curiga dan sakit hati pada orang lain. Mudah memaafkan orang lain yang telah menyakiti dirinya. Membantu orang lain adalah hobinya, suatu kebahagiaan apabila dia bisa membantu dan meringankan beban orang lain.

Akan tetapi karena dia memutuskan untuk memilih keyakinan yang keliru (nonmuslim) atau memutuskan untuk tidak beragama (agnostic) maka, kebahagiaan yang ia peroleh ketika hidup diatas dunia adalah kebahagiaan yang semu. Kebahagiaan semu adalah kebahagiaan yang bersifat sementara dan tidak kekal. Boleh jadi ia merasa bahagia dan senang, hatinya lapang dan tidak mendendam dan suka memaafkan orang lain. Akan tetapi hal kebahagiaan yang ia rasakan ketika masih hidup di dunia dan itu semu. Kita tidak benar-benar tahu bagaimana kondisi hatinya, apakah benar-benar bahagia seperti pancaran wajah dan perbuatannya. Yang jelas Kebahagiaan semu hanya didapat ketika hanya masih didunia sedangkan di akhirat merugi selamanya.

Dalam islam, tujuan hidup bukan saja mencari kebahagiaan di dunia saja, namun akhirat jauh lebih penting. Islam adalah agama yang memiliki visi yang jauh ke depan, menembus batas-batas kehidupan dunia. Bagi sebagian besar manusia, kematian adalah akhir dari segalanya, akan tetapi dalam Islam justru sebaliknya, kematian adalah awal dari perjalanan panjang menuju pintu kebahagiaan hakiki yaitu keridhoan Allah swt dan Sorga menanti.

Kedua, kebahagiaan Hakiki.

Kalau kebahagiaan semu hanya di dapat ketika masih hidup di dunia, sedangkan kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan yang tidak di dunia saja akan tetapi juga di akhirat. Sebab, sebagaimana yang saja jelaskan diatas tadi, bahwa islam mengajarkan umatnya memiliki visi hidup yang besar dan jauh kedepan menembus batas kehidupan dunia yaitu kematian. Kematian adalah awal dari perjalanan panjang menuju kebahagiaan hakiki di akhirat.

Kebahagiaan hakiki hanya didapat oleh orang orang yang memiliki iman yang benar dan lurus apapun kondisi yang terjadi dalam kehidupannya di atas muka bumi. Iman yang benar dan lurus jika menjadikan islam sebagai pedoman dan agama, Allah swt sebagai Tuhannya, Rasulullah saw sebagai nabi dan Rasulnya. Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.

Mereka yang meraih kebahagiaan yang hakiki hati nya senantiasa lapang, bersyukur atas segala nikmat dan karunia dari Allah swt, bersabar atas musibah yang menimpa, selalu menjaga dan membersihkan hati dari sifat hasad, dengki, iri hati, sombong dan lain sebagainya.

Allah swt berfirman,

“Dan carilah pada apa yang telah Allah swt anugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS, Al Qashas, 77)

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa, kebahagiaan akhirat adalah prioritas utama untuk dicari. Namun kebahagiaan di dunia jangan sampai kita abaikan. Sebab kebahagiaan hakiki di akhirat yang kita peroleh tentu diawali dengan kebahagiaan di dunia yang musti kita dapatkan.

Orang-orang yang beriman dengan baik dan benar itu memiliki ciri yaitu bahagia ketika hidup di dunia dan di akhirat kebahagiaan nya akan lengkap dan sempurna.

Jika seseorang sudah mendapatkan kebahagiaan dalam hidup dan kehidupannya di dunia maka, apapun aktivitas dan tindakan serta tingkah lakunya tidak akan merugikan dan mencelakai diri dan orang lain disekitarnya. Justru sebaliknya, kehadirannya akan memberikan manfaat bagi orang banyak. Sebaliknya jika seseorang belum atau tidak memperoleh kebahagiaan dalam hidup dan kehidupannya maka, dipastikan tindakannya akan mengganggu dan merugikan orang lain.

Orang yang tidak bahagia cenderung akan mencari kebahagiaan dengan cara yang keliru. Sebab ia sudah mengukur dan mengambil kesimpulan yang keliru dalam menilai parameter kebahagiaan. Misal, jalan-jalan dan bertamasya keluar negeri dianggap bahagia, namun uang tidak ada, maka dicarilah segala daya dan upaya untuk mendapatkan uang itu meskipun dengan cara menipu sekalipun. Atau mengukur kebahagiaan dengan membeli barang-barang mewah dan mahal, kalau tidak punya tas bermerek maka hidup terasa belum sempurna. Maka dibelilah tas yang mahal itu, namun apa daya, tidak lama tasnya di curi orang dan hilanglah kebahagiaannya dalam sekejap.

Ada juga yang mengukur kebahagiaan dengan jalan menganiaya dan menyakiti orang lain. Menjajah orang lain dan memperbudak orang lain. Ini adalah orang-orang yang sangat salah dalam memahami dan mengukur kebahagiaan. Orang seperti ini disebut dengan SMS, senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Ini tak ubahnya Psikopat, yaitu para pembunuh yang menyiksa korbannya sebelum dibunuh. Korban yang tersiksa justru membuat hatinya senang. Perbuatan seperti ini sangat dilarang dalam islam. Bukan saja dilarang memperlakukan manusia akan tetapi kepada hewan pun islam sangat keras melarang menganiaya hewan. Makanya dalam hal penyembelihan hewan korban, kita diharuskan menajamkan mata pisau agar hewan yang disembelih cepat matinya dan tidak mengalami siksaan menjelang kematiannya.

Kesalahan dalam mengukur kebahagiaan jika menimpa orang biasa dan tidak berpengaruh mungkin dampaknya tidak terlalu besar, namun seandainya yang salah mengukur parameter kebahagiaan itu adalah seorang pemimpin atau atasan yang membawahi banyak orang maka, daya rusaknya sangat besar dan meluas.
Apabila seorang pemimpin salah dan keliru dalam mengukur kebahagiaan, sebagaimana yang sudah dijelaskan tadi, maka daya rusaknya lebih dahsyat dan meluas. Ada jutaan orang yang akan menjadi korban dari kekeliruan para pemimpin dalam mengukur kebahagiaan.

Seseorang yang tidak amanah kemudian menjadi pemimpin dan berkuasa, maka ia akan menghalalkan segala cara. Pemimpin seperti ini sejak awal memang berambisi untuk berkuasa. Sebab kekuasaan adalah parameter kebahagiaan nya. Kekuasaan itulah tujuannya. Maka, ia pasti akan bertindak sewenang-wenang persis seperti Fir’aun, Namrud dan yang lainnya. Dibawah kepemimpinannya rakyat merasakan ketidaknyamanan dan terror serta intimidasi hamper setiap hari. Kalau sudah seperti ini, kesejahteraan tidak akan pernah didapat sebagai sebuah syarat kemakmuran sebuah negeri.

Meskipun ada yang sejahtera, itu hanya segelintir orang saja yang mau menjadi anteknya penguasa zalim tadi. Segelintir orang itu tidak bisa mewakili rakyat banyak.

Pemimpin yang zalim, tidak akan peduli dengan nasib rakyatnya justru yang ia pedulikan adalah nasib diri dan keluarga serta kelompoknya saja. Masa bodoh dengan rakyat. Rakyat hanya sebagai sapi perah untuk diperas demi membiayai kemewahan dan kekayaan dirinya.

Pemimpin yang adil adalah dambaan semua orang. Alangkah sejahteranya hidup masyarakat yang pemimpinnya adil dan amanah. Dalam sejarah, kita mengenal sosok-sosok para pemimpin yang adil dan amanah. Diantaranya adalah Umar bin Khatab dan cicitnya Umar bin Abdul aziz.

Dua sosok Umar ini adalah prototype pemimpin yang jujur dan amanah serta beriman dan bertaqwa.

Suatu ketika, Umar bin Abdul aziz setelah dinobatkan menjadi Khalifah dipersilahkan untuk menaiki kereta kuda, seperti kereta kencana yang cukup mewah, sebagai sebuah kebiasaan dalam dinasti pemerintahan di masa bani Umayyah. Beliau menolaknya dan memilih menaiki kendaraannya, Bighal. Ia menolak ada pengawal, kemana-mana ia hanya ditemani oleh seorang pembantunya. Persis seperti kakeknya, Umar bin khattab RA.
Ketika sampai di rumah ia memanggil istri dan anaknya untuk melepaskan semua perhiasan yang menempel ditubuhnya dan menyerahkan semuanya ke Baitul Mall dan memutuskan untuk hidup sederhana. Beliau tidak pernah mengambil gaji padahal itu adalah haknya.

Meskipun beliau hanya memerintah selama dua tahun lima bulan, 99 H – 101 H beliau memerintah dengan sangat adil dan amanah. Seluruh tenaga dan fikirannya tercurah untuk rakyat dan wilayah kekuasaannya. Siapapun boleh mendatanginya untuk menuntut haknya. Tidak sulit menemui beliau sebab beliau sehari-hari di pasar dan di masjid.

Pada tahun pertama pemerintahan beliau sangat banyak para penerima zakat, hal ini menunjukkan masih banyak rakyat yang hidup dalam garis kemiskinan. Di tahun kedua, sangat sulit mencari orang yang berhak menerima zakat. Sebab disetiap sudut kota dan pelosok kampung warga hidup dalam berkecukupan. Sehingga terpaksa para pengumpul zakat membagikan zakat ke daerah perbatasan.

Saking adilnya beliau memerintah, hewan ternak tidak sekalipun diterkam atau dimangsa oleh serigala dan singa, malah mereka hidup berdampingan. Ketika Umar wafat, hewan ternak kembali dimangsa oleh pemangsanya.

Umar bin khattab Ra dan Umar bin abdul aziz adalah sosok pemimpin adil dan amanah yang tidak menjadikan jabatan sebagai tujuannya. Justru jabatan itulah yang membuat dua Umar ini sering menangis karena memikirkan beban pertanggungjawaban yang sangat besar dihadapan Allah swt kelak.

Dua Umar ketika menjadi Khalifah justru membuat mereka tampak lebih miskin dan lebih menderita. Sebab, semua hartanya bukannya bertambah justru berkurang demi untuk menambah kas Negara. Alangkah bahagianya rakyat yang hidup di masa pemerintahan Umar bin khattab dan Umar bin abdul aziz.

Masyarakat yang hidup dibawah para pemimpin yang adil dan amanah akan merasakan kemakmuran dan kesejahteraan. Kalau sudah begitu maka, kebahagiaan pasti akan diraih apapun agama nya. Setidaknya mereka hidup bahagia di dunia.

Baru-baru ini muncul sebuah lembaga survey yang menobatkan Negara Denmark sebagai Negara nomor wahid paling bahagia di dunia. Tentu saja kebahagiaan yang mereka maksud di sini adalah kebahagiaan semu, sebab Denmark adalah Negara yang mayoritas bukan menganut agama tauhid (islam) sungguhpun demikian, sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah di dalam bukunya Al-Hisbah fi Al-islam aw Wazhifah Al-Hukumah Al-islamiyah, beliau menyebutkan, “Allah swt akan menolong Negara yang adil meskipun pemimpinnya kafir, dan akan membinasakan Negara yang zalim meskipun pemimpinnya beriman kepada Allah (muslim)”.

Pernyataan Ibnu Taimiyah ini bukan dalil untuk kebolehan memilih pemimpin kafir atas orang-orang beriman. Sebab, orang-orang beriman wajib memilih pemimpin yang beriman juga. Pernyataan ini adalah fakta yang kita lihat hari ini bagaimana Negara-negara yang mayoritas non muslim banyak yang maju dan sejahtera seperti Denmark tadi.

Mereka makmur dan sejahtera karena menerapkan sebagian dari prinsip ajaran islam, menegakkan neraca keadilan dalam bidang ekonomi saja. Keadilan ekonomi tegak karena konsep kejujuran dan transparansi serta tanggung jawab para pemimpinnya.

Mereka tidak menyembah Allah, bahkan dengan Allah saja mereka tak kenal. Bahkan sebagian mengaku tidak beragama dan tidak percaya akan Tuhan, agnostic. Namun karena tradisi sejak kecil yang diwariskan turun-temurun antar generasi, mereka mampu dan bertahan menegakkan prinsip kejujuran dengan sangat disiplin.
Jepang, adalah Negara yang paling sejahtera dan makmur di Asia, termasuk Singapura juga demikian. Mayoritas bukan muslim bahkan kaum muslimin jumlahnya sangat sedikit, kurang dari satu persen. Namun mereka makmur dan sejahtera. Sebagaimana Denmark, jepang juga menerapkan prinsip kejujuran sejak dini.
Denmark, Jepang, Singapura, Jerman, Finlandia, dan Negara maju lainnya mampu makmur dan sejahtera hanya dengan menerapkan sebagian prinsip-prinsip keislaman, apalagi jika Negara itu mayoritas muslim, pemimpinnya adil dan bertaqwa, masyarakatnya sholeh, maka saya yakin dan haqul yaqin, Negara itu pasti dinobatkan sebagai Negara paling sejahteram makmur didunia, jauh mengalahkan Denmark, jepang dan Singapura tadi.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan ayat-ayat kami, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS; Al A’raf ayat 96)

Negara atau bangsa yang diberkahi berbeda dengan Negara dan bangsa yang sekedar diberikan kemakmuran dan kesejahteraan. Keberkahan tidak sekedar makmur dan sejahtera. Berkah itu disamping penduduk negeri itu makmur dan sejahtera, mereka akan memperoleh kebahagiaan hidup yang hakiki. Bukan bahagia yang semu, seperti Denmark yang dinobatkan Negara paling bahagia tadi.

Apalah artinya Negara makmur dan sejahtera namun nyatanya penduduk nya doyan bunuh diri, doyan minum minuman beralkohol, mabuk sudah menjadi budaya. Mabuknya sabtu malam, siuman (sadar) nya hari Senin, begitulah kira-kira ilustrasi kondisi kehidupan masyarakat yang haus akan kebahagiaan.
Secara materi cukup dan berlimpah. Angka kriminalitas mampu ditekan, namun kebahagiaan sulit didapat karena tak kenal dan tak paham untuk apa dia hidup. Yang mereka tahu hanyalah “Bagaimana untuk bisa hidup?”.

Bagaimana Negara bangsa yang mayoritas Muslim?

Memang tidak satupun data menyebutkan bahwa Negara Negara yang mayoritas muslim memiliki angka bunuh diri yang tinggi, namun dalam hal penguasaan teknologi, ekonomi, budaya dan politik Negara islam lebih banyak jadi penonton daripada pemain, jadi konsumen daripada produsen, lebih banyak diatur daripada mengatur, dibawah bayang-bayang Negara maju yang menguasai ekonomi, politik, budaya dan teknologi.

Kenapa bisa terjadi?

Kalau bangsa-bangsa non muslim maju karena meninggalkan agamanya sedangkan umat islam mundur karena menjauhi agamanya. Demikian menurut banyak pengamat sejarah peradaban. Islam adalah agama sekaligus “Dien” yang sudah lengkap dan sempurna memberikan pedoman bagaimana hidup sukses dunia dan akhirat. Masalahnya umat islam sebagian terjebak pada sekulerisme kiri dan sebagian lagi sekularisme kanan.
Sekularisme kiri adalah prinsip yang memisahkan urusan kehidupan dunia dengan ajaran dan nilai agama, sedangkan sekularisme kanan adalah prinsip memisahkan ajaran agama dengan urusan kehidupan dunia. Kedua-duanya keliru dan fatal. Inilah faktor utama kenapa umat islam satu sisi urusan dunia mereka serahkan ke Bangsa dan peradaban lain, sementara urusan kehidupan akhirat di sisi lain mereka juga abai.

Wallahualam..