KERUKUNAN, CINTA KEMANUSIAAN DAN HARMONI:
Relevansi Akulturasi Agama dan Budaya
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sumatera Barat
Di tengah tantangan global yang ditandai dengan meningkatnya polarisasi, ekstremisme, dan krisis identitas, nilai-nilai kerukunan, cinta kemanusiaan, dan harmoni menjadi kebutuhan mendesak bagi keberlangsungan masyarakat yang damai dan beradab. Indonesia, sebagai negara multikultural dan multiagama, memiliki kekayaan khas berupa proses akulturasi antara agama dan budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad. Proses ini tidak hanya mencerminkan penerimaan, tapi juga kreativitas kultural dalam menjembatani perbedaan menuju kesatuan.
Agama, pada hakikatnya, membawa pesan universal tentang cinta dan kemanusiaan. Sementara budaya merupakan ekspresi kehidupan masyarakat yang membentuk identitas lokal. Ketika keduanya bersinergi melalui proses akulturasi yang sehat, lahirlah bentuk-bentuk kearifan lokal yang selaras dengan nilai-nilai transendental. Contohnya dapat kita lihat dalam falsafah hidup “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” di Minangkabau, atau filosofi “Tri Hita Karana” di Bali yang menggabungkan harmoni dengan Tuhan, sesama, dan alam.
Namun demikian, relevansi akulturasi agama dan budaya tidak akan bertahan jika tidak dirawat. Globalisasi yang membawa nilai-nilai homogen dapat menggerus jati diri lokal jika tidak diimbangi dengan pendidikan nilai dan dialog lintas budaya. Dalam konteks ini, kerukunan bukan hanya hasil, tetapi juga proses: proses memahami, menerima, dan menghargai perbedaan sebagai anugerah, bukan ancaman.
Cinta kemanusiaan menjadi fondasi moral yang menyatukan berbagai ekspresi religius dan budaya. Ia melampaui sekat-sekat identitas dan menekankan pada aspek empati dan solidaritas. Dengan demikian, harmoni sosial bukanlah utopia, melainkan cita yang bisa diraih melalui sikap terbuka, penghargaan terhadap tradisi, dan komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan, membumikan kembali nilai-nilai akulturasi agama dan budaya menjadi sangat penting. Bukan sekadar romantisme masa lalu, tetapi sebagai strategi peradaban yang mampu menjawab kebutuhan zaman: hidup damai dalam keberagaman.
Kerukunan, Cinta Kemanusiaan, dan Harmoni.
Tiga nilai ini mencerminkan semangat hidup berdampingan secara damai, yang menjadi fondasi bagi masyarakat plural. Kerukunan menunjukkan sikap saling menghormati; cinta kemanusiaan adalah wujud solidaritas universal lintas batas agama, etnis, dan budaya; sedangkan harmoni menunjukkan keseimbangan dan kedamaian sosial.
Esensi kerukunan, cinta kemanusiaan, dan harmoni merupakan nilai-nilai dasar yang melekat pada fitrah manusia sebagai makhluk sosial dan spiritual. Kerukunan adalah wujud dari hubungan yang damai antar individu dan kelompok, yang ditandai dengan saling menghormati perbedaan. Cinta kemanusiaan merupakan fondasi moral yang menempatkan nilai kemanusiaan di atas kepentingan sempit kelompok, suku, atau agama.
Harmoni adalah kondisi seimbang dan serasi antara berbagai unsur dalam masyarakat, termasuk hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Ketiganya merupakan refleksi dari ajaran agama-agama besar dan juga nilai-nilai luhur budaya lokal, yang jika dijalankan, menciptakan tatanan kehidupan yang damai, adil, dan berkeadaban.
Dalam realitas masyarakat modern yang kompleks dan majemuk, nilai-nilai ini menjadi sangat mendesak untuk ditegakkan. Meningkatnya intoleransi dan konflik identitas di berbagai belahan dunia menunjukkan rapuhnya fondasi sosial jika tidak dibangun di atas nilai kerukunan dan kemanusiaan. Krisis solidaritas akibat individualisme dan materialisme menuntut penguatan kembali nilai-nilai empati dan kasih sayang antar sesama.
Kerusakan lingkungan dan disintegrasi sosial menandakan hilangnya harmoni dalam relasi manusia dan alam, yang berdampak pada keberlangsungan hidup bersama. Maka, menanamkan nilai-nilai ini bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan strategis bagi masa depan kemanusiaan.
Nilai-nilai kerukunan, cinta kemanusiaan, dan harmoni tetap relevan dan bahkan semakin penting dalam konteks kekinian. Dalam pendidikan, nilai-nilai ini penting ditanamkan sejak dini untuk membentuk karakter peserta didik yang toleran dan bertanggung jawab secara sosial.
Dalam kehidupan beragama, nilai-nilai ini menjadi kunci untuk menciptakan dialog lintas iman dan mencegah radikalisme. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai ini menopang integrasi nasional, menguatkan kohesi sosial, dan menciptakan ketahanan budaya. Dengan demikian, membumikan nilai-nilai ini berarti merawat kemanusiaan itu sendiri dan menjaga masa depan peradaban dari bahaya perpecahan, kekerasan, dan dehumanisasi.
Akulturasi merujuk pada proses pertemuan dan perpaduan antara nilai-nilai agama dan budaya lokal yang tidak saling menegasikan, melainkan memperkaya. Dalam konteks Indonesia, ini sangat terlihat pada bagaimana Islam, Kristen, Hindu, dan agama lain membaur dengan budaya lokal seperti adat Minangkabau, Jawa, Bali, dan adat lainnya.
Relevansi di sini berarti bagaimana proses akulturasi tersebut tetap kontekstual dan bermakna bagi kehidupan masyarakat sekarang. Ini penting agar nilai-nilai budaya dan agama tidak sekadar menjadi warisan, tapi juga menjadi solusi atas problem kontemporer seperti intoleransi, disintegrasi, dan krisis identitas.
RELEVANSI AKULTRUASI DENGAN BUDAYA
Tulisan sejalan dengan banyak nash dalam Islam yang menekankan pentingnya kerukunan, cinta sesama, dan harmoni, baik secara vertikal (dengan Allah) maupun horizontal (dengan manusia dan alam). Beberapa nash yang relevan antara lain kerukunan dan toleransi:”Lakum dīnukum wa liya dīn” (QS. Al-Kafirun: 6) yang mengajarkan prinsip toleransi antaragama. “Wata‘āwanū ‘ala al-birri wa al-taqwā wa lā ta‘āwanū ‘ala al-ithmi wa al-‘udwān” (QS. Al-Mā’idah: 2) kerjasama dalam kebaikan dan takwa, bukan permusuhan.
Berkaitan dengan cinta kemanusiaan semangatnya dipahami “Wa mā arsalnāka illa raḥmatan li al-‘ālamīn” (QS. Al-Anbiyā’: 107). Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi umat Islam. Hadis Nabi: “Lā yu’minu aḥadukum ḥattā yuḥibba li akhīhi mā yuḥibbu li nafsih”. Cinta sesama adalah puncak iman.
Berkaitan dengan harmoni dan keadilan sosial “Inna akramakum ‘inda Allāhi atqākum” (QS. Al-Ḥujurāt: 13). Menekankan nilai takwa di atas identitas sosial, budaya, atau etnis. Nash-nash ini mendukung klaim Duski Samad bahwa nilai-nilai agama sejatinya mengafirmasi hidup damai dalam keberagaman, dan membentuk harmoni dalam hubungan manusia dengan sesama dan lingkungannya.
Dari sisi fatwa, banyak lembaga otoritatif keagamaan mendukung nilai-nilai seperti yang disebutkan di atas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa tentang toleransi dalam kehidupan beragama (2005) menegaskan pentingnya menghormati pemeluk agama lain, mengedepankan sikap damai dan saling menghargai. Fatwa MUI juga menegaskan perlunya ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan), selain ukhuwah Islamiyah.
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU mempromosikan konsep Islam Nusantara yang merupakan wujud akulturasi Islam dengan budaya lokal yang damai. Muhammadiyah memajukan konsep Islam Berkemajuan, yang mengutamakan keadilan sosial, inklusivitas, dan kemanusiaan. Fatwa-fatwa ini mengafirmasi pendekatan akomodatif dan harmoni antara nilai-nilai agama dan budaya dalam kerangka kebangsaan.
Secara ilmiah kerukunan, cinta kemanusiaan dan harmoni sejalan dengan berbagai teori sosial-budaya dan filsafat agama. Teori Akulturasi (Redfield, Linton, Herskovits) akulturasi adalah proses dinamis pertukaran budaya yang saling memengaruhi. Ketika agama dan budaya lokal saling bersinergi, terbentuk identitas kolektif baru yang lebih kuat dan inklusif. Living Values Education (LVE), pendekatan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai cinta damai, toleransi, dan hormat terhadap keberagaman. Multikulturalisme gagasan bahwa masyarakat terdiri dari berbagai kelompok budaya yang harus saling hidup berdampingan secara adil dan setara, menjadi latar belakang penting dalam tulisan ini.
Tulisan ini menawarkan sintesis antara teks agama, budaya lokal, dan pemikiran sosial modern. Nilai-nilai kerukunan, cinta kemanusiaan, dan harmoni yang ia angkat: Secara normatif: didukung oleh nash-nash agama. Secara fatwa: diperkuat oleh pandangan lembaga keagamaan besar di Indonesia. Secara ilmiah: didukung oleh teori sosial dan pendidikan multikultural.
KESIMPULAN
Kerukunan, cinta kemanusiaan, dan harmoni adalah fondasi moral dan sosial dalam membangun peradaban damai di tengah tantangan global saat ini. Di tengah arus ekstremisme, krisis identitas, dan disintegrasi sosial, ketiga nilai ini menjadi jawaban strategis yang berakar dari kekayaan lokal dan bersandar pada nilai-nilai transendental.
Melalui pendekatan akulturasi antara agama dan budaya, tulisan ini menunjukkan bahwa keduanya bukan entitas yang saling bertentangan, melainkan dapat berkelindan secara harmonis. Tradisi lokal seperti Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah menjadi bukti konkret dari sintesis nilai spiritual dan budaya, yang telah terbukti mampu merawat kohesi sosial masyarakat plural seperti Indonesia.
Dari aspek nash, nilai-nilai yang diangkat memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan hadis. Prinsip toleransi (QS. Al-Kafirun: 6), cinta kasih universal (QS. Al-Anbiya: 107), dan keadilan sosial (QS. Al-Hujurat: 13) menunjukkan bahwa kerukunan dan harmoni merupakan cita-cita luhur agama Islam.
Dari aspek fatwa, lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah telah memberikan dasar normatif atas pentingnya dialog antaragama, persaudaraan kemanusiaan, dan integrasi nilai-nilai lokal dalam bingkai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin.
Dari aspek ilmiah, tulisan ini berakar pada teori-teori akulturasi budaya, pendidikan nilai (Living Values Education), dan multikulturalisme, yang semuanya menegaskan bahwa kehidupan damai dalam keberagaman hanya bisa dicapai melalui penghormatan, empati, dan pengakuan terhadap perbedaan.
Nilai-nilai kerukunan, cinta kemanusiaan, dan harmoni bukan hanya idealisme normatif, tetapi juga menjadi strategi kultural dan spiritual untuk menjawab tantangan zaman. Menjadikannya sebagai dasar pendidikan, kehidupan beragama, dan kehidupan berbangsa adalah bentuk investasi moral untuk masa depan kemanusiaan yang lebih adil, damai, dan berkeadaban.DS.12042025.