KERUKUNAN SEJATI  VARIAN PEMAHAMAN  DAN  HARMONI

KERUKUNAN SEJATI  VARIAN PEMAHAMAN  DAN  HARMONI
Oleh: Duski Samad 
Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat 
Kerukunan sejati adalah keadaan harmonis yang tumbuh dari kesadaran, penghargaan, dan kerja sama antarmanusia—khususnya dalam konteks perbedaan agama, budaya, etnis, dan pandangan hidup—yang tidak hanya bersifat toleran secara formal, tetapi juga tulus dan aktif dalam membangun perdamaian.
Ciri-ciri kerukunan sejati adalah dibangun atas dasar saling pengertian, bukan sekadar saling diam. Mengakui perbedaan sebagai anugerah, bukan ancaman.
Ada dialog yang jujur dan terbuka, bukan basa-basi atau formalitas.
Ada keadilan sosial dan ruang ekspresi yang setara bagi semua kelompok.
Mengutamakan kepentingan bersama di atas identitas golongan.
Kutipan Inspiratif Tentang Kerukunan Sejati.“Kerukunan sejati bukanlah ketiadaan konflik, melainkan kemampuan untuk mengelola perbedaan dengan kasih, hormat, dan keadilan.”  “True harmony is not uniformity, but unity in diversity built on mutual respect.”
Kerukunan Sejati Bukan Hanya Toleransi. Toleransi Kerukunan Sejati.
Saling membiarkan Saling menguatkan
Bisa pasif dan formal Aktif, sadar, dan bernilai moral
Berdasarkan aturan hukum semata Berdasarkan hati nurani dan komitmen sosial
bisa berlangsung dalam ketegangan diam menghadirkan kenyamanan dan kolaborasi
Kerukunan sejati dalam konteks bangsa. Di negara seperti Indonesia, kerukunan sejati menjadi: Modal sosial utama untuk menjaga persatuan bangsa.
Landasan pelaksanaan Pancasila sila ke-3 dan ke-5 (Persatuan Indonesia & Keadilan Sosial).
Penguat demokrasi, karena menjamin hak hidup dan berekspresi bagi semua.
 Kerukunan sejati bukanlah cita-cita utopis, tetapi hasil dari perjuangan kolektif yang sadar, konsisten, dan berlandaskan cinta terhadap sesama manusia dan tanah air.
KERUKUNAN STATE OF MIND
Tokoh filsuf dan teolog yang menyatakan kalimat sejenis “Tiada kedamaian negara tanpa ada kedamaian umat beragama” adalah Hans Küng, seorang teolog Katolik asal Swiss.
Kutipan Lengkap (Versi Bahasa Inggris).
Hans Küng dalam bukunya “Global Responsibility: In Search of a New World Ethic” (1991), menyatakan:
 “There will be no peace among the nations without peace among the religions.
There will be no peace among the religions without dialogue among the religions.”
Terjemahan Bahasa Indonesia. “Tidak akan ada perdamaian antar bangsa tanpa perdamaian antar agama.
Tidak akan ada perdamaian antar agama tanpa dialog antar agama.”
Küng percaya bahwa: Konflik antaragama sering menjadi akar konflik global. Oleh karena itu, dialog lintas iman adalah kunci untuk perdamaian dunia.
Ia juga menggagas “Declaration Toward a Global Ethic” pada Parliament of the World’s Religions (1993), yang menyatakan bahwa dunia membutuhkan etik universal bersama, melampaui batas doktrin.
The philosopher and theologian Hans Küng famously saiThere will be no peace among nations without peace among religions; no peace among religions without dialogue among religions.”
He emphasized the centrality of interreligious dialogue in achieving global and national peace.
MERAWAT RUKUN
Bulan Juni dan Jul 2025 lalu ada dua peristiwa kegaduhan kehidupan beragama di Indinesia. Menag Prof. Nasaruddin Umar memohon ketika menerima Silatnas FKUB dan Lembaga Keagamaan 5-7 Agustus 2025 di Hotel Atria Serpong untuk merawat kerukunan dari hati, pintu awalnya dari menjadikan rumah ibadah sebagai rumah kemanusiaan.
Diskusi pada Silatnas FKUB menyimpulkan bahwa ada trend baru sumber konflik yakni lepas kendalinya kelompok dan varian dari induk organisasinya.
Pemahaman internal keagamaan dan irisannya dengan harmoni bangsa adalah isu yang kompleks namun sangat relevan dalam konteks kebangsaan Indonesia, yang plural baik secara agama, etnis, budaya, maupun ideologi.
Varian Internal Pemahaman Keagamaan apa itu?
Yang dimaksud dengan varian internal adalah perbedaan pemahaman, tafsir, atau ekspresi dalam satu agama tertentu. Contoh dalam beberapa agama:
Islam: Sunni, Syiah, Wahabi, Salafi, Nahdliyin, Muhammadiyah, Perti dan kelompok transnasional seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dll.
Kristen: Katolik, Protestan, Pentakosta, Karismatik, Advent, Injili, Ortodoks, dan lainnya.
Hindu: Shivaistis, Vaisnava, aliran kebatinan lokal seperti Hindu Dharma Bali.
Buddha: Theravada, Mahayana, Vajrayana, Tridharma.
Kepercayaan lokal: Sering kali tidak diakui resmi, namun tetap memiliki pengikut yang taat, seperti Parmalim (Batak), Kaharingan (Dayak), Sunda Wiwitan, dan sebagainya.
 Masalah yang Timbul dari Varian Internal
a. Polarisasi Intra-agama
Munculnya perpecahan antar kelompok dalam satu agama, seperti konflik keras antara kelompok Salafi-Wahabi dan Nahdlatul Ulama dalam Islam, atau antara gereja-gereja tradisional dan karismatik dalam Kekristenan.
Konflik doktrinal berujung pada pelabelan sesat, bahkan pengkafiran (takfir), ekskomunikasi, atau tekanan sosial.
b. Instrumen talisasi Politik.
Pemahaman keagamaan tertentu kadang dipakai sebagai kendaraan politik. Contoh: kelompok puritan atau konservatif dimobilisasi dalam isu-isu elektoral (misalnya Pilkada Jakarta 2017).
Agama menjadi alat delegitimasi terhadap kelompok berbeda keyakinan, bahkan terhadap sesama agama.
c. Diskrimi nasi Minoritas Intra-agama
Ahmadiyah, Syiah, atau pengikut kepercayaan lokal sering menjadi korban diskriminasi bahkan kekerasan dari mayoritas dalam agama mereka sendiri.
Lembaga negara (seperti MUI, Kemenag) kadang ikut membingkai mana yang “resmi”, yang mempersempit ruang kerukunan internal.
Irisan dengan Harmoni Bangsa
Varian internal ini bisa berdampak positif maupun negatif bagi harmoni bangsa:
Dampak Positif (Jika Dikelola Baik)
Aspek Dampak
Pluralitas tafsir Memperkaya wacana keagamaan, mendorong kematangan iman, dan sikap inklusif.
Demokratisasi agama mendorong partisipasi dari kelompok muda, perempuan, atau minoritas internal.
Dialog antar madzhab/mazhab.
Membangun kesadaran bersama sebagai satu bangsa meski berbeda aliran
Contoh:
Musyawarah Antar Gereja (PGI), Bahtsul Masail NU, atau Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang mengajak semua pihak berdialog termasuk internal satu agama.
Dampak Negatif (Jika Dibiarkan Liar)
Aspek Dampak
Konflik horisontal Pemaksaan doktrin satu kelompok pada kelompok lain memicu kekerasan atau pembatasan hak.
Fragmentasi sosial Warga tercerai-berai secara sosial karena perbedaan aliran, tidak saling shalat, tidak menikah antar kelompok.
Radikalisasi Kelompok ekstrem dalam satu agama bisa meradikalisasi pemahaman, menolak Pancasila, bahkan bermimpi negara teokrasi
Contoh:
Kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik (2011).
Penolakan pembangunan masjid karena perbedaan mazhab.
Gereja kecil ditutup karena dianggap “menyimpang” oleh kelompok Kristen mayoritas.
 4. Jalan Tengah: Menjaga Keragaman Internal untuk Harmoni Nasional
Strategi utama:
1.Moderasi Beragama
Pendekatan negara melalui Kemenag RI dan ormas keagamaan  harus lebih menyentuh akar perbedaan tafsir, bukan hanya beda agama.
2.Pendidikan Keagamaan Inklusif
Kurikulum agama di sekolah dan madrasah perlu menampilkan ragam tafsir dalam satu agama, bukan memaksakan versi tunggal.
3.Penguatan Peran Negara Netral
Negara seharusnya tidak menjadi wasit ideologi agama, tapi pelindung hak konstitusional warga dalam menjalankan keyakinannya—termasuk kelompok minoritas dalam agama.
4.Pencegahan Kriminalisasi Tafsir
Jangan biarkan aparat menggunakan UU Penodaan Agama untuk menghukum perbedaan pemahaman internal, kecuali jelas mengarah pada kebencian, kekerasan, atau pelanggaran hukum lainnya.
Keragaman tafsir dalam satu agama bukan ancaman, tetapi kekayaan. Namun jika tak dikelola dengan arif, ia bisa meretakkan persaudaraan bangsa.
Penting bagi negara dan masyarakat sipil untuk:
Mengedepankan dialog intra-agama selain dialog antaragama,
Menumbuhkan etika “beda tafsir tapi sebangsa”,
Menjaga agar nilai Pancasila dan konstitusi menjadi ruang bersama, bukan ruang yang ditentukan satu kelompok tafsir saja.atriahotelserpong@06082025.DS.

Leave a Reply