KERUKUNAN TERKENDALI, MENCEGAH KERUKUNAN SEMU
Oleh: Duski Samad
Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat
Mencermati berita di medsos, media manstrem dan pernyataan pejabat menyedihkan aktor, pegiat dan aktivis kerukunan di antaranya pengurus umat lintas agama yang bergabung di FKUB Provinsi dan Kabupaten Kota.
Framing dan tidak berimbang tanpa data ada komentar yang justru memperkeruh keadaan dan merunyamkan masalah bagi mereka yang tak tahu duduk masalahnya.
Misalya berita tendensius …..
Detiknews memberitakan
Jakarta – SETARA Institute mengecam keras tindakan persekusi di sebuah rumah yang dijadikan rumah doa bagi jemaat Kristen di Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar). SETARA mendesak agar penegakan hukum dijalankan dengan tegas terhadap para pelaku intoleransi.
“SETARA Institute mengecam keras terjadinya pelanggaran KBB, intoleransi, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Padang tersebut. Tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan dan nyata-nyata merupakan tindak kriminal yang melanggar hukum dan konstitusi,” kata Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi, kepada wartawan, Senin,(28/7/2025).
Banyak lagi berita ulasan berkaitan dengan kasus pembubaran ibadah umat Kristen di rumah tinggal yang diberitakan di rumah doa di Padang Sarai Kota Padang, Ahad 25 Juli 2025 lalu.
“Gorengan” berita dan kesan provokatif di medsos yang dikutip oleh media menstrem dan pejabat negara sekalipun adalah pemicu kasus tersebut melebar dan menjadi atensi nasional. Fakta Wapres Gibran pun datang ke Sumatera Barat, Rabu, 30 Juli 2025.
Kasus dan gesekan yang awalnya prilaku personal atau komunitas kecil seringkali di naikkan kelasnya oleh mereka yang ingin dapat ” panggung” melalui jalur gaduh. Beberapa kasus keributan antar tetangga dan pribadi penyewa rumah dan pemilik rumah di Banuaran Seberang Padang 2023 lalu, kasus warga etnis tertentu hidup dalam lingkungan mayoritas agama yang berbeda, lalu seenaknya hidup, mengabaikan kenyaman lingkungan dan kearifan lokal adalah fakta pemicu terganggunya kerukunan.
Kerukunan di masyarakat majemuk kerap menghadapi tantangan ketika satu kelompok berposisi sebagai mayoritas dominan, sementara minoritas “merasa” berkuasa dan tidak taati aturan sosial.
Dalam konteks Indonesia, di mana umat Islam menjadi mayoritas, dan juga di daerah yang mayoritas non muslim dimana relasi mayoritas–minoritas memerlukan pendekatan sosiologis dan politis agar tidak terjebak pada dominasi yang menindas ataupun kerukunan semu.
Kerukunan mesti didorong menjadi kerukunan terkendali dengan menggunakan pendekatan teori functionalism dalam sosiologi agama (Durkheim dan Parsons), konsep civil religion (Bellah), serta teori hegemoni politik (Gramsci).
KERUKUNAN DALAM BANGSA MAJEMUK
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk dengan dominasi kelompok mayoritas dalam daerah tertentu satu wilayah ada umat Islam mayoritas dan daerah non muslim mayoritas
Dalam kerangka politik, mayoritas sering berperan dominan dalam pembentukan norma, kebijakan, dan identitas publik.Namun, dominasi ini berpotensi memunculkan social tension jika tidak diatur secara adil.
Kerukunan tidak dapat dibiarkan bergantung pada toleransi individual, tetapi memerlukan mekanisme pengendalian sosial, politik, dan budaya agar relasi sosial tidak timpang. Inilah yang disebut sebagai kerukunan terkendali.
Kerangka teori
fungsionalisme Durkheim–Parsons menegaskan bahwa agama berfungsi sebagai perekat sosial, tetapi jika mayoritas terlalu dominan, fungsi integrasi bisa berubah menjadi eksklusi. Diperlukan mekanisme pengendalian agar agama tetap menjadi sumber solidaritas kolektif, bukan konflik.
Teori Civil Religion (Robert Bellah) menyebutkan bahwa bilai-nilai bersama, bagi bangsa Indonesia ada Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dapat berfungsi sebagai civil religion—penopang integrasi lintas kelompok.
Hegemoni Politik (Antonio Gramsci) menyebut bahwa mayoritas berpotensi membentuk hegemoni budaya dan politik. Namun, hegemoni harus dikontrol agar menjadi consensual leadership (kepemimpinan yang dirasakan adil) bukan coercive domination (penindasan).
Kiat Kerukunan Terkendali.
1.Penguatan Civil Religion dan Kearifan Lokal
Pancasila dan kearifan lokal di Sumatera Barat ada Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah dapat dijadikan kerangka nilai bersama yang mengikat semua komunitas. Mayoritas berperan sebagai guardian bukan ruler.
2.Regulasi dan Kelembagaan yang Adil.
Forum strategis yang didirikan berdasarkan PBM Nomor 9 dan tahun 2006, FKUB adalah wadah yang harusnya diefektifkan pemerintah. Peran FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) diperkuat bukan hanya sebagai forum dialog, tetapi juga early warning system untuk mendeteksi potensi konflik.
Pemerintah memastikan regulasi rumah ibadah, perayaan keagamaan, dan kebebasan beragama dijalankan dengan prinsip keadilan distributif.
3.Kepemimpinan Politik Inklusif
Elite politik dan agama mayoritas wajib mengembangkan gaya kepemimpinan yang deliberatif dan inklusif, membuka ruang partisipasi minoritas dalam pengambilan kebijakan.
Kepemimpinan semacam ini mencegah politik identitas ekstrem yang bisa merusak kohesi sosial.
4.Pendidikan dan Literasi Publik
Pendidikan kewargaan yang mengintegrasikan literasi agama dan pluralisme sosial.
Media massa diarahkan untuk mempromosikan narasi harmoni, bukan sensasi konflik.
5.Mekanisme Mediasi dan Sanksi Sosial
Dibentuk tim mediasi berbasis masyarakat dan tokoh agama lintas kelompok yang dapat meredam konflik sejak dini.
Sanksi hukum dan sosial diberikan secara setara kepada provokator dari mayoritas maupun minoritas.
Analisis dan Solusi
Fenomena kerukunan di tengah mayoritas sering kali bergeser menjadi “peace under dominance” (damai semu) jika tidak ada mekanisme kontrol. Secara sosiologis, mayoritas memiliki capital (kekuatan demografis, budaya, dan politik) yang bisa menciptakan eksklusi sosial terhadap minoritas. Dengan kerukunan terkendali, kekuatan ini diarahkan untuk membangun solidaritas sosial, sebagaimana konsep Durkheim tentang organic solidarity, di mana keberagaman peran dan identitas menjadi kekuatan, bukan ancaman.
Secara politik, hegemoni mayoritas tidak dapat dihapus, dan memang tak akan terhapys, itu alam kehidupan, tetapi dapat ditransformasikan menjadi kepemimpinan konsensual yang meminimalkan potensi konflik. Keberhasilan model ini bergantung pada kebijakan negara yang adil, kebijaksanaan tokoh agama, dan kesadaran kolektif masyarakat.
Kesimpulan
Kerukunan di tengah dominasi mayoritas tidak bisa dibiarkan berlangsung secara alami. Ia memerlukan pengendalian melalui nilai bersama, regulasi, kepemimpinan inklusif, pendidikan publik, dan mekanisme resolusi konflik.
Pendekatan ini memungkinkan terciptanya harmoni berkeadilan yang menjaga kohesi sosial sekaligus memberi ruang aman bagi minoritas untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial-politik.
Daftar Pustaka (Singkat)
• Bellah, R. (1967). Civil Religion in America. Daedalus Journal.
• Durkheim, E. (1912). The Elementary Forms of Religious Life.
• Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks.
• Parsons, T. (1967). Sociological Theory and Modern Society.
• Suryadinata, L. (2017). Pluralism and Religious Harmony in Indonesia.
• UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
• Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006 (PBM Rumah Ibadah).