KETIKA SEKOLAH, KELUARGA, DAN PESANTREN TAK LAGI BERSINERGI

KETIKA SEKOLAH, KELUARGA, DAN PESANTREN TAK LAGI BERSINERGI

Deden Hilmansah

Dosen Tetap Program Studi PAI STAI Darul Falah Bandung Barat

Mahasiswa S3 Program Studi PAI Universitas Pendidikan Indonesia

 

Di berbagai daerah, kita kini menyaksikan fenomena yang mengusik hati nurani. Di tengah derasnya arus digital, nilai-nilai moral dan spiritual kian tergerus. Perilaku peserta didik yang kasar di media sosial, lunturnya rasa hormat kepada guru dan orang tua, serta meningkatnya kenakalan remaja menjadi gejala yang tak bisa diabaikan. Ironisnya, semua itu terjadi di tengah sistem pendidikan yang seharusnya berfungsi membentuk manusia berakhlak mulia.

Kita hidup di zaman ketika sekolah sibuk mengejar akreditasi, keluarga sibuk mengejar ekonomi, dan pesantren sibuk bertahan menjaga tradisi. Padahal, tiga lembaga ini yaitu sekolah, keluarga, dan pesantren seharusnya menjadi segitiga emas dalam pembinaan akhlak generasi muda. Ketika sinergi di antara ketiganya terputus, maka proses pendidikan kehilangan ruhnya.

Sekolah hari ini telah menjadi institusi yang lebih menekankan aspek kognitif daripada pembentukan karakter. Kurikulum terus berubah, namun jarang menyentuh substansi: bagaimana menumbuhkan akhlak mulia dan integritas moral peserta didik. Para guru dibebani administrasi, laporan daring, dan target akademik, sementara pembinaan karakter sering dianggap kegiatan tambahan.

Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) pun sering hanya menjadi pelengkap dianggap cukup jika siswa hafal rukun iman, rukun Islam, atau mampu menjawab soal ujian agama. Padahal, inti dari pendidikan Islam bukan sekadar transfer pengetahuan agama, melainkan transformasi akhlak. Nabi Muhammad SAW bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِتَُِمِِّمَ مَكَرِمَ الْخَِْلَقَِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Al-Baihaqi).

 

Ketika sekolah terjebak dalam orientasi kognitif, maka nilai-nilai moral hanya berhenti di kepala, tidak menyentuh hati dan perilaku. Di sinilah sekolah kehilangan dimensi ruhaniahnya. Dulu, keluarga adalah madrasah pertama bagi anak. Orang tua menjadi teladan utama dalam bersikap, berbicara, dan berperilaku. Namun kini, banyak keluarga kehilangan fungsi pendidikannya. Keterbatasan waktu karena tuntutan ekonomi membuat anak lebih lama berinteraksi dengan gawai daripada dengan orang tuanya.

Dalam banyak kasus, anak belajar nilai bukan dari nasihat orang tua, tetapi dari konten media sosial. Pola asuh berbasis kasih sayang berubah menjadi pola asuh berbasis materi. Anak dibelikan gawai agar diam, bukan diajak berdialog agar paham. Nilai-nilai seperti sopan santun, kesabaran, dan tanggung jawab pun sulit tumbuh jika tidak dihidupkan dalam lingkungan keluarga.

Padahal, Al-Qur’an memberikan tanggung jawab besar kepada orang tua. Allah SWT berfirman:

ٰٰيٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ ٰامَنُوْا قُْٰوٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَٰٰلۤىِٕكَةٌ غِلَظٌَ شِدَادٌ لََّّ يَعْصُوْنَ هاللَّٰ مَٰآ اَمَرَهُمْ

وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ ٦۝

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat- malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At- Tahrim: 6).

Ayat ini menegaskan bahwa pendidikan moral dan spiritual adalah tanggung jawab pertama keluarga, bukan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah atau pesantren.Pesantren selama berabad-abad menjadi pusat pembinaan moral, ilmu, dan spiritualitas. Dari pesantren lahir ulama, pendidik, dan tokoh-tokoh bangsa yang berakhlak  luhur.  Namun,  dalam  sistem  pendidikan  modern,  pesantren  sering terpinggirkan.

Pesantren dianggap hanya cocok untuk kalangan tertentu, sementara sekolah umum menjadi pilihan utama. Banyak keluarga modern yang menganggap pesantren terlalu tradisional, atau tidak relevan dengan dunia kerja. Padahal, pesantren memiliki keunggulan dalam membentuk karakter: kedisiplinan, kesederhanaan, dan keteladanan kiai yang menjadi model hidup bagi santri.

Krisis moral generasi muda hari ini seharusnya menyadarkan kita bahwa pesantren justru memiliki peran penting dalam menyeimbangkan aspek intelektual dan spiritual. Dalam konteks ini, pesantren bukan alternatif, melainkan kebutuhan. Dalam khazanah pendidikan Islam, sinergi antara sekolah, keluarga, dan pesantren sejatinya sudah tergambar dalam konsep tri pusat pendidikan: al-bait (rumah), al-madrasah (sekolah), dan al-ma’had (pesantren). Ketiganya membentuk ekosistem pendidikan yang utuh keluarga menanamkan nilai dasar, sekolah mengembangkan kemampuan intelektual, dan pesantren memperdalam spiritualitas serta pembiasaan ibadah.

Rasulullah SAW mendidik umatnya melalui tiga pendekatan ini: keteladanan di rumah, pengajaran di lingkungan sosial, dan pembinaan ruhani di masjid. Ketika model pendidikan Islam klasik ini dijalankan dengan seimbang, maka lahirlah generasi sahabat yang unggul secara spiritual dan intelektual. Namun dalam konteks modern, sinergi ini mulai hilang. Sekolah berdiri sendiri dengan kurikulumnya, keluarga sibuk dengan urusannya, dan pesantren berjalan di jalurnya sendiri. Akibatnya, peserta didik tidak lagi mendapatkan kesinambungan nilai.

Retaknya sinergi antara sekolah, keluarga, dan pesantren menimbulkan dampak sosial yang nyata. Generasi muda tumbuh dalam kebingungan nilai: di sekolah mereka diajarkan etika formal, di rumah mereka melihat perilaku yang bertentangan, sementara pesantren yang bisa menjadi penyeimbang tidak mereka kenal. Akibatnya, kita melihat fenomena paradoks: anak-anak cerdas secara akademik, tetapi miskin empati dan tanggung jawab sosial. Mereka pandai berhitung, namun tidak tahu bagaimana menghormati guru. Mereka mampu berbicara di depan publik, tetapi sulit menundukkan ego.

Fenomena moral disengagement yakni kemampuan seseorang memisahkan antara tindakan dan nilai moralnya kian meluas. Anak-anak tidak lagi merasa bersalah ketika berbuat curang, karena melihat banyak contoh perilaku serupa di sekitar mereka. Dalam jangka panjang, ini mengancam tatanan sosial dan moral bangsa.

Salah satu problem mendasar pendidikan kita ialah fragmentasi nilai. Setiap lembaga berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi makna. Sekolah mengajarkan kejujuran, tetapi di rumah anak melihat ketidakjujuran. Pesantren menanamkan kesederhanaan, tetapi di media sosial anak disuguhi budaya pamer dan konsumtif.

Fragmentasi ini menyebabkan kebingungan moral (moral confusion). Anak tidak tahu mana nilai yang harus dipegang, karena pesan yang diterimanya kontradiktif. Maka, yang dibutuhkan bukan sekadar pendidikan akhlak sebagai mata pelajaran, tetapi model pendidikan akhlak kolaboratif dimana sekolah, keluarga, dan pesantren membangun nilai bersama melalui keteladanan, pembiasaan, dan komunikasi berkelanjutan.

Langkah pertama adalah membangun kesadaran bersama bahwa pendidikan akhlak bukan tanggung jawab satu pihak. Sekolah perlu membuka ruang kolaborasi

 

dengan keluarga dan lembaga keagamaan. Misalnya, melalui parent meeting yang bukan hanya membahas nilai rapor, tetapi juga perilaku dan karakter anak di rumah.

Keluarga juga perlu memosisikan diri sebagai mitra pendidikan, bukan sekadar pihak yang menyerahkan anak ke sekolah. Ketika sekolah melaksanakan program pembiasaan religius, keluarga harus mendukung dengan teladan di rumah. Sementara pesantren bisa mengambil peran strategis sebagai mitra pembinaan karakter di sekolah. Program seperti pesantren kilat, kegiatan tahsin dan tahfiz bersama kiai, atau kajian akhlak mingguan dapat menjadi jembatan antara dunia pesantren dan sekolah umum. Selain itu, pemerintah daerah dan kementerian terkait perlu memberikan ruang kebijakan bagi penguatan pendidikan berbasis kolaborasi ini. Model Sekolah Berbasis Pesantren yang mulai dikembangkan di beberapa daerah patut menjadi inspirasi.

Dalam perspektif Islam, pendidikan bukan hanya proses mencerdaskan, tetapi juga menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs). Allah SWT berfirman:

قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّٰىهَا ۝ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّٰىهَا

Artinya: Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya (QS. Asy-Syams: 9-10).

Ayat ini menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan diukur bukan dari nilai ujian, tetapi dari kebersihan hati dan perilaku. Oleh karena itu, sekolah dan pesantren harus bersama-sama menanamkan nilai-nilai tazkiyah dalam praktik pendidikan: keikhlasan, kesabaran, tanggung jawab, dan empati. Tasawuf dan pendidikan akhlak perlu dihidupkan kembali sebagai inti pendidikan Islam, bukan pelengkap. Ketika hati dididik dengan benar, ilmu akan menjadi cahaya.

Beberapa sekolah di Indonesia telah mempraktikkan model pendidikan kolaboratif ini. Misalnya, sekolah yang bekerja sama dengan pesantren untuk program boarding school, atau sekolah umum yang memiliki kelas tahfiz dan pembinaan akhlak bersama ustaz pesantren. Model ini terbukti mampu membentuk karakter religius tanpa mengorbankan prestasi akademik. Kuncinya adalah komunikasi lintas lembaga dan kesamaan visi: membentuk manusia yang cerdas sekaligus berakhlak.

Di sisi lain, pesantren pun mulai membuka diri terhadap inovasi pendidikan modern. Banyak pesantren yang kini mengintegrasikan kurikulum umum dan teknologi

 

digital tanpa meninggalkan ruh spiritualnya. Inilah bukti bahwa sinergi bisa berjalan dua arah: pesantren menguatkan nilai, sekolah memperkuat ilmu. Pendidikan sejati tidak hanya mengisi kepala, tetapi juga membentuk hati. Sekolah, keluarga, dan pesantren harus kembali bersatu dalam misi luhur ini. Pendidikan akhlak tidak akan berhasil jika hanya diajarkan di ruang kelas, tetapi harus dihidupkan di rumah dan diamalkan di lingkungan sosial.

Jika sekolah menjadi sumber ilmu, keluarga menjadi tempat cinta, dan pesantren menjadi penjaga nilai, maka kita akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan kokoh secara spiritual. Pendidikan sejatinya bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter, pembiasaan sikap, dan penanaman nilai-nilai luhur kehidupan. Sinergi antara tiga pilar utama sekolah, keluarga, dan pesantren merupakan fondasi penting bagi lahirnya manusia seutuhnya.

Sebaliknya, jika ketiganya berjalan sendiri-sendiri, kita hanya mencetak individu yang pintar tetapi kehilangan nurani dan arah kehidupan. Mereka mungkin unggul dalam aspek akademik, tetapi rapuh secara moral, spiritual, dan sosial. Krisis moral yang muncul di tengah masyarakat saat ini menjadi bukti lemahnya integrasi pendidikan. Karena itu, kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan pesantren bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak dalam menghadapi tantangan global dan krisis karakter bangsa.

Pendidikan bukan proyek instan, melainkan proses panjang dan berkesinambungan. Dibutuhkan kesatuan visi, komitmen, dan aksi nyata dari semua pihak untuk membentuk generasi berkarakter. Sekolah menanamkan ilmu, keluarga menguatkan kasih sayang, dan pesantren membingkai dengan nilai spiritual. Ketika ketiganya bersatu, terbentuklah generasi yang cerdas, berhati lembut, berakhlak kuat, dan memiliki kepedulian sosial tinggi. Mereka bukan hanya siap bersaing secara global, tetapi juga siap menjadi pemimpin yang membawa cahaya kebaikan.

Sinergi ini akan melahirkan lingkungan pendidikan yang harmonis dan konsisten, menjadi benteng moral dan spiritual bagi anak-anak bangsa. Inilah modal utama membangun peradaban yang bermartabat, tangguh, dan berkelanjutan. Pendidikan harus menjadi gerakan bersama, bukan kerja sepihak. Maka, memperkuat kolaborasi antara ilmu, cinta, dan nilai adalah kunci mencetak generasi unggul yang mampu menjadi penerang bagi masa depan bangsa dan umat manusia.

Leave a Reply