LIGA KORUPSI DAN PERAN AGAMA Oleh: Duski Samad

Artikel Tokoh147 Views

LIGA KORUPSI DAN PERAN AGAMA

Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol

 

Ramadhan yang tenang dan menjadi bulan umat Islam khusyuk dalam menjalankan puasa dan mengerakkan solidaritas sosial, dikejutkan oleh berita mega korupsi BUMN Pertamina dengan angka fantatis 193, 7 triliyun selama lima tahun terakhir, yang kalau dijumlahkan mendekati angka 1000 triliyun, luar biasa besarnya.

Menyebut pentingnya peran agama ada hubungkaitnya dengan prilaku korupsi adalah kenyataan pahit yang tak mudah diperbaiki. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penduduk (termasuk pejabat) di negeri ini adalah umat beragama dan menyatakan pentingnya keberadaan agama dalam semua lini kehidupan. Ada penelitian yang melaporkan hanya 2 (dua) persen penduduk yang menyatakan agama tidak berperan penting. Maka beralasan kegelisahan tokoh agama terhadap maraknya korupsi di negeri yang Berketuhanan Yang Maha Esa ini.

Tanggapan masyarakat, khususnya nitizen yang mentweet sampai 1,2 juta orang begitu gerah dan ada yang membuat daftar korupsi besar di Indonesia sejak tahun 2017 dengan judul LIGA KORUPSI. “Liga Korupsi” adalah istilah sindiran yang digunakan oleh netizen di Indonesia untuk menggambarkan maraknya kasus korupsi di berbagai lembaga pemerintahan, politik, dan institusi lainnya. Istilah ini mencerminkan anggapan bahwa korupsi di Indonesia sudah seperti “kompetisi” yang sistematis, di mana banyak pejabat atau elite politik terlibat seolah-olah mereka bagian dari sebuah liga atau turnamen. Netizen menggunakan istilah ini di media sosial untuk mengkritik kasus-kasus korupsi yang terus berulang, terutama ketika ada pejabat yang tertangkap, dihukum ringan, atau bahkan tetap memiliki pengaruh politik setelah terlibat dalam korupsi.

Reaksi pejabat terhadap istilah “Liga Korupsi” beragam, tergantung pada posisi dan kepentingan mereka. Pejabat antikorupsi dan reformis biasanya mereka mengakui bahwa korupsi masih menjadi masalah besar dan menjadikannya sebagai bahan introspeksi. Mereka bisa saja menggunakan istilah ini untuk menunjukkan komitmen mereka dalam memberantas korupsi. Pejabat netral atau hati-hati. Beberapa pejabat mungkin menghindari menanggapi secara langsung karena takut menyinggung rekan-rekan mereka atau menciptakan kontroversi politik. Pejabat yang merasa tersinggung.

Ada juga pejabat yang merasa istilah ini berlebihan atau mencoreng citra pemerintahan. Mereka mungkin membantah atau menganggapnya sebagai upaya untuk mendiskreditkan pemerintah. Pejabat yang terlibat kasus korupsi biasanya mereka menghindari pembahasan ini, membantah keterlibatan mereka, atau bahkan menganggap istilah tersebut sebagai bagian dari politisasi kasus hukum.

Secara umum, istilah ini menekan para pejabat untuk lebih serius dalam menangani korupsi, meskipun respons mereka sering kali bervariasi tergantung pada posisi dan kepentingan politik masing-masing.

Pandangan ilmuwan dan masyarakat sipil terhadap istilah “Liga Korupsi” umumnya kritis dan reflektif, dengan beberapa perspektif. Ilmuwan dan akademisi menyatakan bahawa korupsi sudah sistemik. Banyak ilmuwan melihat “Liga Korupsi” sebagai simbol dari korupsi yang sudah mengakar secara sistemik di berbagai sektor pemerintahan dan politik. Mereka meneliti bagaimana korupsi ini bertahan dan berkembang seperti jaringan yang saling melindungi.

Realitas ini menunjukkan legitimasi politik yang melemah. Istilah ini mencerminkan krisis kepercayaan publik terhadap pejabat dan institusi negara. Para akademisi sering menyoroti bahwa tanpa reformasi serius, kepercayaan terhadap pemerintah akan terus menurun. Tidak sedikit pengamat bersuara lantang bahwa liga korupsi menimbulkan dampak sosial dan ekonomi. Ilmuwan ekonomi dan hukum juga mengaitkan fenomena ini dengan kemiskinan, ketimpangan sosial, dan lambatnya pembangunan akibat anggaran yang diselewengkan.

Masyarakat sipil dan aktivis antikorupsi menegaskan bahwa istilah liga korupsi adalah sindiran kritis, Masyarakat menggunakan istilah “Liga Korupsi” sebagai bentuk perlawanan dan kritik sosial terhadap para pejabat yang korup. Ini menjadi bagian dari cara mereka menyuarakan ketidakpuasan. Pernyataan itu juga sebagai tuntutan transparansi dan reformasi, Banyak kelompok sipil menuntut penegakan hukum yang lebih tegas, transparansi anggaran, dan reformasi birokrasi agar “liga” ini bisa dibubarkan.

Sebagian masyarakat justru menjadi apatis karena merasa korupsi sudah terlalu kuat dan sulit diberantas, terutama jika hukuman bagi koruptor masih ringan. Secara keseluruhan, baik ilmuwan maupun masyarakat sipil melihat “Liga Korupsi” sebagai cermin kegagalan penegakan hukum dan tanda bahwa korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia.

Sudah ribuan seminar dan penelitian bagaimana menghentikan korupsi di Indonesia, namun justru yang terjadi semangkin marak, bahkan sepertinya kompetensi dikalangan pejabat yang diamanahi mengelola uang negara, milik rakyat. Meskipun demikian ikhitiar dan kerja cerdas untuk menghentikan maraknya korupsi di Indonesia tetap harus dilakukan walau membutuhkan strategi yang komprehensif dan berkelanjutan.

Beberapa strategi efektif yang bisa diterapkan di antara reformasi hhukumdan penegakan hukum yang tegas. Hukuman berat efektif dengan meningkatkan hukuman bagi koruptor, termasuk hukuman minimal yang lebih berat, denda besar, dan penyitaan aset. Tidak Ada Remisi untuk Koruptor. Menghapus pengurangan masa hukuman bagi pelaku korupsi agar ada efek jera. Penguatan KPK dan Lembaga Hukum.

Memastikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian bebas dari intervensi politik dan tetap independen. Transparansi dan digitalisasi pemerintahan melalui E-Government semua transaksi, anggaran, dan pengadaan barang/jasa dilakukan secara digital untuk mengurangi celah korupsi. Audit Publik Terbuka. Masyarakat harus bisa mengakses laporan keuangan pemerintah secara real-time untuk mencegah manipulasi anggaran. Perlindungan Whistleblower. Memberikan perlindungan kepada pelapor korupsi agar tidak takut mengungkap kasus.

Reformasi Politik dan Pemilu. Pendanaan kampanye yang transparan dan mencegah politik uang dengan mengatur ketat sumber dana kampanye. Sanksi Tegas bagi Partai dan Politisi Korup. Partai politik harus bertanggung jawab jika kadernya terbukti korupsi. Jika perlu, partai yang terlibat dalam banyak kasus bisa dibubarkan. Bersih-bersih Birokrasi. Memastikan hanya individu dengan rekam jejak bersih yang bisa menduduki jabatan publik.

Pendidikan dan Budaya Antikorupsi. Pendidikan Antikorupsi Sejak Dini. Menanamkan nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi di sekolah dan perguruan tinggi. Keteladanan dari Pemimpin. Para pejabat harus memberi contoh nyata dengan gaya hidup sederhana dan transparan. Gerakan Masyarakat Sipil. Mendorong keterlibatan masyarakat dalam mengawasi kebijakan dan penggunaan anggaran publik.

Penguatan Ekonomi dan Pengurangan Ketimpangan. Gaji dan Kesejahteraan yang Layak, Menyediakan gaji dan tunjangan yang cukup bagi PNS dan aparat hukum untuk mengurangi insentif melakukan korupsi. Kemudahan Berbisnis. Mengurangi birokrasi yang berbelit-belit agar tidak ada celah pungutan liar dan suap. Strategi ini harus dilakukan secara terpadu, konsisten, dan tanpa pandang bulu agar korupsi benar-benar bisa diberantas di Indonesia.

PERAN AGAMA MENCEGAH KORUPSI
Agama berperan sebagai benteng moral dalam pencegahan korupsi melalui pendidikan nilai-nilai kejujuran, kontrol sosial, kepemimpinan yang berintegritas, dan sistem kesejahteraan yang adil. Namun, agar efektif, ajaran agama harus diterapkan secara nyata dalam kehidupan sosial, bukan hanya sebatas retorika. Agama memiliki peran penting dalam mencegah dan memberantas korupsi, terutama dalam membentuk moral individu, etika sosial, dan sistem hukum yang berkeadilan.

Berikut beberapa peran utama agama dalam upaya antikorupsi menanamkan nilai-nilai moral dan ntegritas. Kejujuran dan Amanah. Semua agama mengajarkan pentingnya kejujuran, tanggung jawab, dan amanah dalam menjalankan tugas, terutama bagi pejabat dan pemimpin. Dosa dan Akibat di Akhirat. Keyakinan bahwa korupsi adalah perbuatan dosa dan akan mendapat balasan di dunia maupun akhirat bisa menjadi faktor pencegah bagi individu yang religius. Sikap Sederhana: Ajaran untuk tidak hidup berlebihan dan tidak serakah bisa mengurangi godaan untuk melakukan korupsi.
Kontrol Sosial oleh Tokoh Agama dan Masyarakat.

Khotbah dan Ceramah Antikorupsi. Pemuka agama bisa menggunakan mimbar untuk menyampaikan pesan moral tentang bahaya dan dampak buruk korupsi. Fatwa dan Hukum Keagamaan. Di beberapa negara, fatwa atau keputusan keagamaan bisa menjadi dasar untuk menolak atau melawan praktik korupsi. Peran Komunitas Keagamaan. Kelompok keagamaan dapat berperan aktif dalam mengawasi pemerintahan dan menekan pejabat agar tidak melakukan korupsi.

Pendidikan dan Kesadaran Publik. Pendidikan Agama Sejak Dini. Mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab di sekolah-sekolah berbasis agama dapat menciptakan generasi yang lebih bersih dari korupsi. Gerakan Sosial Berbasis Agama. Banyak organisasi berbasis keagamaan yang aktif dalam kampanye antikorupsi dan mendorong transparansi dalam pemerintahan.

Mendorong Kepemimpinan yang Bersih dan Adil. Pemimpin yang Bertakwa dan Berintegritas. Agama mengajarkan bahwa pemimpin harus bertanggung jawab kepada rakyat dan Tuhan, sehingga diharapkan mereka lebih berhati-hati dalam bertindak. Doa dan Spiritualitas. Kesadaran bahwa segala tindakan diawasi oleh Tuhan dapat menjadi rem bagi individu agar tidak tergoda melakukan korupsi.

Membangun Sistem Sosial dan Ekonomi yang Adil. Kesejahteraan dan Kepedulian Sosial. Agama mendorong pemerataan kesejahteraan dan kepedulian terhadap kaum miskin, sehingga menekan alasan ekonomi sebagai pemicu korupsi. Zakat dan Filantropi. Sistem zakat, infaq, dan sedekah dalam Islam, serta ajaran amal dalam agama lain, mengajarkan bahwa kekayaan harus digunakan dengan cara yang benar dan bermanfaat bagi masyarakat.

AGAMA LEGITIMASI POLITIK, MORAL INTERNAL
Agama sebagai motor pergerakkan anti korupsi sulit berperan karena agama hanya sebatas legitimasi politik dan tidak menjadi moral internal. Agama sebagai legitimasi sosial politik merujuk pada peran agama dalam memberikan justifikasi atau pembenaran terhadap kekuasaan, kebijakan, dan tatanan sosial dalam suatu masyarakat. Agama digunakan sebagai alat untuk memperoleh, mempertahankan, atau memperkuat otoritas politik dan sosial.

Wujud agama sebagai legitimasi sosial-politik paling tampak sebagai legitimasi kekuasaan pemerintah. Pemimpin mengklaim mandat ilahi atau restu agama untuk memperkuat otoritasnya. Contoh: Raja-raja di masa lalu mengklaim “hak ilahi” (divine right) atau dalam Islam konsep “Ulil Amri” sebagai dasar kepatuhan rakyat.
Pada negara yang menjadi agama sebagai ligitimasi politik adalah menjadik hukum dan kebijakan sering berbasis agama.

Negara menggunakan ajaran agama untuk mendukung kebijakan tertentu. Contoh: Implementasi syariat Islam di beberapa negara atau hukum berbasis nilai-nilai agama tertentu. Mobilisasi Massa dimana kelompok politik menggunakan simbol dan retorika agama untuk mendapatkan dukungan. Contoh: Kampanye politik dengan narasi jihad atau kesalehan pemimpin sebagai alat mendapatkan suara.

Pengendalian Sosial. Agama dijadikan alat untuk menanamkan norma dan nilai yang mendukung stabilitas sosial dan politik. Contoh: Doktrin “ketaatan kepada pemimpin adalah bagian dari iman” untuk meredam kritik terhadap penguasa. Pelembagaan dalam struktur negara. Agama diinstitusionalisasikan dalam sistem politik, misalnya dalam konstitusi atau kebijakan negara. Contoh: Negara dengan agama resmi yang menentukan kebijakan berdasarkan ajaran agama tersebut.

Namun, jika agama hanya menjadi alat legitimasi tanpa internalisasi nilai moralnya, maka bisa muncul hipokrisi politik, (munafiq) di mana agama hanya dipakai untuk kepentingan kekuasaan tanpa benar-benar mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Pandangan terhadap agama sebagai legitimasi sosial-politik bervariasi tergantung pada perspektif nash (dalil agama), fatwa ulama, dan akademisi. Dalam Islam, agama dan politik sering kali dikaitkan, tetapi dengan syarat bahwa kekuasaan harus dijalankan secara adil dan sesuai dengan prinsip moral Islam. QS. An-Nisa’ (4:58): “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.” Ayat ini menekankan bahwa legitimasi kekuasaan harus berbasis amanah dan keadilan, bukan sekadar klaim agama. QS. Al-Maidah (5:8): “Janganlah kebencian suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa.” Penguasa yang menggunakan agama untuk kepentingan politik harus tetap berpegang pada keadilan, bukan manipulasi.

Dalam Hadis Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa pemimpin yang benar harus memiliki hubungan harmonis dengan rakyat, bukan hanya mengandalkan legitimasi agama tanpa kepemimpinan yang adil.

Para ulama memiliki berbagai pandangan terkait penggunaan agama dalam politik. Ulama klasik• Imam Al-Mawardi (Al-Ahkam As-Sulthaniyyah) menyatakan bahwa kekuasaan dalam Islam harus berdasarkan syura (musyawarah), keadilan, dan amanah. Agama bisa menjadi dasar legitimasi, tetapi pemimpin harus benar-benar menjalankan nilai Islam dalam kebijakannya. Ibnu Taimiyyah menyebut bahwa pemerintah yang sah adalah yang menerapkan keadilan, meskipun tidak menggunakan agama sebagai dasar utama. Sebaliknya, jika agama hanya dijadikan alat politik tanpa keadilan, itu adalah penyimpangan.

Ulama Kontemporer Syekh Yusuf Al-Qaradawi menyatakan bahwa agama boleh menjadi dasar politik, tetapi tidak boleh dipolitisasi untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Syekh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa Islam harus menjadi sumber etika politik, bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan. Ali Abdul Raziq (Mesir, 1925) dalam bukunya Al-Islam wa Usul Al-Hukm, berpendapat bahwa agama tidak seharusnya menjadi alat politik. Menurutnya, kepemimpinan Nabi Muhammad ﷺ bersifat spiritual, bukan politis dalam arti kekuasaan absolut. Mohammad Arkoun, mengkritik penggunaan agama sebagai alat legitimasi politik dan menyebutnya sebagai “ideologisasi agama”, di mana agama digunakan untuk kepentingan elit penguasa, bukan untuk kemaslahatan umat. Karen Armstrong menulis sejarah menunjukkan bahwa agama sering digunakan oleh penguasa untuk memperoleh legitimasi, tetapi pada saat yang sama, banyak gerakan sosial keagamaan juga berjuang melawan ketidakadilan politik yang mengatasnamakan agama.

AGAMA SISTIM MORAL INTERNAL
Agama bukan sekadar alat legitimasi sosial-politik, tetapi lebih kepada internalisasi nilai moral yang membentuk karakter individu dan masyarakat. Agama harus menjadi sumber etika, kejujuran, keadilan, dan kasih sayang, bukan sekadar alat kekuasaan. QS. Al-Baqarah (2:177). Ini menunjukkan bahwa agama harus diterapkan dalam bentuk amal nyata, bukan hanya simbolisme politik. Hadis Nabi ﷺ: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad). Nabi menegaskan bahwa tujuan utama agama adalah pembentukan akhlak, bukan hanya sistem politik atau kekuasaan.

Para ulama menekankan bahwa agama harus membentuk moral individu dan masyarakat, bukan sekadar alat kekuasaan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, ia menekankan bahwa agama harus menciptakan kesadaran batiniah yang membentuk karakter manusia yang jujur, adil, dan penuh kasih sayang. Syekh Yusuf Al-Qaradawi menyatakan bahwa agama harus membentuk kesadaran moral individu, sehingga kebijakan politik pun berdasarkan kejujuran dan kesejahteraan umat, bukan kepentingan kelompok tertentu. Ibnu Taimiyyah mengajarkan bahwa keadilan adalah inti dari agama, dan penguasa yang menggunakan agama tetapi tidak adil tidak memiliki legitimasi sejati dalam Islam.

Akademisi Muhammad Iqbal berpendapat bahwa agama seharusnya membentuk manusia yang memiliki kesadaran moral tinggi, bukan sekadar alat kontrol sosial. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menulis agama harus menjadi inspirasi untuk membangun masyarakat yang berkeadilan, bukan dijadikan alat untuk memperkuat dominasi politik kelompok tertentu. Karen Armstrong mengkritik politisasi agama dan menekankan bahwa agama harus menjadi kekuatan yang membebaskan dan memuliakan manusia, bukan menindas dengan klaim legitimasi politik.

Strategi Menjadikan Agama sebagai Moral Internal. Agar agama tidak hanya menjadi alat politik, tetapi benar-benar membentuk kesadaran moral, diperlukan strategi Pendidikan Berbasis Nilai. Mengajarkan agama sebagai etika hidup, bukan hanya sebagai identitas kelompok atau alat politik. Madrasah dan pesantren harus lebih menekankan akhlak dan pemikiran kritis dalam memahami agama.

Pemimpin Berbasis Moral, Bukan Simbolisme Agama. Pemimpin yang dipilih harus memiliki integritas moral, bukan hanya citra religius. Umat perlu kritis terhadap pemimpin yang menggunakan agama hanya untuk kepentingan politik. Membangun Budaya Kejujuran dan Keadilan. Agama harus diwujudkan dalam kehidupan sosial melalui kejujuran, keadilan, dan kesejahteraan sosial. Hukum dan kebijakan harus berpihak pada kepentingan umum, bukan hanya kelompok tertentu yang mengklaim legitimasi agama.

Menjaga Independensi Ulama. Ulama tidak boleh menjadi alat politik, tetapi harus tetap kritis terhadap penguasa yang menyalahgunakan agama. Fatwa harus berbasis kebenaran dan keadilan, bukan kepentingan politik tertentu. Dakwah yang Mencerahkan, Bukan Memecah Belah. Menghindari dakwah yang menghasut dan memecah belah umat atas nama agama. Fokus pada ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan alat hegemoni politik.

Kesimpulan.
Fenomena “Liga Korupsi” menggambarkan betapa korupsi telah menjadi masalah sistemik di Indonesia, bahkan dianggap sebagai “kompetisi” di kalangan elite politik dan pejabat. Respons masyarakat terhadap maraknya korupsi menunjukkan keprihatinan yang mendalam, dengan tuntutan transparansi, penegakan hukum yang lebih tegas, serta reformasi birokrasi yang menyeluruh. Namun, di sisi lain, ada pula masyarakat yang mulai apatis karena melihat korupsi seolah sulit diberantas.

Dalam upaya pencegahan korupsi, agama seharusnya berperan sebagai benteng moral yang menanamkan nilai kejujuran, amanah, serta tanggung jawab. Agama dapat berkontribusi melalui pendidikan moral sejak dini, pengawasan sosial oleh tokoh agama, serta dorongan terhadap kepemimpinan yang berintegritas. Namun, dalam realitas politik, agama sering kali hanya dijadikan legitimasi sosial dan politik, bukan sebagai nilai moral internal yang benar-benar membentuk karakter pemimpin dan masyarakat.

Oleh karena itu, perlu strategi komprehensif untuk menjadikan agama sebagai sistem moral yang benar-benar tertanam dalam kehidupan sosial dan politik, bukan hanya alat untuk meraih kekuasaan. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkuat pendidikan berbasis nilai, memastikan pemimpin memiliki integritas moral, membangun budaya kejujuran dan keadilan, serta menjaga independensi ulama agar tidak terjebak dalam kepentingan politik semata. Dengan demikian, agama bisa menjadi kekuatan nyata dalam pemberantasan korupsi, bukan sekadar simbol atau retorika politik.DS. 06032025