Manten Sapi di Pasuruan: Tradisi unik yang memadukan penghormatan dan keikhlasan sebelum dikurbankan

Manten Sapi di Pasuruan: Tradisi unik yang memadukan penghormatan dan keikhlasan
sebelum dikurbankan

Oleh Rehanda Galih Aprilio

Mahasiswa Perbankan UIN Imam Bonjol Padang

Di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, setiap menjelang Idul Adha, udara dipenuhi oleh
semangat religius yang berpadu dengan kearifan lokal melalui tradisi Manten Sapi. Layaknya
pengantin yang dimuliakan, sapi-sapi kurban dimandikan dengan air bunga, dihiasi rangkaian janur
keemasan, dan dibalut kain lurik berwarna cerah sebelum diarak keliling desa. Ritual ini bukan
sekadar persiapan kurban, melainkan bentuk penghormatan yang mendalam terhadap hewan yang
akan menjadi perantara manusia dalam menapaki jalan ketulusan dan keikhlasan. Tradisi ini telah
bertahan puluhan tahun, bahkan menjadi daya tarik wisata religi yang mendatangkan ribuan
pengunjung tiap tahun. Data Dinas Peternakan Pasuruan mencatat, pada 2023, sekitar 70% dari
1.200 ekor sapi kurban di wilayah ini menjalani prosesi Manten Sapi, menunjukkan bahwa ritual ini
masih mengakar kuat dalam budaya lokal.
Akar filosofi Manten Sapi tak terpisahkan dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, yang menjadi
inti ibadah Idul Adha. Dalam Al-Qur’an (QS. As-Saffat: 102-107), Ibrahim diperintahkan Allah untuk
mengorbankan putra tercintanya sebagai ujian keimanan. Dengan hati yang hancur namun penuh
kepasrahan, Ibrahim bersedia melakukannya, sementara Ismail menerima takdir dengan keteguhan
luar biasa. Saat pisau hendak menyentuh leher sang anak, Allah menggantinya dengan seekor
domba, mengajarkan bahwa pengorbanan sejati bukan terletak pada darah yang tumpah, melainkan
pada keikhlasan hati yang tak tergoyahkan. Di Pasuruan, nilai-nilai ini dihidupkan melalui Manten
Sapi. Masyarakat percaya bahwa merawat hewan kurban dengan penuh kasih sebelum disembelih
adalah cara meneladani kepasrahan Ibrahim dan Ismail. Ritual ini menjadi simbol bahwa
pengorbanan harus dilandasi penghormatan, bukan sekadar pemenuhan kewajiban.
Prosesi Manten Sapi dimulai seminggu sebelum raya Idul Adha. Sapi-sapi dipilih berdasarkan
kesehatan dan kesempurnaan fisik, lalu dimandikan dengan air yang dicampur bunga melati dan
kenanga, ritual yang diyakini membersihkan jiwa hewan sekaligus memuliakan perannya sebagai
media ibadah. Sapi dibalut dengan sajadah, surban ataupun kain kafan, sementara kepala dihiasi
mahkota anyaman daun kelapa yang rumit. Setelah didoakan, hewan-hewan itu diarak keliling desa
diiringi alunan gamelan dan tarian jaranan, suasana yang tercipta terasa khidmat sekaligus meriah.
Arak-arakan ini bukan hanya sekedar tontonan, melainkan refleksi syukur atas rezeki sekaligus
pengingat bahwa setiap pengorbanan harus lahir dari niat yang tulus.
Dari sisi ekonomi, Manten Sapi turut menggerakkan roda perekonomian lokal. Dekorasi rumit
untuk setiap ekor sapi melibatkan puluhan pengrajin anyaman, penjual bunga, dan musisi tradisional.
Badan Pusat Statistik (BPS) Pasuruan mencatat, pada 2023, total perputaran uang dari aktivitas ini
mencapai Rp2,5 miliar, angka yang signifikan bagi masyarakat yang sebagian besar bergantung pada
sektor pertanian. Namun, di balik angka-angka itu, tersimpan misi pelestarian budaya. Generasi
muda dilibatkan secara aktif dalam menyiapkan hiasan hingga memainkan alat musik, memastikan
warisan ini tak punah ditelan zaman.
Di tengah modernisasi yang kerap menggerus nilai tradisi, Manten Sapi justru menjadi
jembatan antara spiritualitas dan kearifan lokal. Ritual ini mengajarkan bahwa kurban bukanlah
sekadar aktivitas mekanis, melainkan perjalanan batin untuk mengasah empati dan keikhlasan.
Sebelum pisau menyentuh leher sapi, manusia diajak “menyembelih” keserakahan dan keegoisan
dalam dirinya, sebagaimana Ibrahim rela melepaskan keterikatan pada putra tercinta. Pesan ini
mengandung makna bahwa warga Pasuruan yang ikut dalam prosesi kurban merasa lebih
memahami dan mendalami makna dari Idul Adha. Bagi mereka, kurban bukan lagi sekadar
kewajiban, tapi menjadi pengalaman spiritual yang menyentuh hati dan memperkuat iman.
Tradisi Manten Sapi juga terus berevolusi tanpa kehilangan esensinya. Dalam beberapa tahun
terakhir, muncul inisiatif menggunakan bahan dekorasi ramah lingkungan dan melibatkan dokter
hewan untuk memastikan kesejahteraan sapi selama prosesi. Adaptasi ini menunjukkan bahwa
kearifan lokal bisa berjalan beriringan dengan cara berfikir modern, menciptakan harmoni antara
pelestarian budaya dan peduli terhadap linkungan. Meski kontribusi Pasuruan dalam jumlah hewan
kurban nasional terbilang kecil hanya sekitar 0,1% dari 1,2 juta ekor sapi yang dikurbankan di
Indonesia pada 2023 nilai yang diusungnya justru menjadi cermin kekayaan bangsa ini; kemampuan
memadukan agama, budaya, dan kemanusiaan dalam satu tarikan nafas yang harmonis.
Pada hakikatnya, Manten Sapi adalah cermin dari perjalanan spiritual masyarakat Pasuruan.
Di balik gemerlap hiasan dan gegap gempita arak-arakan, tersimpan pesan abadi: kurban sejati
adalah tentang keikhlasan, pengorbanan ego, dan pengakuan bahwa segala sesuatu di dunia ini
hanyalah titipan. Seperti kisah Ibrahim yang rela melepaskan Ismail, atau sapi yang dihormati sebelum
disembelih, tradisi ini mengajarkan bahwa ketulusan adalah inti dari setiap pengorbanan. Dalam
dentuman takbir yang menggema, Pasuruan tak hanya menyajikan budaya, tetapi juga mengajak
setiap orang untuk merenungi makna terdalam dari Idul Adha, sejauh mana kita mampu menjadi
pribadi yang ikhlas, siap melepaskan apa pun demi nilai-nilai yang lebih mulia. Di sinilah Manten Sapi
menemukan relevansinya sebagai ritual yang tak hanya menghubungkan masa lalu dan masa kini,
tetapi juga membimbing manusia menuju hakikat pengorbanan yang sesungguhnya.

Leave a Reply