MARAPULAI KAJI DAN MAANGKEK TUANKU Oleh: Duski Samad

MARAPULAI KAJI DAN MAANGKEK TUANKU

Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol

 

Sejarah dan Makna Upacara Penghormatan Kaji dalam Tradisi Surau Mengaji Duduk di Minangkabau

A. Latar Sejarah Tradisi Mengaji Duduk di Minangkabau

Tradisi mengaji duduk di Minangkabau merupakan bentuk pengajaran Islam klasik yang tumbuh sejak abad ke-17, seiring berkembangnya surau sebagai pusat pendidikan Islam tradisional. Salah satu pelopornya adalah Syekh Burhanuddin Ulakan, ulama besar yang membawa paham tasawuf dan ilmu fikih dari Aceh dan Makkah ke Minangkabau.

Surau menjadi tempat: Tafaqquh fiddin (pendalaman agama).
Pembentukan akhlak dan adab.
Penguatan solidaritas komunitas Islam
Sistem pengajian dilakukan dengan talaqqi (membaca kitab kuning bersama guru), duduk berbanjar, dan berlangsung bertahun-tahun. Ketika seorang murid selesai mempelajari suatu kitab atau rangkaian kajian, maka diadakan upacara penghormatan kaji, sebagai bentuk syukur dan penghormatan terhadap ilmu dan guru.

B. Makna Upacara Penghormatan Kaji.
“Penghormatan kaji” atau dalam istilah lokal disebut “marapulai” atau “menghormati kaji”, memiliki makna yang dalam dalam tradisi pendidikan Islam Minangkabau:

1.Simbol Tuntasnya Proses Menuntut Ilmu.
Dilaksanakan setelah murid menyelesaikan satu atau beberapa kitab penting seperti Matn Taqrib, Jurumiyah, Minhaj, Tafsir Jalalain, dsb.

Menandai bahwa si murid telah diijazahkan atau diberikan restu keilmuan oleh gurunya.

2.Wujud Adab dan Ta’dzim terhadap Guru. Murid dan orang tua mengadakan penghormatan sebagai wujud syukur kepada Allah dan penghargaan kepada guru.

Sering kali disertai dengan makan bersama, pemberian kain, sirih, atau kain sarung kepada guru.

3.Menjaga Rantai Sanad Ilmu.
Guru akan mengijazahkan sanad atau silsilah keilmuan dari ulama sebelumnya sampai Rasulullah SAW.

Ini memperkuat aspek otoritas keilmuan dan keberkahan.

4.Penguatan Identitas Komunitas Islam Tradisional
Upacara ini mengikat komunitas surau dalam solidaritas budaya Islam.

Menghidupkan nilai “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”

C. Bentuk dan Rangkaian Acara Penghormatan Kaji
Umumnya melibatkan beberapa unsur berikut:

1.Pembacaan al-Qur’an dan Shalawat

2.Ijazah kitab oleh guru

3.Pemberian kain dan sirih kepada guru

4.Ceramah atau nasihat agama

5.Penyampaian rasa syukur oleh keluarga murid

6.Jamuan makan (aleh-aleh/bajamba)

Acara ini berlangsung khidmat dan sakral, menjadi momen penting dalam kehidupan religius santri dan keluarga.

D. Nilai-nilai Edukatif dan Sosio-Kultural

1.Adab dan akhlak terhadap ilmu dan guru.

2.Syukur atas nikmat ilmu

3.Melestarikan tradisi keulamaan

4.Membangun jaringan sosial keislaman

5.Menghindari sikap instan dan tidak bertanggung jawab dalam menuntut ilmu.

Penghormatan kaji bukan sekadar seremoni kelulusan, tetapi sebuah ritual sakral yang memperlihatkan kedalaman budaya Islam Minangkabau dalam memuliakan ilmu dan guru. Dalam arus modernisasi, upacara ini tetap relevan sebagai penanda jati diri dan warisan spiritual masyarakat Minangkabau.

PENOBATAN “TUANKU”
Dalam Tradisi Surau Mengaji Duduk Minangkabau

A. Sejarah Gelar “Tuanku” di Minangkabau

1.Asal-usul Gelar
Gelar “Tuanku” berasal dari istilah kehormatan dalam budaya Melayu dan Islam.

Di Minangkabau, gelar ini melekat pada ulama besar atau guru surau yang memiliki kewibawaan keilmuan dan spiritualitas tinggi.

2.Bermula dari Syekh Burhanuddin Ulakan.
Para murid beliau menyebarkan ilmu dan membentuk jaringan surau, dengan struktur guru dan murid yang kuat.

Guru-guru utama ini kemudian dipanggil Tuanku, sebagai bentuk ta’dzim (penghormatan) dan pengakuan otoritas agama.

3.Dilembagakan dalam Tradisi Surau.
Sejak abad ke-18, gelar “Tuanku” menjadi simbol pengakuan terhadap guru utama surau yang telah mencapai maqam tertentu dalam keilmuan (faqih) dan spiritual (tasawuf).

B. Syarat dan Proses Penobatan Gelar “Tuanku”.

1.Kriteria Penerima Gelar. Tamat mengaji sejumlah kitab pokok (tafsir, fikih, nahwu, tasawuf).

Telah mengabdi dan mendidik murid dalam waktu tertentu.

Memiliki adab, wibawa, dan pengakuan dari guru sebelumnya dan masyarakat.

2.Proses Penobatan
Dilakukan oleh guru mursyid atau sesepuh surau.

Ada upacara khusus, biasanya bersamaan dengan ijazah keilmuan dan bai’at thariqat.

Disaksikan oleh khalayak, ulama, ninik mamak, dan masyarakat sekitar.

3.Simbolik Penobatan
Pemberian sorban/tengkuluk, tongkat, atau kitab.

Pembacaan sanad keilmuan dan pengukuhan gelar “Tuanku” di depan jamaah.

C. Makna Filosofis Gelar “Tuanku”
1.Simbol Kepemimpinan Spiritual.
Tuanku bukan hanya guru, tapi juga mursyid, hakim moral, dan penunjuk jalan (murabbi).

2.Penanggung Jawab Warisan Ilmu
Menjadi pengemban amanah keilmuan dan adab surau.

Bertugas meneruskan sanad keilmuan dari guru-guru terdahulu.

3.Tokoh Sentral Surau dan Nagari.
Di banyak nagari, Tuanku berperan sebagai pemersatu dan pengarah spiritual masyarakat, beriring dengan penghulu adat.

D. Relevansi Gelar Tuanku di Era Kini
1.Menghidupkan kembali nilai otoritas keulamaan yang beradab.

2.Menjadi penguat karakter dan kepemimpinan moral masyarakat.

3.Menjaga kesinambungan pendidikan Islam berbasis surau.

Penutup
Penobatan gelar Tuanku bukan sekadar formalitas, tapi merupakan pengakuan terhadap ilmu, adab, dan tanggung jawab dalam tradisi keulamaan Minangkabau. Dalam kerangka “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, gelar ini adalah mahkota mulia yang hanya layak disandang oleh mereka yang lulus dari madrasah adab, ilmu, dan pengabdian.

Marapulai Kaji (penghormatan kaji) dan Maangkek Tuanku (penobatan gelar Tuanku) adalah dua tradisi penting dalam sistem pendidikan Islam klasik di Minangkabau yang berpusat di surau. Kedua upacara ini mencerminkan penghormatan mendalam terhadap ilmu, guru, dan kesinambungan tradisi keulamaan.
Marapulai Kaji adalah upacara syukur dan penghormatan yang menandai selesainya seorang murid menuntut ilmu atau mempelajari kitab tertentu.

Tradisi ini dimulai sejak abad ke-17 dengan berkembangnya surau sebagai pusat pendidikan Islam di Minangkabau, dipelopori oleh Syekh Burhanuddin Ulakan. Upacara ini bukan hanya seremoni kelulusan, melainkan juga simbol tuntasnya proses menuntut ilmu, wujud adab dan takzim murid kepada guru, serta upaya menjaga rantai sanad keilmuan. Melalui upacara ini, identitas komunitas Islam tradisional semakin diperkuat, sekaligus menegaskan nilai-nilai edukatif dan sosio-kultural seperti adab, syukur, dan kelestarian tradisi keulamaan.

Maangkek Tuanku adalah proses penobatan gelar kehormatan “Tuanku” kepada ulama besar atau guru surau yang memiliki kewibawaan keilmuan dan spiritualitas tinggi. Gelar ini bermula dari murid-murid Syekh Burhanuddin Ulakan dan dilembagakan dalam tradisi surau sebagai pengakuan terhadap guru utama yang telah mencapai maqam tertentu dalam keilmuan dan tasawuf. Proses penobatan ini memiliki kriteria ketat dan dilakukan melalui upacara khusus. Gelar “Tuanku” memiliki makna filosofis sebagai simbol kepemimpinan spiritual, penanggung jawab warisan ilmu, dan tokoh sentral di surau serta nagari (desa).

Di era modern, gelar ini tetap relevan untuk menghidupkan kembali otoritas keulamaan yang beradab dan menjaga kesinambungan pendidikan Islam berbasis surau.
Secara keseluruhan, kedua tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Minangkabau sangat menghargai dan memuliakan ilmu pengetahuan serta para penyebarnya, menjadikannya bagian integral dari identitas dan warisan spiritual mereka. DS. 19062025. PPMTI Batangkabung padang.

Leave a Reply