MAULID SPIRIT KETANGGUHAN

MAULID SPIRIT KETANGGUHAN

Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang

 

 

Perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ merupakan tradisi keagamaan yang tidak hanya bernilai historis, tetapi juga mengandung makna spiritual, sosial, dan moral bagi umat Islam. Maulid adalah momentum untuk meneguhkan kembali komitmen keislaman, memperdalam kecintaan kepada Rasulullah, dan memperkuat ketangguhan umat dalam menghadapi tantangan zaman.

Dalam Al-Qur’an, spirit ketangguhan iman telah dicontohkan oleh komunitas beriman terdahulu. QS. Āli ‘Imrān: 53–54 menjadi salah satu rujukan penting untuk memahami bagaimana doa, komitmen, dan keteguhan kaum beriman berhadapan dengan makar dan tantangan dari kelompok penentang agama Allah.

Makna ayat tersebut memiliki spirit ketangguhan yang relevan dengan peringatan Maulid Nabi.

2.Landasan Teologis
Dalam al- Qur’an Ayat 53:”Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan, dan kami telah mengikuti Rasul; karena itu catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Tauhid-Mu).”

Menurut al-Ṭabarī, ayat ini adalah doa kaum hawāriyyūn (pengikut setia Nabi Isa ‘alaihissalām) yang menunjukkan kepatuhan penuh pada wahyu Allah dan kesetiaan mengikuti rasul-Nya, sehingga mereka memohon agar digolongkan bersama orang-orang yang bersaksi atas kebenaran^1.

Ibn Kathīr menegaskan bahwa saksi yang dimaksud adalah umat yang kelak bersaksi atas risalah para nabi di hadapan Allah, termasuk umat Nabi Muhammad saw.2.

Dalam ayat 54:”Maka orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka; dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” Menurut Ibn Kathīr, ayat ini merujuk pada makar kaum Yahudi yang berusaha membunuh Nabi Isa, tetapi Allah menyelamatkannya dan menggagalkan tipu daya mereka^3.

Tafsir kontemporer seperti M. Quraish Shihab memaknai ayat ini secara universal, yakni bahwa setiap makar manusia terhadap kebenaran tidak akan pernah mampu mengalahkan rencana Allah yang Maha Mengatur^4.
Spirit Ketangguhan
Perayaan Maulid dapat dibaca dalam bingkai ayat ini sebagai upaya menumbuhkan ketangguhan spiritual, moral, dan sosial.

Ketangguhan Spiritual
Maulid menghidupkan kembali doa kaum beriman dalam QS. Āli ‘Imrān: 53. Spirit ini mendorong umat untuk tidak hanya merayakan kelahiran Nabi, tetapi juga mempertebal iman, menegakkan tauhid, dan menegaskan kesetiaan kepada sunnah Rasulullah ﷺ.

Ketangguhan Moral
Rasulullah adalah figur akhlak agung (uswatun hasanah). Maulid menjadi sarana pembentukan karakter tangguh: jujur, sabar, istiqamah, dan berani menghadapi fitnah zaman. Dalam konteks ayat, hal ini selaras dengan keteladanan hawāriyyūn yang tetap setia kepada Nabi Isa meski menghadapi tekanan kaumnya.

Ketangguhan Sosial
Umat yang memperingati Maulid harus membangun solidaritas kolektif. Sebagaimana hawāriyyūn menjadi penolong agama Allah, umat Nabi Muhammad harus berperan sebagai agen penegak keadilan, pelindung kaum lemah, dan pembela nilai-nilai luhur.

Relevansi Kontemporer
Spirit Maulid dari QS. Āli ‘Imrān: 53–54 relevan dalam menghadapi tantangan modern:

Krisis iman dan moralitas. Maulid mengingatkan pentingnya iman kokoh dan akhlak mulia sebagai benteng menghadapi sekularisme dan hedonisme.

Disrupsi sosial dan politik. Maulid meneguhkan bahwa makar manusia tidak akan mengalahkan kehendak Allah; umat harus tetap optimis dalam perjuangan dakwah.

Fragmentasi umat. Maulid dapat menjadi ruang pemersatu, sebagaimana doa hawāriyyūn mempersatukan mereka sebagai saksi kebenaran.
Penutup
QS. Āli ‘Imrān: 53–54 menampilkan dua sisi penting ketangguhan: komitmen iman dan perlindungan Allah dari makar musuh. Peringatan Maulid Nabi seharusnya dimaknai bukan hanya sebagai tradisi seremonial, melainkan sebagai spirit ketangguhan umat: meneguhkan iman, memperkuat moral, dan membangun solidaritas sosial.
Dengan demikian, Maulid menjadi sarana memperbarui doa kaum beriman:
“Rabbanaa aamannaa bimaa anzalta wattaba‘nar-rasuula faktubnaa ma‘asy-syaahideen”
dan keyakinan bahwa Allah sebaik-baik perencana.

Penguatan
Konteks Teologis dan Historis

QS. Āli ‘Imrān: 53–54 menjadi fondasi bahwa ketangguhan iman adalah kunci menghadapi makar dan tantangan zaman. Doa kaum hawāriyyūn dalam ayat 53 memperlihatkan bahwa kesetiaan kepada risalah Allah harus disertai permohonan agar digolongkan sebagai saksi kebenaran. Spirit ini sejalan dengan peringatan Maulid Nabi, di mana umat Islam tidak cukup hanya merayakan, tetapi harus mempertebal komitmen sebagai syuhadā’ ‘ala an-nās (umat saksi bagi manusia).

Dimensi Ketangguhan dalam Maulid

Spiritual, meneguhkan iman dan tauhid, menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai pusat teladan, serta menghidupkan doa kolektif agar umat selalu berada dalam barisan saksi kebenaran.

Moral. Meneladani akhlak agung Nabi: jujur, sabar, istiqamah, penuh kasih sayang. Dalam era dekadensi moral, Maulid berfungsi sebagai momentum membangkitkan etos akhlak yang tangguh.

Sosial. Menggerakkan umat menjadi komunitas tangguh, berdaya, dan solid, seperti hawāriyyūn yang menolong agama Allah meski ditekan oleh makar lawan.

Relevansi Kontemporer
Menghadapi sekularisasi dan hedonisme. Maulid menegaskan benteng iman dan akhlak.

Menghadapi disrupsi sosial dan politik. Maulid menumbuhkan optimisme bahwa makar manusia tidak pernah mengalahkan rencana Allah.

Menghadapi fragmentasi umat. Maulid berpotensi menjadi titik temu persatuan umat, meneguhkan ukhuwah dan solidaritas kebangsaan.

Konklusi
Perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ sejatinya adalah ritual pembaruan ketangguhan. QS. Āli ‘Imrān: 53–54 memberi dua pesan inti:

Komitmen iman dan doa kolektif sebagai saksi kebenaran, sebagaimana kaum hawāriyyūn.

Keyakinan akan perlindungan Allah atas makar musuh, sebagaimana penyelamatan Nabi Isa dari tipu daya kaumnya.
Dengan demikian, Maulid tidak boleh berhenti pada dimensi seremonial, tetapi harus dimaknai sebagai spirit ketangguhan umat:

Menguatkan iman (spiritual resilience),
Meneguhkan akhlak (moral resilience),
Membangun solidaritas sosial (social resilience).

Maulid adalah momentum menegaskan kembali bahwa umat Islam harus tampil sebagai saksi kebenaran, penolong agama Allah, dan komunitas tangguh yang siap menghadapi tantangan zaman dengan iman, akhlak, dan persatuan.ds. 29082025.

Catatan Kaki
• Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl Āy al-Qur’ān, Juz 7 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), hlm. 378.
• Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 2 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1998), hlm. 51.
• Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 2, hlm. 52–53.
• M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 211–213.

Leave a Reply