MEMAKNAI KEMULIAAN MELALUI KERENDAHAN HATI MENGAKUI KETERBATASAN DAN MENSYUKURI RAHMAT ALLAH
Mohamad Fajar Nugraha
Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Falah
Di tengah gemuruh peradaban yang mengagungkan rasionalitas, manusia kerap lupa bahwa langit, bumi, bahkan nyamuk yang dianggap remeh pun bertasbih dalam bahasa yang tak terjamah akal. Dunia modern berkata: “Pengetahuan adalah kekuatan!” Tapi di balik mantra itu, tersembunyi pertanyaan yang menggugah: Jika semesta dan seluruh isinya dari partikel subatomik hingga galaksi tunduk pada harmoni ilahi, mengapa manusia, dengan segala keangkuhan intelektualnya, justru tersesat dalam ilusi kepastian?
Kesaksian Makhluk atas Kekuasaan Ilahi
Ketika seisi bumi dan langit di seluruh alam semesta bertasbih kepada-Nya (QS. Al-Hasyr [59]: 1), bahkan lebah sekalipun Allah berikan wahyu untuk membuat sarang di tempat-tempat tertentu (QS. An-Nahl [16]: 68), begitupun dengan setiap makhluk terkecil yang Allah ciptakan tak ada satu pun yang luput atas jaminan rezeki-Nya (QS. Hud [11]: 6). Apakah lantas dengan itu Allah malu mengumpamakan seekor nyamuk bahkan yang lebih kecil dari pada itu untuk menunjukan kepada manusia, bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Baqarah [2]: 26)
Lalu mengapa manusia yang telah Allah berikan akal dan hati tak mampu memahami bahwa hal itupun berlaku terhadap dirinya sendiri, bahkan ketika manusia dalam keadaan lupa dan durhaka, seluruh sel dalam anggota tubuhnya tak pernah berhenti bertasbih kepadanya. Kita mungkin bertanya apakah memang benar seperti itu? Mungkin perlu kita renungi kembali bahwa seluruh batas alat dan ilmu pengetahuan manusia takkan pernah mampu memahami jika suatu saat nanti, tangan dan kaki yang diamanahkan kepadanya berkata apa yang telah diperbuat oleh manusia, termasuk mata, telinga, hidung, bahkan sehelai ramput yang rontok ratusan bahkan ribuan kali, takkan pernah luput dari persaksian atas apa yang telah manusia lakukan ketika menggunakannya (QS. Yasin [36]: 65).
Perspektif Tentang Keterbatasan Manusia Memahami Realitas
Kalaupun jika seluruh teori yang pernah manusia rumuskan pada akhirnya itu akan mengantarkan mereka bahwa puncak dari pengetahuan adalah ketidaktahuan. Hal ini diungkap oleh berbagai bijaksanawan dalam menemukan kebenaran ditengah semua himpitan limitasi yang dimiliki manusia. Di Barat, Socrates telah membuka jalan dengan kerendahan hatinya bahwa: “Satu-satunya yang saya ketahui adalah bahwa saya tak tahu apa-apa”. Baginya, kebijaksanaan dimulai ketika manusia menanggalkan ilusi kepastian. Ribuan tahun kemudian, Immanuel Kant menggambarkan batas-batis pengetahuan manusia lewat pemisahan antara fenomena (yang terlihat) dan noumenon (hakikat yang tak terjangkau). Ia seperti berkata: kita hanya bisa mengamati bayangan realitas, bukan cahaya sejatinya. Fisika modern pun mengiyakan dalam prinsip ketidakpastian Heisenberg mengungkap bahwa partikel subatomik menari dalam kabut probabilitas, ia seperti menolak dikurung dalam kepastian. Bahkan matematika, lewat teori ketidaklengkapan Gödel, mengakui bahwa dalam sistem logika apa pun, selalu ada kebenaran yang tak terbukti—seperti bisikan alam bahwa rasio manusia takkan pernah mencapai puncak tertinggi.
Di Timur, Laozi dalam Dao De Jing menyebutnya Dao: jalan kosmis yang tak terkatakan, yang hanya bisa diikuti dengan wu wei, penyerahan diri tanpa upaya mengontrol. Sementara Zen Buddhisme menggunakan koan cemacam teka-teki paradoks seperti “Apa bunyi tepuk tangan satu tangan?” untuk meruntuhkan tembok logika, mengajak manusia menyelam ke dalam samudra ketidaktahuan yang justru memancarkan pencerahan. Di India, para resi Upanishad berbisik “neti neti” (bukan ini, bukan itu), mengingatkan bahwa Brahman, sang Realitas Mutlak, tak bisa dijebak dalam kata-kata.
Begitu pun di tanah Jawa, para leluhur merumuskan filsafat serupa dalam tiga kalimat sakti: “tan kinoyo ngopo, tan kinoyo sopo, tan kinoyo opo” yang artinya tak bisa dijelaskan mengapa, tak bisa dijelaskan siapa, tak bisa dijelaskan apa. Ini adalah pengakuan bahwa hakikat kehidupan (sangkan paraning dumadi) melampaui segala definisi. Bukan penolakan terhadap pengetahuan, melainkan pengingat bahwa manusia hanya bisa “niteni” (mengamati) gejala, bukan “ngerti” (memahami) hakikat sejati. Seperti wayang kulit yang menari di balik kelir, Realitas Sejati (Gusti) tetap tersembunyi di balik topeng-topeng duniawi.
Mengenal Diri: Jembatan Menuju Pengenalan Ilahi
Masih banyak tradisi dan teori lain yang mengungkapkan betapa terbatasnya manusia, Karna pada dasarnya kehidupan yang dimiliki manusia ialah murni dari ruh yang Allah tiupkan kepadanya (QS. As-Sajdah [32]: 9). Dan melalui itulah, masing-masing manusia memiliki ayat-ayat kebesaran Allah didalam dirinya untuk manusia temukan (QS. Fusshilat [41]: 53). Sehingga sebelum manusia diperintahkan untuk benar-benar mengerti Tuhan-Nya, Allah telah menyediakan semua fasilitas itu, yakni dengan benar-benar mengerti dirinya sendiri. “Man ‘arafa nafsahu faqod ‘arofa rabbahu” Siapa yang memahami dirinya, maka ia akan memahami Tuhannya. Semakin dalam kita menyelam, semakin luas lautan yang belum terjamah dan itu mengantarkan manusia pada titik yang sama: puncak pengetahuan adalah pengakuan akan ketidaktahuan. Seperti lingkaran yang ujungnya menyentuh awal, pencarian manusia berakhir dalam keheningan yang memancarkan makna.
Inilah paradoks eksistensi, akal yang diberikan Tuhan untuk memahami justru harus menunduk di hadapan misteri-Nya. Ketika teori-teori runtuh dan kata-kata menguap, yang tersisa hanyalah keinsyafan, bahwa tasbih semesta dari desir daun hingga detak jantung adalah undangan untuk merendahkan diri, menyelami ketidaktahuan sebagai puncak kebijaksanaan. Seperti kata Einstein, “Semakin saya belajar, semakin saya merasa tidak tahu.” Di situlah, mungkin, manusia menemukan cahaya: bukan dalam kepastian, tetapi dalam kerendahan hati untuk terus mencari.
Bersyukur Sebagai Upaya Menikmati Paradoks Kehidupan
Lantas atas dasar apakah manusia menutup mata dan hati mereka atas semua nikmat yang telah Allah berikan (QS. Ibrahim [14]: 34), bahwa jika bukan karna Allah lah yang menggerakkan dan memperjalankan manusia untuk mendayagunakan semua potensi yang diberikan, tentu bersamaan dengan itu Allah pun menyediakan kekuatan-Nya sehingga potensi tersebut dapat bertransformasi menjadi sekian banyak hal kenikmatan sampai manusia sendiri tak mampu untuk menghitungnya. Allah anugrahkan akal sehingga ia mampu menikmati dan mensyukuri hidup ini sebagai sebuah rahmat dan karunia-Nya sehingga menjadi sumber dari kebahagiaan tanpa syarat apapun (QS. Ibrahim [14]:7).
Tak terfikir jika seandainya manusia dilepaskan dari kendali rahmat Allah, bagi anak kecil yang belum memiliki daya kognitif yang lengkap, akan sangat sulit bagi mereka untuk menentukan hal apa sajakah yang mampu ia gunakan sebagai sumber kegembiraan, mereka perlu mengidentifikasi secara rinci tentang sekian banyak hal tentu dengan parameter yang akurat serta konsisten hanya untuk sekedar bermain, namun yang terjadi tidaklah demikian, cukup dengan hal-hal yang sederhana mereka amat sangat mudah mensyukuri daya imajinatifnya sebagai arena permainan yang bahkan memberikan kebahagiaan bagi para orang dewasa yang ikut serta menyaksikan permainan mereka. disitulah letak betapa luasnya rahmat Allah kepada manusia.
Coba bayangkan, apa yang sebenarnya kita rasakan saat mendengar bahwa semua hal yang fana didunia ini akan hancur dengan sekejapan mata (QS. An-Nahl [16]:77). Bukankah usia, waktu, dan tenaga yang amat sangat terbatas ini, menyadarkan kita bahwa pada akhirnya manusia hanya akan kembali pada-Nya. Lalu apalagi jika itu bukan merupakan kabar gembira? Seperti kayu yang terbakar dan kemudian kita bertanya kemanakah semua kepulan asap itu pergi? kecuali ia kembali pada luasnya udara atau bahkan menjadi awan yang kemudian menurunkan hujan saat dimana hari mengeringkan tanah yang tandus.
Mengikuti Suritauladan Nabi Muhammad SAW dengan Amal Sholeh
Mungkin itulah yang Allah maksud, jika memang benar manusia mengakui bahwa ia mencintai Allah serta menyadari akan hulu dan hilir kehidupannya, ikutilah Muhammmad QS. Ali-Imran [3]:31). Allah tidak memerintahkan manusia untuk pandai, kuasa, populer, atau bahkan berjasa, melainkan semua aktivitas (apakah itu bekerja, manuntut ilmu, beramal sholeh) kita landaskan sebagai sebuah bentuk pengabdian kepada-Nya (QS. Adz-Dzariyat [51]:56). Mengapa seseorang membebani dirinya sendiri dalam melakukan aktifitas dengan hanya bersandar pada motivasi eksternal? Sedangkan apabila ia memiliki motivasi internal yang tinggi justru kenikmatan serta kebahagiaannya tidak menunggu ketika aktifitas tersebut usai dilaksanakan, melainkan terletak pada saat ia mengerjakan aktifitas itu sendiri. Disinilah mengapa agama memberikan landasan motivasi internal bahwa hidup ini tiada lain merupakan pengabdian itu sendiri. Kita menjadi bagian dari yang jauh lebih besar dari sekedar ambisi semu yang selama ini kita anggap sebagai sebuah kesuksesan pencapaian duniawi.
Betapa bahagianya mereka yang teguh mempertahankan imannya serta menggantungkan harapannya kepada Allah dengan terus melakukan kebaikan (QS. Ar-Ra’d [13]:29), seperti layaknya matahari yang yang memancarkan cahayanya tanpa berharap untuk bersinar atau bahkan mendapatkan pengakuan bumi yang ia sinari, karna kebahagiaannya tak lain dengan bersinar itu sendiri, tak peduli siapaun yang menerimanya alih-alih matahari berfikir apa yang mampu makhluk lain berikan balasan dari sinar yang ia pancarkan. Karna sejatinya ia menyadari bahwa sinarnya hanyalah pancaran dari cahaya Allah melalui dirinya. Apa yang jauh lebih besar daripada pancaran cahaya Allah dibandingkan seisi bumi dan langit?
Karna Allah merupakan cahaya itu sendiri (QS. An-Nur [24]:35), namun tidak seperti cahaya yang kita lihat (QS. Al-An’am [6]:103), dimana cahaya yang mampu kita lihat melalui panca indra hanyalah sebagian kecil dari percikan cahaya-Nya yang jauh lebih agung, dan mustahil manusia mampu menangkapnya. Sedangkan cahaya matahari pun jika dilihat dengan mata telanjang dengan durasi yang cukup lama justru akan membutakan mata yang melihatnya. Itulah yang juga dilakukan oleh Rasulullah, ia berbuat baik pada siapapun, dimanapun, kapanpun dan tentunya tanpa mengharapkan apapun, seperti ketika beliau dicaci oleh kaum tha’if saat berdakwah bahkan hingga dilempari batu hingga dahinya berdarah. Sampai sampai mereka berkata: “Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri ini?” (QS. Az Zukhruf [43]:31). Sekalipun malaikat jibril manawari agar Rasulullah berkenan untuk ia lemparkan gunung kepada mereka, Rasulullah tetap menjawab janganlah, sungguh mereka itu tidak memahami, dan semoga kelak keturunan merekalah yang akan menyembah kepada Allah.
Bagaimana jadinya jika suatu saat nanti kita ditanya oleh Allah apakah benar kita mencinta-Nya namun tidak mencintai kekasih-Nya Nabi Muhammad SAW tanpa mengikuti suritauladan beliau sehingga kita layak untuk ber-muwajjahah dengan-Nya? bagaimana mungkin manusia dapat menilai siapa yang lebih baik diantara sesamanya, sedangkan sesama pelajar tak berhak saling mengisi rapor temannya, dan juga bahwa manusia tak memiliki alat apapun untuk mengukur tingkat ketaqwaan sesamanya. maka Allah mengatakan berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan ) karna bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) (QS. Al-Baqarah [2]:148). Dan barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah maka beramal sholehlah (QS. Al-Kahfi [18]:110).
Kesimpulan
Dari lebah yang diwahyukan hingga ketidaktahuan Socrates, dari koan Zen hingga filsafat Jawa, seluruh alam mengajarkan satu kebenaran: kemuliaan manusia terletak pada kerendahan hati untuk mengakui keterbatasan dan mensyukuri rahmat-Nya. Ilmu pengetahuan, agama, dan kearifan lintas zaman bertemu dalam satu simpul: pengabdian adalah jalan memahami hakikat diri dan Sang Pencipta. Sebagaimana matahari bersinar tanpa pamrih, manusia pun diajak untuk mengikuti suritauladan Nabi Muhammad SAW dalam berbuat baik tanpa beban pengakuan, karena hakikat cahaya, seperti kebahagiaan sejati, hanya bisa ditemukan ketika kita berhenti mengejar bayangan duniawi dan mulai menyelami keheningan yang memancarkan makna. Di sanalah, dalam tasbih semesta yang tak terdengar, kita menemukan diri sebagai bagian dari harmoni ilahi: kecil, namun penuh makna.