MENATA ULANG NARASI Oleh: Duski Samad

MENATA ULANG NARASI:
Perspektif Berimbang untuk Menghapus Stigma Intoleransi di Sumatera Barat.

Oleh: Duski Samad
Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat

 

Stigma bahwa Sumatera Barat (Sumbar) adalah daerah yang intoleran oleh beberapa lembaga survey, khususnya institusi yang berbasis HAM Barat, adalah tantangan yang mesti dijelaskan untuk menghindari salah mengerti publik. Mispersepsi terhadap budaya, agama, dan kebijakan lokal di wilayah ini sering tidak dimengerti atau “bisa ada tujuan tertentu”, akibatnya kesimpulan keliru terhadap realitas harmoni dipungkuri.

Provinsi Sumatera Barat dikenal dengan masyarakatnya yang mayoritas beragama Islam dan menerapkan nilai-nilai adat Minangkabau yang berlandaskan falsafah Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (adat bersendi syariat Islam). Hal ini sering dianggap eksklusif oleh pihak luar, terutama ketika muncul kebijakan lokal yang terkesan membatasi keberagaman.

Namun, perlu dipahami bahwa masyarakat Sumatera Barat telah memiliki sejarah panjang dalam menjaga kerukunan, harmoni dan toleransi. Misalnya keberagaman dalam sejarah. Pada masa kolonial, Sumbar menjadi pusat intelektual dan pergerakan nasional yang terbuka terhadap berbagai ideologi.

Kerukunan adat dan agama. Meski identitas Islam sangat kuat, sistem adat Minangkabau juga mendorong musyawarah dan mufakat, yang pada dasarnya inklusif.

Sedangkan berkaitan dengan isu kebijakan kontemporer. Beberapa kebijakan seperti pelarangan pakaian tertentu atau aturan yang mengacu pada nilai-nilai agama sering dipandang sebagai bentuk intoleransi, mestinya oleh pihak netral dapat dicek dan bisa juga dimaknai sebagai upaya menjaga karakter budaya lokal.

Pentingnya perspektif berimbang dapat dilakukan dengan mencermati realitas faktual dilapangan. Stigma intoleransi seringkali muncul karena kurangnya pemahaman dan interaksi. Perlu dialog yang lebih luas untuk memahami bahwa penerapan nilai lokal tidak selalu bertentangan dengan semangat keberagaman nasional.

COUNTER ISSUES
Untuk mengcounter stigma Sumatera Barat sebagai daerah intoleran, diperlukan pendekatan strategis yang komprehensif. Beberapa issues strategis yang dapat menjadi fokus:
1.Penguatan Pendidikan Multikultural. Kurikulum di sekolah dapat mengintegrasikan nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan kearifan lokal Minangkabau yang inklusif. Strateginya dengan melibatkan tokoh adat dan agama dalam sosialisasi nilai toleransi. Program pertukaran pelajar lintas daerah untuk memperkenalkan budaya Minangkabau ke luar dan sebaliknya adalah bentuk kerja nyata untuk memastikan harmoni.

2.Komunikasi Publik yang Positif. Narasi negatif sering diperkuat oleh pemberitaan yang tidak berimbang perlu dicegah dan diklarifikasi oleh pihak yang berwenang. Strategi memanfaatkan media lokal dan nasional untuk menampilkan cerita keberagaman dan promosi harmoni di Sumbar. Kampanye digital melalui konten kreatif, seperti dokumenter pendek tentang harmoni sosial di Sumbar adalah kerja kreatif yang mesti diperbanyak.

3.Penguatan Dialog Antar Komunitas. Minimnya ruang dialog antara kelompok mayoritas dan minoritas sering memperbesar jarak, yang dapat melahirkan praduga. Strategi membentuk forum lintas agama dan budaya yang melibatkan pemuda, tokoh adat, dan pemuka agama patut dikerjakan. Mengadakan festival budaya yang merangkul komunitas non-Muslim di Sumbar juga kerja produktif untuk harmoni.

4.Reformasi Kebijakan Lokal. Beberapa kebijakan berbasis syariat sering disalahpahami sebagai intoleransi. Strategi melakukan evaluasi kebijakan untuk memastikan bahwa penerapannya tidak diskriminatif. Melibatkan akademisi dan organisasi masyarakat sipil untuk menjembatani kebijakan berbasis nilai lokal dengan prinsip kebangsaan.

5.Pemberdayaan Ekonomi Inklusif. Ketimpangan ekonomi sering menjadi akar konflik sosial. Strateginya adalah mendorong usaha bersama yang melibatkan komunitas dari latar belakang berbeda. Mengintegrasikan pelaku ekonomi lokal dalam jaringan nasional untuk memperkuat solidaritas.

6.Peran Diaspora Minang. Diaspora Minangkabau di berbagai wilayah memiliki pengalaman hidup dalam lingkungan multikultural dapat menggerakkan menjadi duta budaya Minangkabau yang toleran. Mendukung pelibatan diaspora dalam diskusi nasional terkait keberagaman adalah cara efektif untuk menunjukkan pentingnya toleransi.

7.Penelitian dan Advokasi
Stigma sering muncul karena minimnya data yang akurat. Strategi mendukung penelitian tentang harmoni sosial dan toleransi di Sumbar. Menyebarkan hasil penelitian sebagai bahan edukasi publik adalah diperlukan untuk toleransi.

HAM BARAT DAN STIGMA INTOLERANSI
Institusi berbasis HAM Barat sering kali menempatkan daerah mayoritas Muslim sebagai intoleran karena berbagai alasan, baik yang bersifat konseptual, politik, maupun persepsi budaya. Beberapa alasan utama yang sering dikemukakan antara lain:
1.Pandangan Universal versus Konteks Lokal.
Ada banyak lembaga HAM Barat menggunakan standar universal untuk menilai kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan kesetaraan gender. Standar ini sering kali tidak memperhitungkan konteks budaya dan agama lokal, seperti penerapan nilai-nilai Islam di masyarakat mayoritas Muslim. Dampaknya ketika hukum atau tradisi berbasis Islam diterapkan, hal ini dianggap melanggar nilai-nilai universal HAM, meskipun sebenarnya berakar pada sistem nilai lokal.
Perbedaan paradigma dan pengabaian terhadap prinsip Bhinika Tunggal Ika (beragam dalam kesatuan) nyata sekali dikesampingkan atau tidak diindahkan oleh pegiat HAM Barat. Artinya bila nilai lokal tidak dipertimbangkan sementara pukul rata mengukur dengan standar universal maka akan terus sulit adanya titik temunya.

2.Fokus pada Kasus-Kasus Tertentu. Alasan pada insiden seperti diskriminasi terhadap minoritas agama atau penerapan aturan syariah tertentu sering menjadi sorotan global. Institusi HAM Barat cenderung memperbesar kasus ini tanpa melihat dinamika sosial yang lebih kompleks. Dampaknya persepsi intoleransi di daerah mayoritas Muslim diperkuat oleh pemberitaan negatif yang kurang berimbang.

3.Bias Sejarah dan Politik Global. Alasan hubungan sejarah antara Barat dan dunia Muslim, termasuk era kolonialisme, perang dingin, dan perang melawan terorisme, menciptakan bias terhadap negara atau wilayah mayoritas Muslim. Dampaknya pandangan stereotip bahwa negara mayoritas Muslim cenderung represif atau tidak demokratis masih memengaruhi laporan institusi HAM.

4.Penerapan Kebijakan Berbasis Agama. Alasan: Kebijakan berbasis agama di daerah mayoritas Muslim, seperti aturan berpakaian, pembatasan kegiatan agama non-Muslim, atau pemisahan gender, sering dianggap sebagai bentuk intoleransi. Dampaknya mebijakan ini dilihat sebagai ancaman terhadap kebebasan individu, meskipun bagi masyarakat lokal dianggap sebagai bentuk penegakan nilai moral dan sosial.

5.Minimnya Representasi Lokal. Alasan: Banyak lembaga HAM Barat kurang melibatkan suara dari masyarakat lokal dalam proses penilaian atau pelaporan. Dampak dari hal ini menyebabkan laporan yang bias, karena tidak mempertimbangkan perspektif masyarakat mayoritas Muslim tentang toleransi dan harmoni sosial.

6.Agenda Politik Global
Alasan: Terkadang, pelabelan intoleransi terhadap daerah mayoritas Muslim digunakan untuk mendukung agenda politik tertentu, seperti tekanan diplomatik atau pembenaran atas intervensi internasional. Dampaknya isu HAM dijadikan alat politik yang memperkuat stereotip negatif terhadap masyarakat Muslim.

7.Kurangnya Pemahaman tentang Pluralitas Islam
Alasan: Islam sering dipandang monolitik oleh institusi Barat, tanpa memahami keberagaman interpretasi dan praktik di berbagai wilayah Muslim. Dampak dari hal ini mengaburkan fakta bahwa banyak komunitas Muslim sebenarnya hidup dalam harmoni dengan kelompok agama lain.

Untuk mengatasi hal-hal di atas, penting untuk memperkuat narasi lokal, membangun dialog lintas budaya, dan mempromosikan contoh keberagaman dan toleransi yang sebenarnya banyak ditemukan di dunia Muslim.

KONKLUSI
Menata ulang narasi tentang stigma intoleransi di Sumatera Barat membutuhkan pendekatan yang seimbang dan berbasis pada fakta lokal. Provinsi Sumatera Barat, dengan falsafah Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, memiliki sejarah panjang menjaga harmoni dan kerukunan sosial. Namun, kesalahpahaman dan bias, baik dari lembaga HAM Barat maupun pemberitaan yang tidak berimbang, telah menciptakan stereotip negatif.

Strategi komprehensif seperti penguatan pendidikan multikultural, komunikasi publik yang positif, dialog antar komunitas, reformasi kebijakan lokal, dan pemberdayaan ekonomi inklusif harus terus didorong. Selain itu, peran diaspora Minang dan advokasi berbasis penelitian menjadi kunci untuk mengedukasi publik dan memperkuat narasi keberagaman di Sumatera Barat.

Pentingnya memahami perbedaan paradigma antara standar universal dan konteks lokal perlu ditekankan dalam dialog global. Dengan membangun narasi yang berimbang dan melibatkan semua pihak, Sumatera Barat dapat menjadi contoh bagaimana budaya lokal yang berakar kuat dapat berjalan harmonis dalam keberagaman nasional dan internasional.ds#ibnusina22012025.

Leave a Reply