MENGAPA HARUS BERKUASA?
Oleh: Duski Samad
Dosen Pengampu Mata Kuliah Ilmu Tasawuf, dan Pemikiran Pendidika n Islam Program Doktor UIN Imam Bonjol
Pertanyaan “Mengapa harus berkuasa?” adalah pertanyaan filosofis, politis, sekaligus spiritual yang sangat dalam. Jawabannya tergantung pada niat, orientasi nilai, dan konteks perjuangan seseorang atau kelompok.
Pertanyaan di atas ingin menjawab realitas yang hidup dalam masyarakat, institusi dan tak terkecuali lembaga pendidikanpun tak luput dari kehendak kuasa, baik individu, kelompok dan gerbong sosial yang lazimnya “atas nama” untuk memperkuat daya tawar mendapatkan kuasa.
Secara akademik bisa diduga ada beberapa pendekatan untuk menjawab mengapa mesti berkuasa?
Pertama sudut pandang normatif, etis dan spiritual. Sejatinya berkuasa adalah amanah, bukan sekadar kehormatan.
Dalam Islam, kekuasaan (wilayah, imarah) adalah alat untuk menegakkan keadilan, melindungi rakyat, dan mewujudkan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah).
Nabi Yusuf meminta kekuasaan untuk mengelola perbendaharaan Mesir karena ia ahli dan amanah (QS. Yusuf: 55).
Tujuan utama bukan berkuasa demi diri, tapi berkuasa agar bisa lebih besar manfaatnya bagi umat.
Pertanyaan tentang kuasa dari segi normatif dan etis Islami menyentuh dasar teologi politik Islam, yakni bagaimana kekuasaan dipandang, digunakan, dan dipertanggung jawabkan menurut wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah), serta nilai-nilai etika Islam.
Islam tidak memisahkan agama dari urusan publik, termasuk kekuasaan. Dalam pandangan Islam
kekuasaan adalah Amanah,”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak…” (QS. An-Nisa: 58)
Kekuasaan bukan hak warisan atau keuntungan politik, tapi titipan Allah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab kepada rakyat dan kepada-Nya.
Kekuasaan adalah wasilah, bukan tujuan. Kekuasaan bukan untuk kesenangan pribadi, melainkan sarana untuk menegakkan keadilan, maslahat, dan hukum Allah.
Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin memandang kuasa sebagai beban berat (taklif), bukan kehormatan semata (tasyrif).
Untuk mewujudkan tujuan kekuasaan di atas maka kriteria kepemimpinan adalah kuat dan amanah.”Sesungguhnya orang terbaik yang kamu ambil sebagai pekerja (pemimpin) adalah yang kuat dan amanah.” (QS. Al-Qashash: 26)
Kuat (qawiyy): kapabel, cakap, dan punya strategi.
Amanah (amin): jujur, adil, dan bertanggung jawab.
Etika (akhlak) menjadi pengontrol utama agar kuasa tidak menjadi tirani atau alat kezaliman.
Adil adalah prinsip tertinggi.”Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90). Kuasa dalam Islam tidak boleh diskriminatif, sewenang-wenang, atau menindas minoritas.
Etik tidak boleh meminta kekuasaan secara ambisius.Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Abdurrahman bin Samurah! Jangan engkau meminta jabatan, sebab jika engkau diberi karena permintaanmu, engkau akan memikulnya tanpa bantuan…” (HR. Bukhari-Muslim)
Pemimpin ideal adalah orang yang siap memikul tanggung jawab, bukan mengejar kehormatan.
Menjadi pemimpin adalah pelayan.
“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Nu’aim). Kekuasaan dalam Islam menuntut kerendahan hati (tawadhu’) dan kerja nyata untuk kesejahteraan rakyat.
Pemimpin akan diadili paling awal di hari kiamat.“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban…” (HR. Bukhari-Muslim)
Etika Islam mengingatkan bahwa kuasa akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Contoh Teladan kuasa yan Islami
adalah Nabi Yusuf AS meminta kuasa untuk menyelamat kan Mesir dari krisis pangan, karena dia ahlun dan hafizhun ‘alim (QS. Yusuf: 55).
Abu Bakar dan Umar menangis ketika diangkat menjadi khalifah, karena sadar betapa berat amanah kuasa.
Kedua Politik dan Strategi. Tanpa kekuasaan, kebenaran bisa dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir. Kekuasaan memungkinkan pengambilan keputusan strategis untuk membentuk kebijakan publik, pendidikan, ekonomi, dan budaya. Banyak ide baik dan gerakan moral yang gagal karena tidak punya akses ke instrumen kekuasaan.
Kekuasaan adalah instrumen perubahan. Maka harus direbut oleh orang yang jujur, berilmu, dan berpihak pada rakyat.
Perspektif Sejarah dan Perjuangan Sosial. Berkuasa agar tidak dikuasai oleh yang zalim. Sejarah menunjukkan bahwa ketika yang saleh menjauhi kekuasaan, yang zalim memanfaatkannya untuk menindas.
Kaum tertindas dan lemah tidak akan terbela jika tidak ada pemimpin yang berkuasa dan berpihak kepada mereka.
Pandangan pendidikan dan dakwah. Berkuasa agar nilai-nilai kebenaran bisa menjadi sistem dan budaya. Pendidikan, media, hukum, dan ekonomi adalah produk sistem yang ditentukan oleh kekuasaan.
Kalau dakwah hanya menjadi suara moral tanpa kuasa, maka ia rentan dibungkam. Tapi kalau dakwah punya posisi strategis, ia bisa jadi dasar kebijakan negara.
Secara normatif, etis, politis berkuasa bukan tujuan, tapi wasilah (sarana).
Yang penting adalah untuk apa dan bagaimana kekuasaan itu digunakan.“Kekuasaan itu ibarat pisau: di tangan orang benar, ia menjadi alat membebaskan; di tangan yang salah, ia bisa melukai banyak jiwa.”
KERAWANAN KEKUASAAN
Agar kekuasaan tidak merusak kemuliaan manusia maka siapapun ketika berkuasa mesti dengan tegas dan jelas mencegah potensi buruk yang dari kekuasaan itu sendiri. Bahasan ini penting dan tersedia dalam etika kekuasaan Islam. Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah suci, namun juga sangat rawan disalahgunakan jika tidak dikawal dengan iman, akhlak, dan sistem pengawasan.
Hakikat kekuasaan adalag anugerah dan sekaligus ujian. “Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan memikulnya
… lalu manusia memikulnya. Sesungguhnya manusia itu zalim dan bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)
Kekuasaan bukan hanya anugerah (ni’mah), tetapi juga fitnah (ujian). Islam mewanti-wanti bahwa semakin tinggi jabatan, semakin besar hisabnya di hadapan Allah.
Potensi buruk dari kekuasaan yang mesti diawasi adalah paling awal itu zalim dan penyalahgunaan wewenang.
Kekuasaan yang tidak diawasi akan berubah menjadi alat penindasan. Fir’aun adalah contoh klasik pemimpin absolut yang menuhankan diri karena terlalu lama berkuasa tanpa kontrol.
Potensi bahaya laten adalah korupsi dan nepotisme. Kuasa membuka peluang untuk mengelola anggaran, proyek, dan jabatan. Tanpa integritas, pemimpin bisa tergelincir pada korupsi struktural.
“Laknat Allah atas penyuap dan yang menerima suap dalam pemerintahan.” (HR. Ahmad)
Karakter sombong dan kultus individu adalah virus ganas berkuasa yanc positif. “Ketika Qarun keluar dengan kemegahannya, orang-orang berkata: ‘Sungguh beruntung Qarun!'”… Lalu Allah benamkan dia dan rumahnya ke dalam bumi.” (QS. Al-Qashash: 79–81)
Kekuasaan dapat menumbuhkan kesombongan sistemik, merasa paling benar, bahkan anti-kritik.
Kuasa bisa membawa penyimpangan agama dan moral. Pemimpin bisa menggunakan kekuasaan untuk membenarkan kesalahan, melemahkan ulama, dan menyesatkan umat. Politik pencitraan menggantikan kejujuran.
Bahaya lainnya adalah ketergantungan pada kekuasaan.
Kekuasaan bisa membuat orang tak rela turun, bahkan menggunakan cara-cara haram untuk mempertahan kannya (politik uang, fitnah, kekerasan, dll).
Pengawasan dalam Islam. Untuk mencegah buruk yang bisa dibawa kuasa, maka selaku perkuat taqwa dan muhasabah diri.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok…” (QS. Al-Hasyr: 18)
Pemimpin harus introspeksi harian dan ingat hisab akhirat.
Lazimkan syura dan check dan balance.“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Islam mendorong pemimpin untuk tidak otoriter, melainkan membuka ruang nasihat, koreksi, dan partisipasi rakyat.
Perhatikan kritik konstruktif. Rasulullah SAW bersabda:
“Agama adalah nasihat…” (HR. Muslim) Rakyat yang diam terhadap kezhaliman ikut berdosa. Amar ma’ruf nahi munkar berlaku juga untuk penguasa.
Kebebasan pers dan ulama adalah alarm bagi pemegang kuasa. Ulama adalah penjaga moral kekuasaan. Ketika ulama ditakuti atau dibungkam, kekuasaan menjadi gelap.
Berkuasa itu berat, maka harus diawasi “Pemimpin umatku adalah pelayan mereka. Barang siapa menipu mereka, tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad)
Kekuasaan adalah senjata bermata dua: bisa jadi alat kemaslahatan, atau bencana kemanusiaan. Maka, pengawasan internal (takwa) dan eksternal (sistem dan rakyat) sangat penting.
KESIMPULAN
Berkuasa bukan soal ambisi pribadi, tetapi panggilan tanggung jawab untuk menegakkan keadilan, menjaga kemaslahatan, dan melayani umat.
Dalam perspektif Islam, kekuasaan adalah amanah, bukan kehormatan, dan wasilah, bukan tujuan. Tanpa kekuasaan, nilai-nilai luhur akan tergusur oleh kebatilan yang terorganisir.
Berkuasa menjadi keharusan moral dan strategis agar umat tidak dikuasai oleh pihak yang zalim, agar dakwah dan pendidikan tidak hanya bersuara tapi berdaya ubah sistem, dan agar kebaikan tidak hanya menjadi wacana tapi menjadi kebijakan.
Sejarah menunjuk kan bahwa jika orang-orang saleh menjauh dari kuasa, maka kuasa akan jatuh ke tangan yang salah, dan rakyat menjadi korban.
Kekuasaan adalah ujian besar yang mengandung potensi penyimpangan: kezaliman, korupsi, arogansi, dan penyalahgunaan agama. Oleh karena itu, pengawasan yang kokoh — baik dari dalam diri (takwa dan muhasabah), maupun dari sistem sosial (musyawarah, kebebasan pers, dan kritik ulama) — adalah keniscayaan mutlak.
Berkuasa itu perlu, tetapi harus disertai iman, ilmu, integritas, dan akhlak. Tanpa itu, kekuasaan akan berubah menjadi bencana. Tapi jika dimaknai sebagai amanah untuk maslahat, maka kekuasaan menjadi jalan suci untuk membela yang lemah dan menegakkan kebenaran.
“Kekuasaan itu ibarat pisau: di tangan orang bertakwa, ia menjadi alat membebaskan; di tangan orang tamak, ia menjadi senjata penindasan.”
DSashelyhotel@sabang03062025.