MENJADI PIMPINAN ORMAS: Antara Prestise dan Amanah Rabbaniyah

MENJADI PIMPINAN ORMAS:
Antara Prestise dan Amanah Rabbaniyah

Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang

Ketika peralihan kepemimpinan dalam organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) juga terpengaruh oleh iklim peralihan kepemimpinan pads organisasi sosial politik.
Mestinya menjadi pimpinan ormas amat sangat jauh bedanya dengan ormas politik. Ormas adalah wadah pengabdian yang pertanggung jawaban melebihi dari KPK, BPK dan sejenisnya.

Sulit menyatakan bahwa banyak tokoh ormas saat ini sudah kena virus pragmatis. Saat merebut simpati untuk dipilih menjadi pimpinan beragam slogan dan program yang ditawarkan. Ketika amanah diterima dan waktu berjalan, tidak banyak janji itu dilaksanakan.

Tidak sulit menunjukkan bahwa kepemimpinan organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia kerap dipandang sebagai simbol prestise, kekuasaan, dan modal sosial. Namun, dalam perspektif Islam, kepemimpinan merupakan amanah rabbaniyah (titipan ilahi) yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Artikel ini membahas kepemimpinan ormas dari perspektif nash (Al-Qur’an dan hadis), fatwa ulama klasik dan kontemporer, pendekatan ilmiah (manajemen dan etika organisasi), serta analisis sosiologis tentang fenomena kepemimpinan ormas di Indonesia. Pembahasan ini menegaskan pentingnya paradigma kepemimpinan sebagai pengabdian (servant leadership), bukan sebagai sarana prestise dan kepentingan pribadi.

Menjadi pimpinan ormas, terutama yang berbasis keagamaan, sering kali dikaitkan dengan status sosial dan prestise, dikenal luas, memiliki pengaruh politik, bahkan menjadi pintu akses sumber daya. Namun, dari perspektif syariat Islam, kepemimpinan bukanlah sekadar kedudukan duniawi.

Jabatan adalah amanah yang berat, titipan dari Allah yang akan dipertanggung jawabkan di dunia dan akhirat.

Para ulama menegaskan, kepemimpinan (al-imārah) bukan hak milik atau sarana popularitas, tetapi ‘aqd amanah—kontrak moral dan spiritual untuk menegakkan keadilan dan maslahat umat (Al-Māwardi, Al-Ahkām as-Sulthāniyyah, 2008).

Nash Al-Qur’an dan Hadis

Kepemimpinan sebagai Amanah.“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisā’: 58).
Ayat ini menegaskan bahwa jabatan adalah amanah, dan adil adalah syarat utama dalam kepemimpinan.

Pertanggungjawaban Akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda:“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan nya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam hadis lain:
“Tidaklah seorang pemimpin yang memimpin umat Muslim kemudian ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga baginya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Larangan Ambisi Jabatan.
Nabi bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah:“Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan. Jika engkau diberi tanpa memintanya, engkau akan ditolong; jika engkau diberi karena meminta, engkau akan diserahkan (kepada dirimu sendiri).” (HR. Bukhari-Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa kepemimpinan lebih aman jika didasari amanah, bukan ambisi.

Pandangan Ulama
Kepemimpinan sebagai ‘Aqd Amanah. Al-Māwardi dalam Al-Ahkām as-Sulthāniyyah menegaskan bahwa kepemimpinan adalah akad sosial dan moral, bukan hak pribadi, dan hanya sah jika memenuhi syarat keadilan, keilmuan, dan kapasitas.

Pandangan Ulama Kontemporer.
Yusuf al-Qaradawi (2011) menekankan tiga prinsip utama kepemimpinan Islam:
(a) niat ikhlas, (b) keahlian dan kompetensi, (c) maslahat jamaah.

Pemimpin yang mencari jabatan demi gengsi berpotensi melakukan ghulul (pengkhianatan amanah) yang berdampak pada keruntuhan organisasi.
Etika Kepemimpinan Ormas. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa etika kepemimpinan (Fatwa MUI No. 21/2018) menegaskan bahwa pemimpin ormas harus menjaga amanah, keadilan, dan keterbukaan serta tidak menggunakan jabatan sebagai sarana mencari keuntungan pribadi.

Pendekatan Ilmiah: Manajemen dan Etika Organisasi
Kepemimpinan Pelayan (Servant Leadership).
Menurut Greenleaf (1977), pemimpin sejati adalah pelayan yang memprioritaskan kebutuhan anggota, bukan ambisinya sendiri. Dalam ormas Islam, ini berarti pemimpin berfungsi sebagai fasilitator dakwah, pendidikan, dan pelayanan sosial, bukan pusat prestise.

Teori Legitimasi Weberian. Max Weber (1978) mengidentifikasi tiga tipe legitimasi: tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Dalam ormas keagamaan, karisma akhlak dan legal-rasional (aturan organisasi) harus lebih dominan dibanding sekadar simbol atau popularitas.

Bahaya Kepemimpinan Berbasis Prestise.
Pierre Bourdieu (1986) menyatakan bahwa jabatan ormas sering menjadi modal simbolik untuk memperoleh akses politik dan ekonomi. Tanpa integritas, ini akan mengikis kepercayaan anggota dan melemahkan tujuan dakwah.

Sosiologis
Realitas sosial menunjukkan bahwa banyak ormas keagamaan dijadikan kendaraan politik atau panggung popularitas, yang berakibat pada konflik internal, perebutan jabatan, dan menurunnya kualitas pelayanan umat.

Dampak Sosial. Anggota cenderung apatis ketika melihat pimpinan lebih sibuk membangun citra daripada membina jamaah.

Kepercayaan publik menurun, menyebabkan ormas kehilangan relevansi di tengah masyarakat.

Solusi Sosiologis
Perlu penguatan kaderisasi kepemimpinan berbasis kompetensi dan keikhlasan. Transparansi dan akuntabilitas internal melalui laporan publik, audit, dan musyawarah.

Pendidikan spiritual dan etika kepemimpinan agar jabatan dilihat sebagai amanah, bukan kehormatan semata.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Kepemimpinan ormas harus dipandang sebagai amanah rabbaniyah, bukan sarana prestise.

Nash dan fatwa ulama menegaskan bahwa pemimpin yang tidak amanah akan dimintai pertanggungjawaban berat di akhirat.

Teori manajemen dan sosiologi mendukung bahwa kepemimpinan yang berorientasi pada pelayanan dan integritas menghasilkan organisasi yang berdaya guna dan dipercaya masyarakat.

Ormas harus menerapkan mekanisme kaderisasi dan akuntabilitas agar kepemimpinan menjadi sarana pengabdian, bukan ambisi pribadi.

Referensi
• Al-Qur’an al-Karim.
• Al-Māwardi. Al-Ahkām as-Sulthāniyyah. Beirut: Dar al-Fikr, 2008.
• Yusuf al-Qaradawi. Fiqh al-Daulah fi al-Islam. Kairo: Maktabah Wahbah, 2011.
• Greenleaf, R. K. Servant Leadership. New York: Paulist Press, 1977.
• Weber, M. Economy and Society. Berkeley: University of California Press, 1978.
• Bourdieu, P. Forms of Capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. Greenwood, 1986.
• Fatwa MUI No. 21/2018 tentang Etika Kepemimpinan dalam Organisasi Keagamaan.
• Hadis-hadis dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim (Kitab al-Imarah).
• Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2013.
• Arifin, Z. (2022). “Kepemimpinan Berbasis Amanah dalam Ormas Islam.” Jurnal Dakwah dan Kepemimpinan, 14(2): 115–132.