MENYIGI SEBERAPA PENTING AGAMA BAGI MASYARAKAT MODERN
Penulis: Azwirman, S.Pd
Tahun 2020 yang lalu, sebuah riset dari lembaga Riset internasional (Pure Research Center) merilis sebuah data yang sangat menakjubkan, Sebuah data tentang Rangking (peringkat) Sikap keberagamaan di seluruh dunia.
Pertanyaan sederhana, namun sangat prinsipil diajukan kepada responden,
“Apakah agama itu penting dalam kehidupan Anda?”
Dari hasil Research-nya, tentu saja tidak semua negara, akan tetapi sudah dianggap mewakili kondisi keberagamaan manusia di era ultra modern saat ini.
Tiongkok adalah yang paling sedikit, yaitu, 3 %, yang mengatakan agama itu penting, disusul Inggris, 10%, Jepang 10%, Jerman 10%, Swedia 10%, Perancis 11%, Russia 16%, Australia 18%, Kanada 23%, Israel 36%, Amerika Serikat 53%, bahkan dalam sebuah survey juga dikatakan bahwa, masyarakat Inggris sebanyak 50% nya secara terang-terangan mengatakan bahwa, “Saya sudah tidak punya agama lagi!”.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Tentu pertanyaan ini saya kira yang pembaca ingin ajukan dan hasil yang tunggu-tunggu dari penelitian Pure Research Center di Indonesia.
Masyarakat Indonesia, dalam hasil survey Lembaga Research itu, bahwa sikap Keberagamaan, yang mengatakan agama itu penting masih tinggi, sekitar 93%, “Hanya” 7 persen yang mengatakan agama itu tidak penting. Hal ini tentu bisa kita maklumi, bangsa Indonesia sampai saat ini masih sangat “Religius”.
Namun begitu, Meski 7 %, Kalau dikalikan saja dengan Jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta jiwa maka, ada sekitar lebih kurang 18 juta orang Indonesia yang dengan langsung atau tidak menyatakan agama itu tidak penting. Seandainya yang 7% itu orang menengah kebawah atau miskin semua, hal itu tentu mustahil terjadi. Sebab orang bisa sabar dengan kemiskinan, akan tetapi banyak yang tidak sabar dengan kekayaan dan kekuasaan. Kaya dan berkuasa adalah dua hal yang sudah terlalu banyak membuat orang sesat.
Artinya, 7% yang menyatakan agama itu tidak penting, adalah yang berada pada level menengah ke atas.
Jika yang tujuh persen itu termasuk mereka- mereka yang secara akses ke Teknologi Informasi, keuangan dan kekuasaan mereka kuat dan bahkan mengendalikan maka, wajar jika hampir seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara amat jauh dari kesan Religius.
Kita bisa dengan mudah semisal, Lihatlah siaran TV, media sosial, media elektronik, sistem keuangan, sistem politik, dan lain sebagainya hampir semuanya adalah yang tidak mendukung perbaikan bathin (agama) masyarakat. Saya pernah juga menulis soal ini. Bahwa, media sosial kita, yang sebagian besar sudah diakses oleh masyarakat Indonesia, konten yang paling banyak diminati, dengan puluhan juta “viewer” bukan konten pendidikan dan dakwah Islam atau konten agama, namun yang paling banyak adalah konten yang bersifat hiburan, baik yang mendidik apalagi yang tidak mendidik. Yang kedua adalah konten politik, adalah terbanyak nomor dua setelah hiburan.
Dari data diatas, bisa kita tarik Kesimpulan bahwa, masyarakat dunia secara mayoritas sudah berani untuk melepaskan dirinya dari agama. Kecuali di Indonesia. Meskipun akses-akses kekuasaan dan kekayaan “dikuasai” oleh kelompok yang sebagian besar menganggap agama tidak penting.
Kenapa hal ini bisa terjadi?
Sebabnya banyak. Salah satunya adalah paradigma keagamaan yang keliru, agama mereka anggap hal yang mengekang kebebasan. Makanya agama yang paling diminati oleh masyarakat dunia hingga hari ini, di manapun berada adalah agama kebebasan.
Meminjam istilah Dr. Afif Muhammad, dosen filsafat UIN Syarif Hidayatullah, dalam salah satu buku beliau, “Dari Teologi ke Ideologi” mengatakan bahwa, di Barat, Masyarakat yang kelihatan misalnya tiap minggunya ke gereja, atau tempat ibadah lainnya sebenarnya di hati mereka sudah tumbuh, dan ini sudah lama yaitu apa yang disebut dengan “Secret Religion” agama Rahasia. Apa agama Rahasia mereka? Tidak lain adalah agama Freedom, agama kebebasan. Makanya di Pusat peradaban dunia saat ini (Amerika Serikat) di kota New York ada berdiri gagah sudah puluhan tahun, Patung kebebasan (Liberti)
Bagaimana dengan umat Islam?
Kita sudah lama mengenal istilah “Islam KTP” yang punya arti, seseorang yang secara administratif kependudukan beragama Islam (di KTP) akan tetapi dalam keseharian jauh dari nilai-nilai Islam. Jumlah mereka Banyak sekali ada dimana-mana. Bukan hanya di Indonesia, di banyak negara yang mayoritas Islam atau tidak, sama kondisi nya, Islam KTP. Yang parahnya justru membenci Islam dan ajarannya. Inilah virus Islamofobia (kebencian tanpa alasan kepada Islam) maka, ini adalah persoalan serius umat manusia hari ini betapa hampir semuanya sudah dibuat mabuk dengan modernitas, teknologi dan sains.
Memang, secara kuantitas umat Islam sudah di angka 2 Milyar di seluruh dunia. Namun, secara ritual dan sosial, mengamalkan ajaran Islam masih sedikit. Kesenjangan sosial dan ekonomi justru banyak terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Bagaimana dengan Indonesia?
Secara kuantitas mayoritas dan dari data tadi yang mengatakan bahwa Indonesia masih sangat Religius, artinya sebagian besar umat Islam Indonesia menganggap agama (Islam) itu penting. Namun, lagi-lagi dalam prakteknya juga sama dengan negara mayoritas muslim lainnya. Dari sebuah penelitian dikatakan bahwa umat Islam yang pernah menjalankan ibadah sholat lima waktu tidak sampai 40 persen (38 persen) ini tentu masih debatable. Namun yang jelas kita bisa melihat fenomena ketika waktu sholat masuk, masih banyak yang beraktifitas seolah-olah telinganya tidak mendengar suara adzan.
Kita boleh tidak percaya dengan data ini. Toh, yang namanya penelitian tentu ada dan pasti ada Errornya dan kekurangan nya. Hasil riset memang tidak ada kata pasti. Namun, indikasi masyarakat sudah menganggap agama tidak penting, tidak bisa kita bantah dan itu terjadi disekitar kita. Seperti yang saya jelaskan pada paragraf sebelumnya, dan itu paradoks.
Fenomena ini jika dibiarkan terus-menerus maka, suatu saat masyarakat dunia akan berubah menjadi zombie, Zombie sebelum mati.
Zombie adalah suatu konsep fiksi yang menggambarkan makhluk yang telah mati namun hidup kembali dengan cara yang tidak wajar. Zombie seringkali digambarkan sebagai makhluk yang:
1. Mati hidup kembali, Zombie adalah makhluk yang telah mati namun hidup kembali dengan cara yang tidak wajar.
2. Kehilangan kesadaran, Zombie seringkali digambarkan sebagai makhluk yang kehilangan kesadaran dan tidak memiliki kemampuan untuk berpikir secara rasional.
3. Gerakan tidak terkendali, Zombie seringkali digambarkan sebagai makhluk yang memiliki gerakan tidak terkendali dan tidak dapat dikontrol.
4. Mengancam manusia, Zombie seringkali digambarkan sebagai makhluk yang mengancam manusia dan berusaha untuk menyerang dan memakan mereka.
Mereka hidup, bernafas dan bekerja akan tetapi mereka sudah kehilangan jiwa dan hati, serta kebahagiaan. Yang ada adalah kegembiraan semu, palsu, kemunafikan dan saling memakan.
Semoga hal ini tidak terjadi di bangsa kita. Coba kita lihat misalnya kasus bunuh diri.
Rata-rata angka bunuh diri tertinggi di Eropa, meskipun di Indonesia juga tinggi. Amerika dan Asia timur (jepang, Korea, cina dan Taiwan) apakah yang bunuh diri itu mereka yang miskin dan tak punya apa-apa? Rata-rata yang mati bunuh diri justru mereka yang melimpah dari segi materi dan punya jabatan dan kedudukan yang tinggi. Ini dampak kalau sudah merasa hebat dari Tuhan dan menganggap agama tidak penting karena paradigma salah mereka yang mengatakan agama adalah hal yang paling mengekang mereka untuk Liberti, bebas.
Wallahu a’lam bish showwab