MENYIKAPI POLEMIK PENDIRIAN RUMAH IBADAH SECARA HUKUM

MENYIKAPI POLEMIK PENDIRIAN RUMAH IBADAH SECARA HUKUM

By Fauzan Zakir, S.H., M.H.

Polemik Pendirian Rumah Ibadah

Polemik pendirian rumah ibadah di Indonesia seringkali menjadi topik yang sangat sensitif dan kontroversial. Perdebatan tentang hak untuk beribadah dan kebebasan beragama seringkali berbenturan dengan kepentingan masyarakat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari satu sisi, ada argumen bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk beribadah dan membangun rumah ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing, sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa pendirian rumah ibadah dapat mengganggu ketertiban masyarakat dan menimbulkan konflik dengan kelompok lain yang memiliki keyakinan yang berbeda.

Maraknya konflik terkait pendirian rumah ibadah, baik dahulu dan sekarang terus menggelinding bagaikan snowball effect yang bisa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa lagi, bila pemangku kekuasaan tidak atau pemerintah tidak menanganinya secara cepat dan tepat, maka dikuwatirkan akan bermunculan modus-modus baru oleh oknum-oknum tertentu atau komunitas tertentu yang menunggangi kepentingannya atau komunitasnya dengan cara menciptakan stikma negative terhadap komunitas lainnya. Bila hal ini terus dibiarkan, maka akan menggerus dan mengembosi sistim kebhinekaan bangsa yang selama ini hidup damai berdampingan, rukun dan harmonis, sebagai bagian dari kekayaan khasanah budaya bangsa.

 

Dasar Hukum Pendirian Rumah Ibadah

Dalam menyikapi polemik ini, penting untuk memahami kerangka hukum yang berlaku di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan beragama dan beribadah, namun juga menentukan bahwa kebebasan ini harus dijalankan dengan tidak mengganggu ketertiban masyarakat lainnya.

Peraturan lain seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberian Izin Pendirian Rumah Ibadat, dan Pendirian Lembaga Keagamaan, memberikan pedoman yang lebih spesifik tentang bagaimana proses pendirian rumah ibadah harus dilakukan.

Pendirian rumah ibadah, wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung serta memenuhi persyaratan yang meliputi adanya dukungan dari masyarakat setempat minimal 60 orang yang disahkan oleh pihak kelurahan, data nama dan KTP pengguna rumah ibadah yang akan dibangun dengan minimal 90 orang, kemudian mendapatkan rekomendasi dari Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB) dan Kantor Kemeterian Agama.

Namun, implementasi peraturan ini seringkali menjadi masalah. Proses perizinan yang rumit dan tidak transparan dapat menyebabkan penundaan atau bahkan penolakan pendirian rumah ibadah, yang dapat memicu konflik dan ketegangan di masyarakat.

 

Konsekuensi Hukum Pendirian Rumah Ibadah

Satu diantara kepentingan nasional yang esensial secara konstitusional adalah melindungi segenap bangsa  dan seluruh tumpah darah yang berprinsif menjamin semua kepentingan segenap bangsa berjalan sesuai rule of law yang berkeadilan.

Pendirian rumah ibadah di Indonesia dapat memiliki konsekuensi hukum yang signifikan, baik bagi masyarakat maupun bagi pemerintah. Berikut beberapa konsekuensi hukum yang mungkin timbul:

  1. Izin Pendirian: Rumah ibadah harus memiliki izin pendirian yang sah dari pemerintah daerah. Jika tidak, maka pendirian rumah ibadah dapat dianggap ilegal dan dapat dikenakan sanksi hukum.
  2. Konflik dengan Masyarakat: Pendirian rumah ibadah dapat menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar, terutama jika tidak ada komunikasi yang efektif antara pihak pendiri rumah ibadah dan masyarakat. Konflik ini dapat berujung pada tuntutan hukum atau bahkan kekerasan.
  3. Tuntutan Hukum: Jika pendirian rumah ibadah dianggap tidak sah atau melanggar hak-hak masyarakat lain, maka dapat timbul tuntutan hukum terhadap pihak pendiri rumah ibadah.
  4. Sanksi Hukum: Jika rumah ibadah didirikan tanpa izin yang sah atau melanggar peraturan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi hukum, seperti denda atau bahkan penutupan rumah ibadah.
  5. Pengawasan Pemerintah: Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengawasi pendirian dan operasional rumah ibadah untuk memastikan bahwa kegiatan keagamaan dilakukan secara tertib dan tidak mengganggu ketertiban masyarakat.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa pendirian rumah ibadah harus dilakukan dengan memperhatikan hak-hak masyarakat lain dan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, akibat buruk secara hukum dapat diminimalisir dan kegiatan keagamaan dapat terus dilakukan secara damai, rukun  dan tertib.

Regulasi yang mensyaratkan izin tertentu dalam pendirian rumah ibadah pada prinsifnya menimbulkan konsekuensi hukum tersendiri bagi penganut  agama yang berbeda, baik yang mayoritas maupun yang minoritas. Izin mendirikan rumah ibadah diberikan untuk melindungi kepentingan segenap bangsa, baik terhadap penganut agama yang mayoritas maupun yang minoritas secara berkeadilan. Sehingga penganut agama yang mayoritas pada satu wilayah tidak membuatnya menjadi sewenang-wenang, sementara yang minoritas tetap tau diri.

Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pendirian rumah ibadah yang sah dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, dapat tercipta kerukunan dan harmoni antara masyarakat yang berbeda-beda keyakinan.

Pemenuhan persyaratan legal dalam memberikan izin pendirian rumah ibadah menjadi filter bagi pemangku kebijakan untuk menilai layak tidaknya pendirian rumah ibadah di suatu daerah, baik kabupaten dan kota. Pentingnya pengurusan Izin mendirikan rumah ibadah ditujukan supaya terlaksananya ketertiban hukum. Oleh sebab itu izin yang dimaksud dengan pendirian rumah ibadah tersebut harus berdasarkan hukum, yakni sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Artinya jangan dulu dijustifikasi bahwa adanya konflik horizontal dalam hal membangun rumah peribadatan, misalnya seperti pengrusakan terhadap bangunannya, maka langsung dilabelisasi dengan intoleransi. Sebab intoleransi itu sendiri juga mencakup tentang itikad baik dari penganut agama yang sedang berproses dalam membangun rumah ibadah. Artinya bila rumah ibadah yang dibangun itu secara ilegal, maka penganut agama yang membangun rumah ibadah illegal tersebut dapat dikategorikan pelaku intoleransi. Sebab demikian, maka semua aspek  legal harus terpenuhi dalam pendirian rumah ibadah.

Sekiranya belum ada izin atas pembangunan rumah ibadah tersebut (ilegal), maka tentu perusakannya yang dilakukan oleh pihak lain yang berseberangan,  maka konsekuensinya secara hukum masih dikategorikan merusak bangunan saja, bukan termasuk kategori tindak pidana merusak tempat ibadah yang dapat dilabelisai dengan istilah intoleransi.

Justru sebaliknya, perbuatan membangun rumah ibadah dan rumah pendidikan serta rumah doa dan penamaan peribadatan lainnya secara tanpa izin atau secara ilegal adalah perilaku intoleransi dan sekaligus perbuatan melawan hukum. Sebab perbuatan illegal mengganggu ketertiban masyarakat dan menimbukan kerugian terhadap hak warga penganut agama yang berbeda. Selain juga melanggar ketentuan hukum yang dilakukan oleh komunitas yg membangun rumah ibadah tersebut secara ilegal.

Negara Indonesia adalah negara hukum yang dalam memberlakukan hukum pidana menganut asas legisme atau positivisme. Dalam konteks ini, penting untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mempromosikan dialog dan kerja sama antara kelompok-kelompok yang berbeda untuk mencapai solusi yang adil dan damai. Dengan demikian, polemik pendirian rumah ibadah dapat diatasi dengan cara yang konstruktif dan menghormati hak-hak semua pihak. Termasuk menghormati hukum adat setempat.

Penulis adalah Kepala Bidang Pendirian Rumah Ibadah Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB) Propinsi Sumatera Barat

Leave a Reply