MERDEKA, AMANAH TAK TERCELA

MERDEKA, AMANAH TAK TERCELA

Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol

 

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah anugerah besar yang patut kita syukuri. Kemerdekaan ini bukanlah hadiah yang datang begitu saja, melainkan buah dari keringat, darah, dan doa para pejuang bangsa. Mereka mewariskan negeri yang berdiri tegak di atas fondasi persatuan dan keyakinan bahwa masa depan harus lebih baik dari masa lalu.

Namun, sejarah juga mengajarkan bahwa mempertahankan kemerdekaan jauh lebih sulit daripada merebutnya. Inilah makna tema “Merdeka, Amanah Tak Tercela”. Kata merdeka mengingatkan kita pada perjuangan para pahlawan yang membebaskan bangsa dari belenggu kolonialisme. Sedangkan amanah tak tercela adalah pesan moral untuk setiap generasi: jangan khianati kemerdekaan dengan sikap dan kepemimpinan yang merusak kepercayaan rakyat.

Amanah berarti memegang tanggung jawab dengan jujur, adil, dan tulus. Dalam kehidupan berbangsa, amanah itu terwujud dalam:

Pemimpin yang setia pada rakyat, bukan pada kepentingan pribadi atau kelompok.

Warga negara yang menjaga kerukunan, saling menghargai perbedaan, dan bekerja keras untuk kemajuan bersama.

Generasi muda yang menyiapkan diri dengan ilmu, akhlak, dan karakter untuk membawa Indonesia melangkah lebih jauh.

Hari ini, di tengah derasnya arus globalisasi dan tantangan digital, kita diingatkan bahwa bangsa ini tidak boleh goyah. Korupsi, perpecahan, dan lemahnya karakter adalah “penjajahan baru” yang harus dilawan bersama. Jalan keluarnya sederhana tapi mendasar: kembalilah pada amanah.

Merdeka tanpa amanah hanyalah kebebasan kosong. Tapi merdeka dengan amanah yang tak tercela akan melahirkan bangsa yang kuat, berdaulat, sejahtera, dan bermartabat.

Mari kita isi kemerdekaan ini dengan karya, kejujuran, dan solidaritas. Dengan begitu, doa yang terlantun pada HUT ke-80 Indonesia—“Merdeka, Amanah Tak Tercela”—bukan sekadar kata, melainkan komitmen nyata yang hidup dalam diri setiap anak bangsa.

Wajah Gelap Kemerdekaan

Hari ini, rakyat menyaksikan bagaimana koruptor berdasi tersenyum di ruang sidang, mendapat hukuman ringan, bahkan menikmati fasilitas mewah di balik jeruji. Sementara itu, rakyat kecil terhukum berat karena mencuri kakao, kayu bakar, atau sekadar listrik untuk bertahan hidup. Inilah ironi: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Negara seakan gagap menghadapi kejahatan terorganisir, sementara aparat hukum sering terseret arus kepentingan politik. Padahal pesan agama tegas:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58).

Belajar dari Negara Lain

Indonesia bukan satu-satunya bangsa yang pernah dicengkeram korupsi. Namun, yang membedakan adalah komitmen politik dan moral dalam memberantasnya.

Korea Selatan pernah mengalami rezim otoriter dengan korupsi menggurita. Namun, reformasi hukum dan keberanian menindak mantan presiden serta pejabat tinggi menandai lahirnya pemerintahan yang lebih bersih. Hukum tidak berhenti pada rakyat kecil; ia berani menjerat elit.

Singapura di era awal kemerdekaannya juga menghadapi persoalan korupsi serius. Namun, kepemimpinan Lee Kuan Yew menjadikan integritas sebagai fondasi. Korupsi ditindak tanpa pandang bulu, gaji pejabat diseimbangkan dengan tanggung jawab, dan budaya hukum ditegakkan ketat. Kini, Singapura dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia.

Dua contoh itu menunjukkan, korupsi bukan takdir bangsa. Ia bisa diberantas jika ada kemauan politik, konsistensi hukum, dan keberanian moral.

Amanah sebagai Jalan Kemerdekaan Sejati

Indonesia memiliki sumber daya melimpah, penduduk besar, dan sejarah gemilang. Namun, semua itu akan sia-sia jika amanah terus dikhianati. Amanah yang tercela akan melahirkan kemiskinan, ketidakadilan, dan keterbelakangan. Sebaliknya, amanah yang dijaga dengan integritas akan membawa bangsa ini menuju peradaban besar.

Tema “Merdeka, Amanah Tak Tercela” adalah panggilan sejarah: kita tidak boleh lagi berpuas diri dengan upacara seremonial, sementara wajah bangsa dicoreng oleh korupsi dan hukum diskriminatif. Sudah saatnya bangsa ini belajar dari yang lain—bahwa kemerdekaan sejati hanya terwujud jika kita berani melawan pengkhianatan amanah.

Merdeka berarti bebas dari penjajahan asing, tetapi merdeka sejati berarti bebas dari korupsi, bebas dari hukum yang pilih kasih, bebas dari pengkhianatan pada rakyat.

Jika Singapura dan Korea Selatan bisa membuktikan diri keluar dari jerat korupsi, mengapa Indonesia tidak? Kita hanya membutuhkan satu hal: keberanian moral untuk menegakkan amanah tak tercela. Upacarahutri80sungaibangek17082025.