POLARISASI PAHAM KEAGAMAAN DI TENGAH KEBHINIKAAN Oleh: Duski Samad

POLARISASI PAHAM KEAGAMAAN DI TENGAH KEBHINIKAAN

Oleh: Duski Samad
Refleksi Promosi Febri Malfi Desain Kurikulum MK Kepertian MTI TI, Kamis, 11 Juni 2025

 

Kebijakan pendidikan Islam khususnya Madrasah langsung atau tak langsung telah mengurangi bobot pembelajaran agama di Madrasah. MTI sebagai Madrasah yang bervisi paham ahlussunah wal jamaah, Syafi’i dan tasawuf jam pembelajaran kepertian berkurang. Kebijakan
Di tengah derasnya arus globalisasi dan pertukaran budaya, dunia saat ini membutuhkan generasi muda yang mampu hidup dalam keberagaman, berpikir terbuka, dan menjunjung tinggi nilai toleransi. Generasi ini sering disebut sebagai generasi berkebhinikaan global—yakni anak-anak muda yang siap berinteraksi lintas budaya, lintas iman, dan lintas bangsa tanpa kehilangan identitas diri.

Namun, di sisi lain, tantangan besar muncul dari dalam paham keagamaan yang terpolarisasi. Apa artinya? Ini adalah cara pandang beragama yang ekstrem, sempit, dan eksklusif, yang hanya mengakui kebenaran kelompok sendiri dan menolak bahkan mencurigai keberadaan orang lain yang berbeda.

Polarisasi keagamaan bukan sekadar perbedaan pendapat dalam mazhab atau aliran, tapi bisa tumbuh menjadi bibit-bibit fanatisme, intoleransi, hingga radikalisme. Jika ini dibiarkan merasuki generasi muda, dampaknya sangat serius.

Mereka tumbuh menjadi pribadi yang anti dialog dan tertutup terhadap perbedaan. Mudah terjebak dalam narasi permusuhan, baik terhadap sesama umat maupun antaragama.

Kesulitan beradaptasi di lingkungan global yang plural, seperti dunia akademik internasional, bisnis multikultural, atau media digital.

Ironisnya, mereka yang dididik dengan semangat sempit justru tidak mampu tampil percaya diri di tengah masyarakat dunia. Alih-alih membawa Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin), mereka malah memproyeksi kan wajah Islam yang penuh curiga dan eksklusif.

Meneguhkan Jalan Tengah.
Dalam Islam sendiri, moderasi (wasathiyah) bukan hal baru. Nabi Muhammad saw. mengajarkan keseimbangan antara keyakinan yang kokoh dan akhlak yang mulia kepada siapa pun, termasuk yang berbeda keyakinan. Generasi sahabat pun hidup berdampingan dalam masyarakat yang beragam.

Kita butuh pendekatan tafaqquh fiddin yang cerdas—yakni memahami agama secara mendalam, tetapi juga membuka ruang dialog, menghargai konteks zaman, dan menjauhi ujaran kebencian.

Peran Pendidikan dan Ulama Tradisional.
Lembaga pendidikan seperti pesantren, madrasah, dan ormas keagamaan tradisional seperti PERTI memiliki warisan berharga: agama yang santun, berakar, dan terbuka. Tradisi keilmuan ini harus diperkuat kembali sebagai penangkal paham-paham yang memecah belah.

Lebih dari sekadar hafalan atau retorika, anak muda perlu diajak mengalami spiritualitas yang membentuk kepribadian inklusif dan adil.

Akhirnya: Bangun Generasi Global yang Kuat dan Berakar

Generasi berkebhinikaan global bukanlah generasi yang gamang identitas. Mereka justru berakar kuat pada nilai-nilai agama dan budaya, namun mampu membentangkan jembatan untuk dunia. Mereka tidak larut dalam ekstremisme, tetapi juga tidak tercerabut dari akarnya.

Mereka inilah yang akan menjadi wajah Islam masa depan cerdas, ramah, dan berdaya saing global.

GENERASI KEBHINIKAAN
Generasi berkebhinikaan global adalah generasi yang mampu hidup, berpikir, dan berinteraksi dalam dunia yang majemuk—baik secara budaya, agama, etnis, maupun sistem nilai—dengan semangat toleransi, inklusivitas, dan tanggung jawab global. Pandangan saya terhadap konsep ini mencakup beberapa hal penting:
1.Positif: Sebuah Keniscayaan Era Globalisasi.
Dunia hari ini saling terhubung; tidak mungkin satu bangsa hidup terisolasi. Generasi berkebhinikaan global mampu menjembatani perbedaan, membuka dialog, dan membangun kolaborasi lintas identitas. Ini mendukung perdamaian, kemajuan ilmu, dan ekonomi lintas negara.

2.Tantangan: Identitas Lokal Bisa Tergerus. Tanpa fondasi nilai yang kuat, generasi ini bisa kehilangan akar budayanya. Bisa terjadi globalisasi nilai yang hegemonik—misalnya dominasi budaya konsumerisme, sekularisme, atau nilai-nilai yang bertentangan dengan agama dan tradisi lokal.

3.Solusi: Keseimbangan Lokal-Global (Glocalism)
Generasi ini perlu memiliki jati diri lokal yang kokoh, lalu berkoneksi dengan dunia global secara cerdas. Di Indonesia, misalnya, Pancasila dan kearifan lokal seperti musyawarah, gotong royong, serta ajaran agama menjadi fondasi penting.
4.Peran Pendidikan.
Pendidikan harus menanamkan kesadaran keberagaman, literasi antarbudaya, dan etos berpikir kritis dan kolaboratif.

Madrasah, Sekolah dan pesantren bisa menjadi basis pembinaan generasi ini—asal tetap menjaga prinsip, bukan sekadar ikut tren global.

5.Relevansi Islam dan Tradisi wasathiyah.
Islam rahmatan lil ‘alamin adalah fondasi spiritual dan moral generasi ini.
Tradisi Islam wasathiyah seperti dalam PERTI, NU, Muhammadiyah, dan tarekat—adalah modal kuat untuk membentuk generasi global yang tetap berakhlak.

Analisis: Pendidikan dan Tantangan Kebhinikaan
1.Konteks Kebijakan dan Dampaknya terhadap MTI
Kebijakan pendidikan nasional, khususnya dalam sistem madrasah, mengalami pergeseran signifikan seiring arus modernisasi kurikulum. Fokus pada penguatan sains, teknologi, dan keterampilan abad ke-21 secara tidak langsung mengurangi alokasi dan bobot pembelajaran agama. Di MTI—yang lahir dan tumbuh dari semangat tafaqquh fiddin dan paham Aswaja Syafi’iyah—pengurangan jam pelajaran Kepertian bukan sekadar soal teknis, tapi mengikis ruh dan identitas madrasah itu sendiri.

2.Polarisasi Keagamaan dan Generasi Berkebhinikaan.
Tantangan yang lebih berat muncul dari dalam: menguatnya paham keagamaan yang terpolarisasi—yakni cara berpikir sempit, kaku, eksklusif, bahkan cenderung intoleran. Dalam konteks generasi berkebhinikaan global, polarisasi semacam ini sangat kontras dengan semangat keterbukaan, dialog, dan kolaborasi yang justru dibutuhkan anak muda hari ini.
Generasi muda yang terpapar paham eksklusif.
Tidak siap hidup berdampingan dalam masyarakat plural.

Sulit menembus jaringan global yang menuntut toleransi dan empati. Cenderung mudah larut dalam konflik identitas dan propaganda ideologis.

3.Pendidikan sebagai Wahana Membentuk Kesadaran Global dan Akhlak Lokal.
Dalam situasi ini, pendidikan—terutama madrasah dan pesantren—harus memainkan peran sentral. Ia bukan hanya mengajar ilmu, tapi membentuk kesadaran diri dan arah pergaulan lintas batas. Maka kurikulum Kepertian tidak boleh diabaikan. Ia menjadi ruang strategis untuk.

Menanamkan nilai-nilai Aswaja yang ramah dan inklusif. Memperkenalkan sejarah dan tradisi ulama Nusantara yang wasathiyah. Melatih akhlak dialogis, tanggung jawab sosial, dan spiritualitas tasawuf.

Kesimpulan: Meneguhkan Akar Lokal, Menyongsong Dunia Global.
Generasi berkebhinikaan global adalah anak muda yang hidup di era digital, terhubung lintas dunia, dan dituntut berpikir luas. Namun mereka tetap membutuhkan akar nilai: spiritualitas, akhlak, dan identitas kultural yang kokoh. Tanpa itu, mereka akan mudah hanyut dalam arus globalisasi tanpa arah.

Polarisasi paham keagamaan adalah ancaman laten. Ia memisahkan umat, menebalkan tembok kecurigaan, dan mengaburkan esensi Islam sebagai rahmat.

Karena itu, pendidikan Kepertian harus direvitalisasi sebagai kurikulum penguat iman, pemersatu umat, dan penuntun hidup dalam dunia yang plural.

Madrasah Tarbiyah Islamiyah harus tetap menjadi rumah tafaqquh fiddin yang terbuka dan mendalam, menyiapkan generasi yang mampu berkata tegas dalam akidah, bersikap bijak dalam perbedaan, dan bersikap aktif di tengah tantangan global.“Berakar di bumi, menjulang ke langit. Itulah generasi kebhinikaan yang sejati.”DS.11062025.

Leave a Reply