POLITIK TANPA MARWAH DAN RUSAKNYA BARISAN OPURTUNIS
Oleh:
Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol
Tulisan ini hadir mengikuti prilaku tokoh, kader dan aktivis Partai yang mengusung nama Islam, memprihatin kan sekali tawuran saat Muktamar.
Tokoh senior dan kader muda muslim fasih membaca ayat dan hadis, sayang lepas kendali dalam mendapatkan simpati untuk mendudukkan pimpinannya dengan berbagai argumen dan “jualan” masing-masing.
Kalah dalam pertarungan ide, gagasan dan program, kaum opurtunis lari dari medan perang, membentuk kepengurusan dengan kelompoknya saja.
Marwah dalam tradisi Islam merujuk pada kehormatan, harga diri, dan integritas moral. Politik tanpa marwah berarti politik yang kehilangan ruh etika, tidak lagi berbasis amanah dan perjuangan umat, tetapi berubah menjadi arena kepentingan pribadi dan kelompok.
Fenomena yang tampak di Indonesia, khususnya di tubuh umat Islam, adalah munculnya barisan oportunis, aktor politik dan aktivis yang rela menjilat penguasa, berpindah arah demi jabatan, dan menjual prinsip agama demi popularitas.
Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2]: 42: mengingat…
“Dan janganlah kamu campur-adukkan kebenaran dengan kebatilan, dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, sedang kamu mengetahui.”
Teguran keras Allah swt bagi mereka yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan duniawi. Dalam
Al-Maidah [5]: 8:
“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
Walau harus diingat juga bahwa kehilangan marwah politik sering muncul dari ketidakadilan dan kepentingan sesaat.
Hadis Nabi memuat …
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya, di mana pendusta dipercaya, orang jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah, dan orang yang amanah dianggap khianat. Dan akan berbicara pada waktu itu orang-orang yang disebut Ruwaibidhah.”
Para sahabat bertanya, “Siapakah Ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang bodoh yang berbicara dalam urusan masyarakat.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menegaskan ciri politik tanpa marwah: ketika yang tidak layak justru menguasai panggung.
Pandangan ulama Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menyebut bahwa politik tanpa akhlak dan marwah adalah sumber kerusakan umat.
Ibnu Taimiyyah menekankan bahwa “Keadilan adalah tiang penopang pemerintahan, sekalipun pemimpin itu kafir; sementara kezaliman adalah penyebab kehancuran, sekalipun pemimpin itu Muslim.”
KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah memperingatkan ulama dan aktivis agar tidak tunduk kepada kekuasaan zalim karena itu mengkhianati umat.
Fenomena barisan oportunis muncul dari beberapa faktor:
1.Pragmatisme Politik.Politik dilihat hanya sebagai jalan untuk mendapat kursi, jabatan, atau proyek, bukan sebagai sarana memperjuangkan nilai.
2.Krisis Ideologi dan Integritas
Partai Islam maupun aktivis Muslim sering kehilangan arah perjuangan. Ideologi digantikan oleh kepentingan sesaat.
3.Budaya Patronase dan Transaksional
Dalam banyak kasus, loyalitas kepada penguasa lebih diprioritaskan ketimbang loyalitas kepada umat atau cita-cita Islam.
4.Keterpukauan pada Kekuasaan
Istilah Minang “terpukau kilek loyang” sangat tepat: terpukau oleh kilau kekuasaan yang semu, namun kehilangan prinsip.
5.Dampak Politik Tanpa Marwah
Hilangnya kepercayaan publik terhadap tokoh agama dan politik.
Suburnya politik transaksional yang mengabaikan kepentingan rakyat kecil. Degradasi akhlaq dan kepemimpinan umat. Terjadinya fragmentasi dan kebingungan di tengah umat Islam.
SOLUSI
1.Kembali pada Politik Bermarwah.
Politik harus diletakkan sebagai ibadah, amanah, dan perjuangan umat, bukan arena transaksional.
2.Penguatan Etika dan Integritas Aktivis Muslim
Melalui pendidikan politik berbasis aqidah, akhlak, dan syariat.
3.Revitalisasi Ormas Islam. Agar tidak menjadi kendaraan elit, melainkan benteng moral bagi umat.
4.Kontrol Sosial Umat
Masyarakat harus berani mengkritisi tokoh yang kehilangan marwah, serta menolak barisan oportunis yang hanya menjilat penguasa.
Politik tanpa marwah adalah politik yang kehilangan orientasi ilahiah dan akhlak, sementara barisan oportunis adalah produk dari krisis integritas. Dalam Islam, politik adalah amanah untuk menegakkan keadilan, bukan ruang untuk menjilat penguasa.
Solusi utamanya adalah mengembalikan politik pada nilai-nilai Islam, keadilan, dan marwah kepemimpinan, sehingga umat tidak lagi dikhianati oleh para oportunis yang bersembunyi di balik jargon perjuangan.
TOKOH PENJILAT
Fenomena munculnya tokoh “penjilat penguasa” bukanlah hal baru dalam sejarah politik umat Islam. Dalam istilah politik modern, hal ini dikenal sebagai opportunism—yakni kecenderungan mengorbankan prinsip dan idealisme demi keuntungan sesaat. Dalam Islam, sikap demikian bertentangan dengan amanah, akhlak, serta tanggung jawab kepemimpinan.
Larangan menjual prinsip agama demi dunia:
“Dan janganlah kamu menjual perjanjian dengan Allah dengan harga yang sedikit…” (QS. An-Nahl [16]: 95).
Ciri orang munafik:
“Mereka itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat…” (QS. Al-Baqarah [2]: 86).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa mendukung penguasa zalim demi kepentingan duniawi adalah bentuk pengkhianatan terhadap iman.
Hadis Nabi
“Akan datang sesudahku para pemimpin yang zalim, siapa yang membenarkan kedustaan mereka dan menolong kezalimannya, maka ia bukan golonganku, dan aku bukan golongannya…” (HR. Ahmad, al-Nasā’ī).
Hadis ini mengkritik keras perilaku penjilat penguasa yang melanggengkan kezaliman.
Pandangan Ulama Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menjelaskan bahwa ulama yang dekat dengan penguasa zalim demi keuntungan duniawi disebut ulama su’ (ulama buruk).
Ibnu Taimiyah menegaskan: siapa pun yang mendukung kezaliman berarti ikut serta dalam dosa dan kehancuran masyarakat.
Fatwa kontemporer (Majma‘ Fiqh Islami, Makkah, 2007): haram hukumnya ulama atau aktivis muslim menjual fatwa atau sikap untuk membenarkan kebijakan penguasa zalim.
Politik Praktis
Fenomena penjilat penguasa dalam konteks politik muslim lahir dari beberapa faktor:
1.Pragmatisme politik – Orientasi survival lebih dominan daripada idealisme dakwah.
2.Keterikatan pada materi dan jabatan – Kekuasaan dianggap sebagai jalan cepat untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok.
3.Budaya patron-klien – Sistem politik berbasis kedekatan dengan elite membuat loyalitas pada penguasa lebih utama daripada loyalitas pada prinsip.
4.Lemahnya ideologi perjuangan – Aktivis muslim yang tidak memiliki fondasi aqidah dan visi kokoh mudah menjadi yes-man kekuasaan.
KESIMPULAN
Fenomena politik umat Islam hari ini memperlihatkan wajah yang memprihatinkan: tokoh, kader, dan aktivis partai Islam fasih membaca ayat dan hadis, tetapi kehilangan kendali saat berebut kursi dan jabatan. Tawuran dalam muktamar, manuver politik, dan pembentukan kepengurusan tandingan hanyalah tanda dari politik tanpa marwah, yakni politik yang kehilangan ruh amanah, akhlak, dan integritas.
Politik tanpa marwah melahirkan barisan oportunis: mereka yang rela menjilat penguasa, berpindah haluan demi jabatan, serta menjual prinsip agama untuk popularitas. Al-Qur’an telah mengingatkan:
“Dan janganlah kamu campur-adukkan kebenaran dengan kebatilan…” (QS. Al-Baqarah [2]:42)
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah [5]:8)
Hadis Nabi juga menegaskan akan muncul “Ruwaibidhah”: orang-orang bodoh yang berbicara dalam urusan masyarakat, sementara yang amanah dipinggirkan (HR. Ibnu Majah).
Para ulama klasik dan kontemporer menilai bahwa politik tanpa akhlak adalah pangkal kerusakan:
Al-Ghazali menyebutnya sebagai “politik rusak” yang menghancurkan umat.
Ibnu Taimiyyah menekankan bahwa keadilan menopang pemerintahan, sementara kezaliman menghancurkannya.
KH. Hasyim Asy’ari memperingatkan ulama dan aktivis agar tidak tunduk pada penguasa zalim.
Fenomena ini diperparah oleh pragmatisme politik, krisis ideologi, budaya patronase, keterpukauan pada kekuasaan, hingga hilangnya orientasi perjuangan umat. Akibatnya, kepercayaan publik runtuh, politik transaksional subur, dan umat semakin bingung menentukan arah.
Namun, solusi tetap terbuka:
1.Mengembali kan politik pada marwah – menjadikannya ibadah, amanah, dan perjuangan umat.
2.Mendidik aktivis dengan etika dan integritas Islam – agar kebal dari oportunisme.
3.Revitalisasi ormas Islam – agar menjadi benteng moral, bukan kendaraan elit.
4.Kontrol sosial umat – berani menolak penjilat dan oportunis yang menjual prinsip.
Akhirnya, politik tanpa marwah dan barisan oportunis hanya akan menghancurkan umat bila dibiarkan. Politik Islam sejati adalah politik bermartabat: tegak di atas keadilan, amanah, dan keberpihakan pada rakyat. Kemenangan sejati bukanlah merebut kursi, tetapi menegakkan marwah kepemimpinan umat di hadapan Allah dan sejarah. DS. 01102025.