PONDOK PESANTREN: Akar Toleransi dan Stigma Terorisme Pasca Issues Global

Artikel Tokoh302 Views

PONDOK PESANTREN:
Akar Toleransi dan Stigma Terorisme Pasca Issues Global

Oleh: Duski Samad
Dosen Pengampu MK Islam Keindonesiaan dan Kebangsaan Prodi Studi Islam Program Doktor (S3) UIN Imam Bonjol

Toleransi dalam pesantren berakar kuat pada tradisi, nilai, dan metodologi pendidikan Islam Nusantara yang khas yakni Pondok Pesantren.
Akar Toleransi dalam Pesantren dapat dipahami dari beberapa jejak sejarah antara lain.
1.Warisan Ulama Nusantara.
Toleransi dalam pesantren merupakan warisan dari para ulama besar Nusantara seperti Sunan Kalijaga, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan KH Hasyim Asy’ari. Mereka memadukan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal tanpa menghilang kan esensi tauhid, menciptakan wajah Islam yang ramah dan inklusif.

2.Tradisi Kitab Kuning. Kitab-kitab klasik (turats) yang diajarkan di pesantren, seperti:
Ta’lim al-Muta’allim (tentang adab mencari ilmu), Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali,
Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim karya Syekh Zarnuji, semuanya mengajarkan etika, kesabaran, sikap saling menghormati antar pelajar, guru, dan masyarakat. Ini membentuk fondasi sikap toleran yang kuat.

3.Metode Talaqqi dan Musyawarah. Pembelajaran tradisional dengan talaqqi (tatap muka langsung dengan guru) dan sistem musyawarah (diskusi terbuka) mengembang kan budaya mendengar, menghormati pendapat orang lain, dan membiasakan santri menerima perbedaan fiqih (ikhtilaf).

4.”Khidmah” dan “Ukhuwah”
Khidmah. (pengabdian) kepada kiai, sesama, dan masyarakat, menanamkan sikap rendah hati dan siap melayani.

Ukhuwah (persaudaraan) dibina lintas kelompok: ukhuwah Islamiyah, wathaniyah, dan insaniyah. Toleransi lahir dari semangat persaudaraan sesama makhluk Allah.

5.Kiai, Buya dan Tuan Guru sebagai Penjaga Harmoni.
Kiai, Buya dan Tuan Guru di pesantren bukan sekadar guru, tapi panutan sosial. Mereka kerap menjadi mediator konflik, penyejuk dalam kerusuhan, dan pemersatu dalam keberagaman—seperti peran para ulama NU di masa kemerdekaan hingga kini.

6.Multikulturalisme Alamiah. Pesantren dihuni santri dari berbagai daerah, suku, bahasa, dan latar belakang sosial. Interaksi antar-santri menumbuhkan toleransi dalam praktik sehari-hari: berbagi ruang, makanan, ibadah, dan tradisi.

Jelas bahwa akar toleransi di pesantren tumbuh dari kombinasi ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin, warisan ulama moderat, tradisi pendidikan kitab kuning, dan kearifan budaya lokal. Inilah yang menjadikan pesantren sebagai benteng Islam moderat yang mampu merawat kebhinekaan Indonesia secara otentik dan berkelanjutan.

STIGMA TERHADAP PESANTREN
Pasca tragedi 11 September 2001 dan rentetan aksi terorisme global yang melibatkan sebagian individu berlatar belakang pendidikan agama, pesantren di Indonesia turut terdampak oleh stigma dan sorotan negatif.

Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua dan berakar dalam tradisi lokal, pesantren menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan identitas keagamaannya sembari menjawab isu intoleransi dan radikalisme yang berkembang.

1.Stigma dan Tantangan Pasca Terorisme Global.
Sejumlah pesantren seperti Al-Mukmin Ngruki, Al-Islam di Lamongan, atau pesantren-pesantren yang diasosiasikan dengan gerakan transnasional sering dikaitkan dengan bibit radikalisme. Padahal, mayoritas pesantren di Indonesia mengajarkan Islam moderat (wasathiyah), berlandaskan akhlak, fiqh, dan tasawuf.

Tantangan yang muncul antara lain: Stigmatisasi terhadap lulusan pesantren sebagai calon “radikalis”. Pemeriksaan ketat terhadap kurikulum dan buku ajar. Pembatasan akses bantuan atau kerja sama internasional. Tekanan terhadap kiai dan santri dalam aktivitas dakwah.

2.Respons dan Transformasi Pesantren
Di tengah tekanan itu, banyak pesantren justru melakukan transformasi positif di antaranya:
1.Reformasi Kurikulum: Pesantren mulai mengintegrasikan materi kewarga negaraan, HAM, toleransi antarumat, dan multikulturalisme dalam pelajaran akidah atau fiqih.

2.Dialog dan Kolaborasi: Pesantren membuka ruang dialog antaragama, bekerja sama dengan lembaga internasional, dan membangun kemitraan dengan LSM untuk pendidikan perdamaian. Peran Pesantren sebagai Agen Perdamaian: Banyak pesantren, seperti Pondok Pesantren Tebuireng, Gontor, dan Al-Hikam, aktif dalam gerakan deradikalisasi dan pendidikan kebangsaan.

3.Moderasi Beragama sebagai Arus Utama. Didorong oleh program pemerintah melalui Kemenag dan BNPT, wacana moderasi beragama menjadi arus utama dalam pesantren. Moderasi ini dipahami bukan sebagai kompromi akidah, tetapi sikap adil, seimbang, dan menghargai perbedaan.

Pesantren menjadi laboratorium penting dalam membentuk generasi muda muslim yang toleran, cinta tanah air, dan berwawasan global.

4.Toleransi dalam Tradisi Pesantren.
Tradisi pesantren sejak awal telah mengenal toleransi: Kitab Kuning seperti Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim dan Ta‘lim al-Muta‘allim mengajarkan adab dan sikap hormat terhadap guru dan sesama. Sistem halaqah mengajar kan diskusi dan keterbukaan pendapat.

Kiai tradisional kerap menjadi tokoh penengah dalam konflik sosial, menunjukkan peran pesantren dalam merawat kerukunan.

ABU BAKAR BA’ASYIR DAN TERORISME
Abu Bakar Ba’asyir dan Pengaruhnya pada Pesantren Al-Mukmin Ngruki. Abu Bakar Ba’asyir adalah seorang tokoh Islam kelahiran Jombang, 17 Agustus 1938, yang dikenal luas sebagai pendakwah, pendiri pesantren, dan tokoh kontroversial terkait gerakan Islam garis keras di Indonesia. Ia merupakan alumni Gontor dan salah satu pendiri Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, bersama Abdullah Sungkar pada tahun 1972.

Pesantren Al-Mukmin Ngruki: Awal dan Visi Awalnya didirikan sebagai respons atas kekhawatiran terhadap sekularisasi pendidikan nasional, pesantren ini bertujuan mencetak generasi muslim militan yang memahami Islam secara kaffah.

Kurikulumnya menggabungkan pendidikan agama yang intensif dengan pelatihan ideologis—berlandaskan pemahaman salafi jihadi dalam versi Ba’asyir dan Sungkar.

Pengaruh Pemikiran Ba’asyir di Ngruki. Ideologi dan Pemurnian Tauhid:

Ba’asyir sangat menekankan tauhid uluhiyah dan penolakan terhadap segala bentuk sistem yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam, termasuk demokrasi dan nasionalisme. Hal ini memengaruhi narasi keislaman dalam lingkungan Ngruki, terutama dalam aspek loyalitas pada hukum Allah (syariat) dan pemahaman tentang al-wala’ wa al-bara’ (loyalitas dan permusuhan karena Allah).

Kaderisasi Militan:
Meskipun Ngruki tidak secara eksplisit mengajarkan kekerasan, banyak alumni yang kemudian terlibat dalam jaringan- jaringan Islamis radikal seperti Jamaah Islamiyah. Ini menunjukkan kuatnya pengaruh ideologi yang dibentuk di lingkungan pesantren tersebut.

Jaringan Dakwah dan Politik Global Islam: Ba’asyir membawa narasi bahwa umat Islam adalah satu kesatuan global (ummah) yang harus memperjuangkan tegaknya khilafah. Hal ini membentuk perspektif santri dan alumni Ngruki terhadap perjuangan Islam, terutama dalam konteks konflik global dan nasional.

Kontroversi dan Implikasinya:
Karena keterkaitan nama Ngruki dan Ba’asyir dengan aksi-aksi terorisme (misalnya Bom Bali 2002), pesantren ini kerap mendapat stigma negatif. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua pengasuh maupun santri mendukung aksi kekerasan.

Dalam perkembangannya, pihak pesantren berusaha menampilkan wajah yang lebih moderat secara administratif, namun tetap mempertahankan ideologi dasar yang kuat.

Pengaruh Jangka Panjang Ideologi:
Tetap menjadi pusat persemaian ideologi Islam transnasional.

Jaringan Alumni:
Alumni Ngruki tersebar di banyak tempat, beberapa menjadi tokoh pergerakan Islam, dosen, bahkan pemimpin organisasi.

Transformasi: Setelah reformasi, pesantren ini mengalami tekanan kuat dari negara, sehingga strategi dakwah dan pendidikannya mengalami adaptasi, meski ideologi pokok tetap terjaga.

Kesimpulan.
Pondok pesantren di Indonesia memiliki akar toleransi yang dalam dan kokoh, berakar pada tradisi keilmuan, adab, serta warisan ulama Nusantara yang memadukan Islam dan budaya lokal. Melalui kitab kuning, metode talaqqi dan musyawarah, serta praktik ukhuwah dan khidmah, pesantren menciptakan lingkungan multikultural yang kondusif untuk sikap inklusif dan damai.
Namun, pasca peristiwa terorisme global seperti 11 September 2001, pesantren menghadapi stigma sebagai sarang radikalisme, terutama yang diasosiasikan dengan ideologi transnasional seperti dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir dan Pesantren Al-Mukmin Ngruki. Meskipun demikian, mayoritas pesantren justru menjawab tantangan ini dengan melakukan transformasi positif melalui reformasi kurikulum, dialog lintas agama, serta pengarusutamaan moderasi beragama.

Pesantren pun semakin teguh menjadi agen perdamaian dan benteng Islam rahmatan lil ‘alamin di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.

Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan Islam, tetapi juga institusi strategis dalam menjaga toleransi, merawat kebhinekaan, dan membentuk generasi Muslim yang moderat, nasionalis, dan visioner secara global.
DS.10052025

Leave a Reply