Quo Vadis Seleksi Santri MTI:
Tawaran berbasis Ujian Penerimaan Santri Nasional LP3N PERTI
*Muhammad Sholihin*
_Jamaah PERTI Rejang Lebong_
Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) adalah warisan keilmuan yang tak ternilai bagi umat Islam di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat. Lahir dari semangat membumikan Islam yang moderat dan mendalam, MTI sejak awal dikenal sebagai pesantren yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ahlu Sunnah wal Jamaah, bermazhab Syafi’i, serta berpijak kuat pada tradisi Tarekat Naqshabandiyah. Melalui metode pendidikan yang menekankan kajian kitab kuning sebagai inti pembelajaran, MTI telah melahirkan banyak ulama, cendekiawan, dan tokoh masyarakat yang berpengaruh, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Namun, zaman bergerak cepat. Perubahan orientasi masyarakat terhadap pendidikan, ditambah arus globalisasi dan modernisasi yang kian kencang, membuat eksistensi pesantren-pesantren tradisional seperti MTI mulai tergerus. Salah satu dampaknya kini mulai terasa: jumlah santri yang mendaftar ke MTI menurun dari tahun ke tahun. Kekhawatiran pun muncul, bahwa jika tidak ada langkah strategis dan terukur, MTI bisa saja tertinggal dalam kompetisi lembaga pendidikan Islam yang kini tumbuh dengan pendekatan yang lebih modern.
Meski demikian, harapan belum hilang. Justru dalam situasi seperti inilah diperlukan pembaharuan cara pandang dan strategi yang tepat sasaran, tanpa harus mengorbankan jati diri MTI yang telah teruji oleh zaman. Salah satu upaya besar yang kini digagas adalah penyelenggaraan Ujian Masuk Nasional MTI, yang dikelola secara terpusat oleh LP3N PB PERTI. Gagasan ini bukan hanya solusi teknis, melainkan juga upaya membangun kembali kepercayaan publik terhadap kualitas dan relevansi MTI dalam dunia pendidikan Islam hari ini.
Ujian masuk nasional ini akan menjadi titik temu antara tradisi dan modernitas. Di satu sisi, seleksi dilakukan secara objektif, profesional, dan dapat menjangkau seluruh calon santri dari berbagai daerah melalui sistem digital maupun tes luring. Di sisi lain, isi ujian tetap mencerminkan nilai-nilai keilmuan MTI yang khas, yaitu penguasaan dasar-dasar agama, kemampuan membaca Al-Qur’an dengan tartil, serta—yang menjadi keunggulan MTI—kompetensi awal dalam membaca dan memahami kitab kuning.
Dalam konteks MTI, kitab kuning bukan sekadar simbol tradisi, melainkan sumber utama pembentukan karakter keulamaan. Dengan teks-teks seperti Safinatun Najah, Ta’limul Muta’allim, hingga Fathul Qarib, para santri MTI sejak dini dibimbing untuk memahami ilmu fikih, akhlak, tauhid, dan tata kehidupan Islam secara mendalam dan kontekstual. Maka tidak heran, salah satu materi penting dalam ujian masuk nasional MTI ini adalah kemampuan membaca teks Arab gundul dan menerjemahkannya, yang menunjukkan kesiapan santri untuk terlibat aktif dalam tradisi belajar yang khas di pesantren.
Selain itu, para calon santri juga akan diwawancarai untuk menilai kesungguhan niat mereka dalam menempuh pendidikan pesantren. Pertanyaan-pertanyaan seputar motivasi, kedisiplinan, dan kebiasaan ibadah akan menjadi indikator penting untuk melihat sejauh mana calon santri siap beradaptasi dalam lingkungan pesantren yang menuntut ketekunan dan pengabdian ilmu. Tes membaca Al-Qur’an dan hafalan doa harian pun akan menjadi pelengkap penilaian terhadap kesiapan spiritual dan mental para peserta.
Melalui ujian ini, MTI ingin memastikan bahwa santri yang diterima bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki fondasi ruhani dan semangat belajar yang kuat. Dengan sistem yang transparan dan kredibel, orang tua dari berbagai daerah di Indonesia pun akan lebih yakin menitipkan anak-anaknya di MTI, karena tahu bahwa proses seleksinya adil dan bermutu.
Strategi peningkatan jumlah santri ini tidak hanya berhenti pada seleksi masuk. LP3N PB Perti juga mendorong agar setiap cabang MTI memperkuat program-program unggulan yang berorientasi pada keunggulan kitab kuning, literasi keislaman digital, serta kemampuan sosial-keagamaan. Misalnya, para santri dengan nilai tertinggi akan mendapat beasiswa penuh, termasuk akses bimbingan khusus dari para guru senior dalam memahami tafsir, nahwu, dan syarh kitab klasik. Bahkan, bagi santri unggul, disiapkan jalur pengembangan menjadi musyrif (pembimbing) atau calon guru MTI masa depan.
Promosi MTI juga diarahkan secara masif dengan pendekatan kekinian. Media sosial, siaran YouTube, serta testimoni dari alumni sukses akan menjadi bagian dari kampanye besar ini. Di sisi lain, kerja sama dengan sekolah dasar Islam, madrasah ibtidaiyah, dan masjid-masjid akan memperkuat basis perekrutan calon santri dari akar rumput. Bahkan, di kampung halaman, alumni MTI diharapkan menjadi duta yang memperkenalkan kembali pesantren ini sebagai lembaga pendidikan yang mencetak ulama dengan integritas dan keluasan ilmu.
Lebih dari sekadar mengatasi penurunan jumlah santri, ujian masuk nasional ini adalah ikhtiar kolektif untuk meneguhkan kembali marwah MTI sebagai pelita ilmu dan akhlak di tengah dunia yang terus berubah. Dengan seleksi berbasis kompetensi kitab kuning, MTI menegaskan posisinya bukan hanya sebagai lembaga pendidikan Islam, tetapi sebagai penjaga warisan keilmuan Islam Nusantara yang masih sangat relevan hari ini.
Masa depan MTI, dengan izin Allah, bukan di masa lalu. Ia ada di hari ini, saat kita berani menata kembali arah, menyusun ulang strategi, dan menyambut santri-santri baru dengan sistem yang kuat, adil, dan tetap bercahaya oleh nilai-nilai keilmuan klasik. Di situlah marwah MTI akan kembali bersinar.