RAMADHAN, (BUKAN) BULAN BENCANA Oleh Azwirman

Artikel Tokoh236 Views

RAMADHAN, (BUKAN) BULAN BENCANA

Oleh

Azwirman

 

 

Pertama, Kita sampaikan Rasa duka yang mendalam terhadap saudara saudara kita yang terkena musibah Banjir di awal Ramadhan tahun ini (1446H) terutama yang bermukim di Jabodetabek dan sekitarnya, semoga diberikan ketabahan, kesabaran dan hati yang lapang dalam menerima ujian dan cobaan dari Allah SWT. Kepada seluruh stakeholder, pemerintah dan masyarakat agar bisa bahu membahu, bantuan dan uluran tangan sangat dibutuhkan untuk saudara kita di sana. Semangat gotong royong yang menjadi tradisi dan karakter bangsa dalam meringankan beban sesama sangat layak kita terapkan dan kembali galakkan untuk saudara kita sesama anak bangsa terutama yang terkena langsung dampak dari musibah Banjir awal Ramadhan tahun ini.

Begitu juga untuk saudara kita yang lain dimana saja berada yang dalam situasi bencana alam berupa Banjir, longsor, kebakaran dan lain sebagainya agar Allah SWT senantiasa memberikan kesabaran dan ketabahan serta ikhlas dalam menerima ini semua.

Kedua, Setiap terjadi bencana, ada dua kelompok yang punya pendapat dan pemikirannya yang saling bertolak belakang dalam berpendapat tentang bencana ini.

Pertama, Kelompok yang hanya memandang dari segi Sains (Ilmu pengetahuan dan teknologi) saja.

Gempa itu disebabkan karena pergerakan dan pergeseran dari kerak bumi yang lebih dikenal dengan lempeng bumi. Bumi terdiri dari banyak lempengan yang membentuk seperti puzzle yang satu sama lain saling bergesekan, berjauhan dan bertabrakan. Energi yang tersimpan disepanjang sesar tadi terlepas hingga terbentuk getaran yang dikenal dengan gempa. Begitulah Sains menjelaskan fenomena gempa ini.

Adapun rumah dan bangunan yang rusak dan Roboh disebabkan karena struktur bangunan yang tidak sesuai dengan standar ramah gempa. Akibat nya rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan berteduh berubah menjadi petaka yang membunuh.

Banjir, tanah longsor, angin kencang, kebakaran dan lain sebagainya penjelasan nya juga sama. Sama maksud nya paradigma yang dibangun adalah Sains belaka.

Banjir itu karena luapan air yang melebihi badan sungai. Karena jumlah atau volume air melebihi kapasitas daya tampung, maka terjadilah banjir.

Tanah longsor disebabkan karena daya ikat tanah terhadap akar tanaman sudah berkurang, ditambah beban dan daya dorong yang dipengaruhi hukum gravitasi bumi menyebabkan tanah itu turun dan terjadi lah longsor.

Jadi menurut mereka, solusinya agar tidak terjadi bencana dan musibah yang menjadi malapetaka bagi manusia, maka buatlah pemukiman penduduk yang jauh dari lokasi yang rawan terkena dampak gejala alam tadi. Yang rumahnya dekat sungai segera menjauh, yang rumahnya dikaki bukit segera pindah, yang pemukiman disepanjang daerah sesar gempa, segera pindah dan mengungsi, kalau masih tetap tinggal didaerah rawan gempa bumi maka, buat bangunan yang anti gempa atau ramah gempa dan itu butuh teknologi.

Ada benarnya pendapat yang seperti itu, sebab buktinya sudah ada. Negara negara yang maju dibidang sains dan teknologi telah mampu meminimalisir dampak dari gejala dan fenomena alam ini. Kita ambil contoh, Jepang. Meskipun jepang adalah negara yang paling rawan terhadap gempa bumi dan Tsunami, berkat kerja keras selama bertahun-tahun mengembankan teknologi kegempaan dan kebumian, Jepang Mampu meminimalisir dampak kerugian yang disebabkan oleh Gempa bumi dan Tsunami.

Jadi menganggap bahwa bencana alam itu adalah fenomena alam biasa dan sejak dulu bahkan sebelum manusia ini ada juga sudah terjadi. Tidak ada hubungannya antara bencana alam dengan perbuatan dosa manusia apalagi maksiat yang dilakukan oleh Manusia. Begitu kesimpulan dari kelompok pertama ini. Ya, bisa saja pembaca yang Budiman bagian dari kelompok ini.

Kelompok Kedua sebaliknya mengatakan bahwa, bencana itu disebabkan karena maksiat yang sudah merajalela. Perjudian, perzinaan, mabuk, lalai dari agama, meninggalkan sholat, pemimpin yang zalim, durhaka pada Allah SWT dan rasulNya dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, fenomena alam yang disebutkan oleh kelompok pertama tadi, dirubah menjadi “Bencana”. Indonesia terkenal dengan negara religius. Ini bisa kita lihat dari salah satu lembaga atau badan yang dibentuk oleh pemerintah khusus untuk bertanggung jawab mengurusi masalah ini, yaitu BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bukan Badan Nasional Penanggulangan Fenomena alam sebagaimana pendapat dari kelompok pertama tadi.

Karena kemaksiatan, keingkaran manusia Maka, Allah menimpakan azab kepada manusia agar taubat dan sadar dengan kesalahan dan dosa yang telah diperbuat selama ini. Salah satu azab yang terjadi didunia adalah bencana alam dalam berbagai bentuk dan jenisnya.

Dalam sebuah riwayat dikatakan, Pada suatu ketika, Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Bani Umayyah) mengirim surat kepada Para gubernur nya di seluruh penjuru dunia Islam. Isi surat itu dengan tegas mengajak semua gubernur agar meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Ini beliau lakukan karena telah terjadi gempa yang membuat masyarakat ketakutan.

Allah SWT berfirman,

“Telah nampak kerusakan baik di darat maupun di laut yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka. Agar mereka kembali (kejalan yang benar).” (QS: Ar-ruum,41)

Sikap terbaik seorang mukmin dalam menyikapi bencana alam

Sejak sains modern telah “berhasil” mengungkapkan tentang penyebab terjadinya bencana alam seperti gempa, gunung meletus, longsor dan lain sebagainya, membuat sebagian dari manusia lalai dan abai serta merasa bahwa persoalan ini bisa mereka atasi dan selesai kan. Maka manusia berlomba lomba mengembangkan Sains dan teknologi untuk mengantisipasi bencana alam itu agar dampaknya tidak terlalu besar, meminimalisir dampak bencana itu diistilahkan dengan, Mitigasi Bencana.

Namun, kalau hanya mengandalkan kecanggihan dan kekuatan teknologi untuk mengatasi persoalan bencana alam adalah sebuah kekeliruan juga. Pun, sama juga dengan hanya memandang bencana yang terjadi adalah musibah dari Allah SWT sebagai teguran bagi kita dengan menafikan ilmu pengetahuan tentang kebencanaan dan lalai mengembangkan Sains dan teknologi untuk kemaslahatan bagi umat manusia. Ini juga sebuah kekeliruan.

Kebijaksanaan dalam hal ini adalah, belajar untuk memahami kebencanaan dengan sungguh-sungguh agar kita lebih siap dengan kemungkinan ke depan yang akan terjadi sembari kita perbaiki hubungan kita dengan sang pencipta yaitu Allah SWT. Kita berantas maksiat semampu yang kita bisa mulai dari diri kita, keluarga kita dan masyarakat kita.

Kita bisa belajar dari Kota Padang. Kota Padang adalah kota yang paling rawan dengan bencana terutama gempa dan potensi tsunami. Dengan kebijakan pemerintah kota memberantas maksiat ditambah dengan kebijakan bangunan yang harus memenuhi syarat standar ramah gempa. Meski belum maksimal akan tetapi, melakukan dua hal secara bersamaan adalah bukti bahwa, paradigma pemerintah dan masyarakat kota Padang dalam memandang bencana tidak di khotomis.

Menyikapi awal Ramadhan tahun ini dengan rentetan musibah, terutama banjir bandang di Jabodetabek kemaren (Selasa, 4 Maret 2025) kita harus introspeksi diri bersama.

Kalau kita sebagai pemimpin pemerintahan, hal dosa dan maksiat apa yang telah dilakukan, kezaliman apa yang pernah dilakukan, antisipasi secara ilmu pengetahuan apa yang sudah dilakukan untuk mengatasi agar tidak terjadi banjir? Apakah sungai sudah bersih? Apakah hulu sungai sudah terjaga keasrian alamnya? Atau jangan-jangan selama ini sungai yang mengalir dari hulu ke hilir Jakarta sudah rusak parah. Kayunya habis ditebang, daerah yang seharusnya jadi tangkapan hujan justru rusak dan hancur oleh pemukiman legal dan ilegal? Pemukiman warga sepanjang bantaran sungai apakah sudah pernah ditinjau ulang?

Sebagai masyarakat biasa apakah sudah menjaga lingkungan alam sekitar sungai? Semisal tidak membuang sampah sembarangan, tidak mendirikan bangunan diatas aliran air, tidak merusak hutan disepanjang sungai, dan lain sebagainya.

Artinya, ini kan kejadian yang terus menerus berulang ulang. Jakarta kebanjiran itu sudah puluhan tahun terjadi. Hanya saja makin lama makin parah saja. Dan faktor penyebab utama, lagi lagi manusia – manusia yang serakah yang tidak pernah berfikir bagaimana orang lain tapi bagaimana saya dan orang dekat saya.

Semoga bulan Ramadhan tahun ini tidak menjadi bulan bencana, tapi bulan yang penuh dengan keberkahan dan kebahagiaan.

Wallahu alam

Leave a Reply