RAMADHAN:
HENTIKAN KESERAKAHAN, AKHIRI KORUPSI
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol
Pesan utama dari judul “Ramadhan: Hentikan Keserakahan, Akhiri Korupsi” adalah ajakan untuk memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai momentum refleksi dan perbaikan moral, khususnya dalam hal mengendalikan keserakahan dan memberantas korupsi. Judul di atas menekankan bahwa nilai-nilai Ramadhan—seperti kejujuran, kesederhanaan, dan kepedulian—harus diwujudkan dalam kehidupan nyata dengan menghentikan perilaku serakah dan mengakhiri tindakan korupsi yang merugikan masyarakat.
Mengapa Ramadhan dapat menjadi titik awal untuk menghentikan keserakahan dan mengakhiri korupsi, sebab watak keserakahan adalah pangkal dari lahirnya prilaku, tindakan dan budaya korupsi?
Al-Qur’an mengkritik karakter serakah yang berawal dari kesewenangan atau melampaui batas…Artinya: “dan sesungguhnya cintanya (manusia) kepada harta benar-benar berlebihan.”(QS. Al-‘Adiyat 100: Ayat 8). “Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas,”(QS. Al-‘Alaq 96: Ayat 6). Pesan dua petikan ayat di atas menjelaskan bahwa di antara watak manusia ada yang melampaui batas aturan dan kepatutan atau menguasai harta seperti tak ada batasnya, bahasa sosialnya serakah.
Serakah adalah sikap atau sifat yang mencerminkan keinginan berlebihan terhadap harta, kekuasaan, atau kepuasan diri tanpa mempertimbangkan batasan moral dan kesejahteraan orang lain.
Dalam Islam, serakah disebut sebagai ṭama‘ (طمع) atau hirs (حرص), yang berarti keinginan berlebihan terhadap duniawi. Sifat ini dikecam dalam Al-Qur’an (QS. Al-‘Adiyat: 8) dan (QS. Al-‘Alaq: 6-7) dalam Hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya dia akan mencari lembah yang ketiga. Tidak ada yang dapat memenuhi perutnya kecuali tanah (kematian).” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam Kristen, serakah termasuk dalam tujuh dosa mematikan (seven deadly sins), dikenal sebagai greed. Dalam agama lain seperti Hindu dan Buddha, serakah dianggap sebagai sumber penderitaan dan penghalang menuju kebebasan spiritual.
Serakah dalam Perspektif Ilmu Psikologi sering dikaitkan dengan narsisme, materialisme, dan keserakahan patologis. Orang yang serakah cenderung memiliki kecenderungan kecemasan, kurang empati, dan ketidakpuasan kronis.
Dalam ilmu Ekonomi dan dalam kapitalisme, serakah sering dianggap sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Namun, keserakahan yang tidak terkendali bisa menyebabkan krisis keuangan, ketimpangan sosial, dan eksploitasi sumber daya alam.
Serakah dalam Perspektif Filsafat Plato dan Aristoteles serakah sebagai bentuk ketidakseimbangan dalam jiwa manusia, yang dapat menghambat pencapaian kebajikan (eudaimonia). Epikurianisme, keserakahan justru menghambat kebahagiaan karena memicu keinginan yang tak pernah puas. Karl Marx mengkritik keserakahan kapitalis yang mengeksploitasi buruh demi keuntungan yang lebih besar.
Dari sudut pandang Nash, ilmu, dan filsafat, serakah adalah sifat negatif yang berakar pada keinginan yang tidak terbatas. Sifat ini dapat merusak individu dan masyarakat jika tidak dikendalikan, baik dari perspektif agama, psikologi, ekonomi, maupun etika filsafat.
MENGAPA ADA TABIAT SERAKAH?
Tabiat serakah muncul karena kombinasi faktor biologis, psikologis, sosial, dan budaya. Berikut beberapa alasan mengapa sifat serakah bisa muncul dalam diri manusia:
1. Faktor Biologis dan Evolusi.
Insting Bertahan Hidup. Manusia secara naluriah memiliki dorongan untuk mengumpulkan sumber daya agar bisa bertahan hidup. Dalam konteks evolusi, semakin banyak makanan, tanah, atau kekuasaan yang dimiliki, semakin besar peluang untuk bertahan dan berkembang biak. Dopamin dan Keserakahan: Otak manusia melepaskan dopamin (hormon kesenangan) saat mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seperti uang atau kekuasaan. Ini membuat seseorang terus mengejar lebih banyak hal, bahkan jika sudah cukup.
2. Faktor Psikologis.
Ketakutan Akan Kekurangan: Rasa takut kehilangan atau tidak memiliki cukup sering membuat seseorang serakah. Ini bisa disebabkan oleh pengalaman masa lalu (misalnya kemiskinan atau trauma). Ketidakpuasan dan Materialisme. Manusia cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain. Jika melihat orang lain lebih kaya atau lebih berkuasa, muncullah keinginan untuk memiliki lebih banyak, yang bisa berubah menjadi keserakahan.
3. Faktor Sosial dan Budaya.
Budaya Konsumerisme. Masyarakat modern sering kali menilai kesuksesan dari seberapa banyak harta yang dimiliki. Media sosial dan iklan memperkuat keinginan untuk memiliki lebih banyak tanpa batas. Persaingan dan Kapitalisme. Sistem ekonomi dan sosial sering kali mendorong individu untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kekayaan atau kekuasaan, tanpa memperhatikan dampak bagi orang lain.
4. Faktor Filsafat dan Moralitas.
Pandangan Hedonisme. Beberapa orang percaya bahwa kebahagiaan datang dari pemenuhan keinginan sebanyak mungkin, meskipun itu berarti mengambil lebih dari yang diperlukan. Kurangnya Nilai Moral dan Spiritual. Agama dan filsafat sering mengajarkan pengendalian diri dan keseimbangan. Jika nilai-nilai ini diabaikan, seseorang lebih mudah menjadi serakah.
Serakah bukan hanya sekadar sifat buruk, tetapi juga respons alami yang muncul dari faktor biologis, psikologis, sosial, dan budaya. Namun, jika tidak dikendalikan, keserakahan bisa merusak individu maupun masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan nilai kesederhanaan, berbagi, dan kepuasan diri agar tidak terjebak dalam keserakahan.
KORUPSI DAN TABIAT SERAKAH.
Virus ganas yang tengah merusak sistim kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini adalah ketamakan, dan kkeserakahan dilapisan elit bangsa, faktanya marak dan dalam batas tertentu sudah menjadi budaya korupsi. Korupsi dan keserakahan memiliki hubungan yang erat, di mana keserakahan sering menjadi akar utama dari korupsi.
Analisis mengenai bagaimana keserakahan mendorong tindakan korupsi, serta dampaknya terhadap individu dan masyarakat adalah dapat ditelusuri dari beberapa hal:
1. Hubungan Antara Korupsi dan Keserakahan.
Keserakahan adalah keinginan berlebihan untuk memiliki lebih banyak harta, kekuasaan, atau keuntungan, tanpa peduli pada etika dan moralitas. Ketika keserakahan tidak dikendalikan, seseorang dapat melakukan korupsi untuk memenuhi keinginannya.
Keserakahan sebagai Motif Korupsi. Banyak kasus korupsi terjadi karena pejabat atau pengusaha ingin memperkaya diri, meskipun sudah memiliki cukup. Mereka merasa tidak puas dan terus mencari cara untuk menambah kekayaan dengan cara ilegal. Korupsi sebagai Manifestasi Keserakahan. Korupsi bukan hanya tentang mengambil uang negara, tetapi juga bisa berupa penyalahgunaan kekuasaan, nepotisme, dan manipulasi sistem demi keuntungan pribadi atau kelompok.
2. Faktor yang Mendorong Keserakahan Berujung Korupsi. Beberapa faktor yang memperkuat hubungan antara keserakahan dan korupsi meliputi. Kurangnya Integritas dan Moralitas. Individu yang tidak memiliki prinsip moral yang kuat lebih mudah tergoda untuk melakukan korupsi demi memenuhi keinginan pribadinya. Sistem yang Tidak Transparan. Dalam lingkungan di mana kontrol dan pengawasan lemah, korupsi lebih mudah terjadi karena pelaku merasa tidak akan ketahuan. Budaya Konsumerisme dan Hedonisme. Gaya hidup mewah yang dijadikan standar kesuksesan membuat orang berlomba-lomba mencari uang dengan cara apapun, termasuk korupsi. Kurangnya Hukuman atau Penegakan Hukum Lemah. Jika koruptor merasa tidak akan mendapatkan hukuman berat, mereka akan terus melakukan tindakan tersebut.
3. Dampak Korupsi yang Didorong oleh Keserakahan.
Korupsi yang berasal dari keserakahan memiliki dampak luas terhadap masyarakat. Meningkatkan kesenjangan sosial, menghambat pembangunan, merusak pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, infrastruktur). Terhadap Ekonomi merusak sistem ekonomi, menurunkan investasi, menyebabkan inflasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Terhadap Moralitas dan Budaya menciptakan budaya permisif terhadap korupsi, di mana tindakan tersebut dianggap biasa atau bahkan “normal.”
4.Cara Mengatasi Korupsi yang Berakar dari Keserakahan. Pendidikan Moral dan Etika. Menanamkan nilai kejujuran, kesederhanaan, dan tanggung jawab sejak dini. Sistem Hukum yang Kuat. Hukuman tegas bagi koruptor untuk memberikan efek jera. Transparansi dan Akuntabilitas. Memastikan bahwa semua kebijakan pemerintahan dan keuangan negara terbuka bagi publik untuk diawasi. Menanamkan Budaya Anti-Korupsi. Masyarakat harus aktif dalam mengawasi dan menolak segala bentuk korupsi, termasuk dalam kehidupan sehari-hari.
Korupsi adalah konsekuensi dari keserakahan yang tidak terkendali. Keserakahan membuat seseorang tidak puas dengan apa yang dimiliki dan mencari cara untuk mendapatkan lebih banyak, bahkan dengan cara yang melanggar hukum. Pencegahan korupsi harus dimulai dari menanamkan nilai kesederhanaan, kejujuran, serta memperkuat sistem pengawasan dan penegakan hukum.
Strategi Mengendalikan Keserakahan Manusia
Keserakahan adalah sifat manusia yang bisa dikendalikan melalui pendekatan psikologis, sosial, spiritual, dan sistemik. Berikut adalah beberapa strategi untuk mengatasinya:
1.Pendekatan Psikologis.
a. Latihan Kesadaran Diri (Self-Awareness). Refleksi diri secara rutin untuk mengenali apakah keinginan yang muncul benar-benar kebutuhan atau hanya dorongan serakah. Membuat jurnal syukur setiap hari untuk mengingat hal-hal yang sudah dimiliki dan mengurangi rasa kurang puas.
b. Mengembangkan Empati. Menempatkan diri pada posisi orang lain membantu mengurangi keinginan untuk mengambil lebih dari yang dibutuhkan. Berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau amal agar lebih menghargai pentingnya berbagi.
c. Melatih Pengendalian Diri (Self-Control). Menerapkan konsep delayed gratification (menunda kepuasan) agar tidak terburu-buru dalam memenuhi keinginan. Menetapkan batasan konsumsi dan keinginan pribadi dengan prinsip cukup dan perlu.
2.Pendekatan Sosial dan Budaya.
a. Pendidikan Moral dan Etika. Mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan kepedulian sejak dini, baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga. Meningkatkan kesadaran akan dampak negatif dari keserakahan melalui pendidikan dan media.
b. Mempromosikan Gaya Hidup Sederhana. Mengurangi budaya konsumtif dan materialisme yang sering kali mendorong keserakahan. Menghargai kualitas hidup daripada sekadar kepemilikan materi.
c. Membangun Lingkungan Sosial yang Positif. Bergaul dengan orang-orang yang memiliki nilai hidup seimbang dan tidak hanya mengejar kekayaan. Memotivasi komunitas untuk berbagi dan membantu sesama.
3.Pendekatan Spiritual dan Filosofis.
a. Mengembangkan Rasa Syukur. Berlatih menerima dan mensyukuri apa yang sudah dimiliki sebagai bentuk kepuasan batin. Menghindari membandingkan diri dengan orang lain yang lebih kaya atau lebih sukses secara material.
b. Menanamkan Nilai Kebaikan dan Berbagi. Mengamalkan ajaran agama atau filosofi yang mengajarkan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial. Memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari kepemilikan materi semata.
c. Memahami Hakikat Kekayaan dan Kehidupan. Filsafat Stoikisme mengajarkan untuk menerima kehidupan sebagaimana adanya dan tidak terikat pada hal-hal materi. Konsep minimalisme menekankan pentingnya hidup dengan apa yang benar-benar diperlukan.
4.Pendekatan Sistemik dan Struktural.
a. Regulasi dan Pengawasan yang Ketat. Menegakkan aturan yang membatasi eksploitasi sumber daya dan penyalahgunaan kekuasaan. Mendorong transparansi dalam keuangan dan bisnis untuk menghindari tindakan korupsi akibat keserakahan.
b. Insentif untuk Perilaku Etis. Memberikan penghargaan kepada individu dan perusahaan yang berperilaku etis. Mendorong praktik bisnis yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
c. Membangun Sistem Ekonomi yang Adil. Mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi agar orang tidak merasa perlu menjadi serakah untuk bertahan. Mempromosikan kebijakan distribusi kekayaan yang lebih merata.
Mengendalikan keserakahan memerlukan pendekatan dari berbagai aspek: kesadaran diri, nilai sosial, spiritualitas, dan sistem yang adil. Dengan melatih kesederhanaan, empati, dan berbagi, serta menciptakan lingkungan yang mendukung perilaku etis, manusia bisa mengurangi dorongan untuk serakah dan hidup lebih seimbang.
Langkah Cepat Menghentikan Keserakahan: Agama, Ilmu, dan Filsafat. Untuk menghentikan keserakahan dengan cepat, kita bisa menganalisis solusi dari tiga perspektif utama: Nash (agama), ilmu, dan filsafat.
1.Perspektif Nash (Agama): Menanamkan Rasa Syukur dan Keseimbangan. Langkah Cepat: Latih Rasa Syukur dan Ingat Akibatnya. Islam: Mengajarkan bahwa keserakahan merusak hati dan kehidupan. Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Kekayaan bukanlah banyaknya harta, tetapi hati yang merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kristen: Dalam Alkitab, serakah dianggap sebagai akar dari segala kejahatan (1 Timotius 6:10). Buddhisme: Mengajarkan konsep kehidupan sederhana (simplicity) untuk menghindari penderitaan akibat keserakahan.
Solusi Cepatnya, praktikkan doa dan meditasi syukur setiap hari agar hati merasa cukup. Ingatkan akan akibatnya keserakahan membawa kehancuran moral dan sosial.
2.Perspektif Ilmu (Psikologi & Ekonomi): Mengubah Pola Pikir dan Kebiasaan. Langkah Cepat: Ubah Kebiasaan Konsumtif dan Latih Pengendalian Diri. Psikologi: Keserakahan berakar dari ketidakpuasan kronis. Otak manusia selalu menginginkan lebih karena dopamin. Ekonomi: Kapitalisme mendorong keinginan tak terbatas. Semakin seseorang memiliki, semakin ia ingin lebih.
Solusi Cepat: Buat batasan konsumsi (misalnya, hanya membeli yang benar-benar dibutuhkan). Latih self-control dengan teknik delayed gratification (menunda kepuasan).
3.Perspektif Filsafat: Menemukan Kebahagiaan di Luar Materi. Langkah Cepat: Terapkan Prinsip Minimalisme dan Etika Stoik. Stoikisme (Marcus Aurelius & Epictetus): Menekankan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari kendali atas diri sendiri, bukan dari kepemilikan materi. Epikurianisme: Menyatakan bahwa kepuasan hidup bukan berasal dari harta, tetapi dari keseimbangan dan kebahagiaan sederhana.
Solusi Cepat: Renungkan: “Apakah saya benar-benar membutuhkan ini?” sebelum mengambil keputusan. Fokus pada pengalaman dan hubungan, bukan barang dan status.
Sebagai penutup perlu ditegaskan bahwa keserakahan adalah akar dari korupsi dan berbagai masalah sosial lainnya. Dalam ajaran agama, filsafat, psikologi, dan ekonomi, keserakahan dipandang sebagai sifat negatif yang harus dikendalikan. Ramadhan menjadi momentum yang tepat untuk merefleksikan dan menghentikan keserakahan dengan menanamkan nilai kesederhanaan, kejujuran, dan kepedulian.
Korupsi yang tumbuh dari keserakahan merusak moral, ekonomi, dan sistem pemerintahan. Oleh karena itu, pendekatan spiritual, pendidikan moral, transparansi hukum, dan pengendalian diri sangat penting dalam memberantas budaya korupsi. Dengan menanamkan rasa syukur, mengubah pola pikir konsumtif, serta menerapkan prinsip etika dan minimalisme, manusia dapat hidup lebih seimbang dan terbebas dari jebakan keserakahan. DS.10032025.