SERIKAT ISLAM 120 Guru Politik Bangsa

SERIKAT ISLAM 120 Guru Politik Bangsa

Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol

Serikat Islam sebagai Sekolah Politik.

 

Serikat Islam (SI) sejak awal abad ke-20 bukan hanya organisasi ekonomi umat, tetapi juga madrasah politik yang melahirkan tokoh-tokoh besar bangsa. Dalam wadah SI, lahir gagasan tentang kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan persatuan umat. Nilai-nilai ini menjadikan SI sebagai guru politik bangsa yang mengajarkan arti berorganisasi, kepemimpinan, dan perjuangan kolektif.

Tokoh-tokoh Besar Didikan Serikat Islam

H.O.S. Tjokroaminoto: dikenal sebagai Guru Bangsa, mengajarkan politik berbasis Islam, etika kepemimpinan, dan keberanian melawan kolonialisme. Rumahnya menjadi laboratorium politik bagi generasi pergerakan.

H. Agus Salim: Diplomat Ulung dan Bapak Humas Indonesia. Dari SI, ia belajar mengartikulasikan aspirasi umat ke dalam panggung politik nasional dan internasional dengan bahasa moderat.

S.M. Kartosuwiryo: murid SI yang kemudian mengambil jalan berbeda, menunjukkan betapa SI adalah ruang dialektika ideologi—dari moderat hingga radikal.

Soekarno: Proklamator RI, pernah “nyantri” politik pada Tjokroaminoto. Dari SI ia belajar tentang massa, retorika, dan keberanian melawan penindasan.

Tokoh-tokoh ini membuktikan bahwa SI adalah sekolah kader politik paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia modern.

Nilai-nilai Politik Serikat Islam

1.Politik sebagai perjuangan moral, bukan sekadar perebutan kekuasaan.

2.Kedaulatan umat dan keadilan sosial sebagai inti perjuangan.

3.Persaudaraan dan persatuan melampaui sekat sosial, etnis, dan golongan.

Relevansi Saat Ini.
Di tengah krisis moral dan politik transaksional, bangsa ini butuh kembali belajar pada Serikat Islam. SI mengajarkan bahwa politik harus berakar pada nilai, akhlak, dan perjuangan umat. Bukan politik kepentingan sesaat, melainkan politik kebangsaan yang membebaskan.

Serikat Islam adalah guru politik bangsa yang melahirkan generasi pejuang dan negarawan. Dari Tjokroaminoto hingga Soekarno, SI menanamkan tradisi politik yang bermoral, berkeadilan, dan berpihak pada rakyat. Tantangan hari ini adalah bagaimana generasi penerus mampu menyalakan kembali obor perjuangan itu: membangun politik yang bermarwah, adil, dan menyatukan umat untuk Indonesia yang lebih baik.

Refleksi Gagasan “Serikat Islam sebagai Guru Politik Bangsa” dalam Konteks Kini

Meminjam gagasan Anda tentang Serikat Islam (SI) sebagai sekolah politik, berikut refleksi terkait relevansinya sekarang:

Sebagai organisasi pergerakan masa lalu, SI memang menekankan nilai moral, pendidikan politik, dan kepemimpinan umat — sesuatu yang jarang menjadi pusat perhatian di banyak partai kontemporer.

Dalam kondisi sekarang, di mana politik semakin dinodai pragmatisme transaksional, model “politik nilai” SI bisa menjadi pendekatan pembeda: menanamkan bahwa perjuangan politik harus bermuatan moral, bukan hanya persaingan kekuasaan.

SI sebagai “madrasah politik” bisa berperan sebagai ruang kaderisasi alternatif — tempat regenerasi intelektual yang mampu menjembatani antara idealisme keumatan dan realitas kenegaraan.

Tantangan utamanya adalah: bagaimana menerjemahkan nilai-nilai historis SI ke dalam strategi kontemporer (komunikasi digital, jejaring politik modern, media sosial) tanpa kehilangan roh idealismenya.

Kesimpulan

1.Politik Indonesia, meskipun formalnya demokratis, masih berada dalam proses keras internal, di mana keseimbangan kekuasaan, kontrol institusional, dan legitimasi sosial terus diuji oleh kebijakan-kebijakan yang kontroversial.

2.Tekanan publik dan aksi masyarakat sipil — terutama generasi muda — semakin menjadi variabel penting dalam menciptakan akuntabilitas, menjadikan penguasa harus lebih responsif terhadap aspirasi akar rumput.

3.Peran militer dalam ranah sipil dan aliansi kekuasaan eksekutif-legislatif harus diawasi agar demokrasi tidak tergeser oleh semangat “otoritarianisme lunak”.

4.Gagasan SI sebagai sekolah politik bermoral relevan sebagai visi jangka panjang: memberi alternatif terhadap politik pragmatisme dan memperkuat etika di ruang publik.

5.Namun, integrasi nilai-nilai tersebut ke dalam strategi politik kontemporer menjadi tantangan utama — agar idealisme tidak kehilangan daya saing dalam realpolitik. DS. 05102025.

Leave a Reply