SILATURAHIM NASIONAL (SILATNAS) FKUB: Menerjemahkan Realita, Merumuskan Asa,Menguatkan Regulasi, Menjaga Kerukunan

SILATURAHIM NASIONAL (SILATNAS) FKUB:
Menerjemahkan Realita, Merumuskan Asa,Menguatkan Regulasi, Menjaga Kerukunan

Oleh: Duski Samad
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sumatera Barat.

 

 

Realitas yang Perlu Dibaca Ulang.

Indonesia bukan sekadar negara majemuk, tetapi juga ruang hidup yang kompleks, tempat agama, budaya, dan identitas saling bertemu. Dalam ruang ini, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) hadir sebagai institusi strategis yang menjadi jembatan komunikasi antarumat.

Namun, berbagai peristiwa intoleransi yang muncul akhir-akhir ini menuntut aktor kerukunan tidak sekadar berdialog, tetapi juga menguatkan regulasi dan menyegarkan kembali kesadaran tanggung jawab umat beragama, dari umat Islam sebagai mayoritas melindmelindungi dan umat lain lebih mengerti dan memahami realiti.

Tanggung Jawab Moral dan Spiritualitas Umat.
Islam sebagai agama rahmat memberikan landasan etik yang kuat dalam relasi sosial antarumat beragama.

Beberapa nash yang menegaskan hal ini antara lain: “Lakum dīnukum waliya dīn.” (QS. Al-Kafirun: 6)”Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama…” (QS. Al-Mumtahanah: 8). Nabi SAW bersabda:“Barang siapa menyakiti dzimmi (non-Muslim yang dilindungi), maka aku akan menjadi musuhnya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).
Nash-nash tersebut memberikan dasar bahwa tanggung jawab moral umat (Muslim) adalah melindungi minoritas, menjaga martabat dan hak-haknya, serta menciptakan suasana damai dalam masyarakat.
Menegakkan Regulasi sebagai Pilar Kerukunan.

Kehadiran regulasi dalam konteks kerukunan umat beragama di Indonesia sangat penting.

Beberapa instrumen hukum yang menjadi dasar penegakan kerukunan, antara lain: UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah dan FKUB. SKB 3 Menteri tentang Penanganan Intoleransi. Namun, realitas di lapangan menunjukkan krisis penegakan regulasi, bukan kekosongan aturan.

Pembiaran dan lemahnya respon aparat dan para pihak yang berkaitan hukum ditambah lagi adanya aparat teknis keagamaan yang tanpa memperhatikan regulasi dengan mengeluarkan Surat Tanda Lapor (STL) sebagai keinginan sekelompok umat beragama yang akan mendirikan rumah ibadah. Realita dilapangan STL tersebut dikeluarkan pihak Pebimas yang nyatanya disalahkan gunakan dan dijadikan “dalih” kepada masyarakat lingkungan sebagai izin rumah iibadah.
Kenyataannya, kegaduhan yang dipicu Surat Tanda Lapor (STL) adalah laten dan sudah menimbulkan gelombang protes di beberapa tempat. Fakta lain yang mencuat dalam diskusi bahwa pendapat atau paham keagamaan keras dan leterlek dari beberapa orang penganut agama minoritas yang menerjemahkan frasa kitab sucinya “ dua atau 3 orang kamu diperitahkan mendirikan rumah Tuhan”. Bila narasi kitab suci dibaca teks berapa juta rumah ibadah yang harus dibangun. Disinilah peran tegasnya regulasi.

Peran FKUB dan umat Islam sebagai bagian dari mayoritas sangat diperlukan untuk mengawal implementasi regulasi secara adil. Menjadi pelindung harmoni sosial. Menghentikan politisasi isu agama dalam pembangunan rumah ibadah. Sekaligus memastikan aparat teknis keagamaan di Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah taat pada regulasi dan tidak mempolitisasi Surat Tanda Lapor dari sekelompok umat untuk pendirian rumah ibadah. Ini adalah bentuk pentingnya regulasi dalam menjamin kerukunan dan harmoni.

3.Kerukunan sebagai Modal Sosial Umat Islam.

Secara sosiologis, umat Islam sebagai mayoritas memiliki kapasitas modal sosial dan kultural yang sangat besar.

Dalam konteks ini, peran Islam bukan sebagai kekuatan hegemonik, tetapi sebagai pelindung dan penyemai kedamaian. Tiga poin penting dalam pendekatan sosiologis kerukunan:
Mayoritas yang melindungi, bukan menekan. Kekuatan narasi lokal seperti filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) di Minangkabau memperkuat relasi antarumat.

Pendidikan sosial-keagamaan dalam masyarakat Muslim harus memasukkan nilai pluralisme toleran. Fenomena gesekan agama seringkali muncul bukan karena permusuhan teologis, tetapi akibat komunikasi sosial yang lemah dan distribusi keadilan yang tidak merata.

Silaturahmi Nasional FKUB:

Forum Menyusun Asa, Menguji Realita
Silatnas FKUB bukan sekadar seremoni, tetapi menjadi Forum membaca realitas kerukunan secara jujur. Wadah konsolidasi lintas iman dan organisasi keagamaan.

Laboratorium merumuskan peta jalan kerukunan berbasis regulasi dan kearifan lokal.
Silatnas menjadi peluang memperkuat kapasitas FKUB di daerah, menyusun protokol kerukunan yang responsif, dan meneguhkan umat mayoritas untuk mendahulukan maslahat dan mencegah mudarat dalam relasi beragama. Jalan Menuju Harmoni Berkelanjutan.

Menerjemahkan realita dan merumuskan asa berarti mengubah paradigma. Umat mayoritas (Muslim) bukan lagi cukup hanya toleran, tetapi harus proaktif menjadi penjaga harmoni dan pelindung hak. FKUB bukan sekadar forum mediasi, tetapi penjaga akal sehat keberagaman.

Tugas kita bukan mencari pembenaran teologis atas perbedaan, tetapi membangun keadilan relasi sosial antarumat yang berpijak pada regulasi yang ditegakkan, nash yang diamalkan, dan budaya lokal yang dirawat.

PETA JALAN KERUKUNAN BERBASIS REGULASI, KEARIFAN LOKAL, DAN TANGGUNG JAWAB KEMANUSIAAN

Peta jalan kerukunan yang mengintegrasikan aspek hukum (regulasi), nilai lokal (kearifan), dan dimensi kemanusiaan adalah relevan untuk peran FKUB.

Fondasi Kerukunan yang sudah kuat melalui regulasi: UUD 1945 Pasal 29 (Jaminan kebebasan beragama). PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 (Pendirian rumah ibadah & FKUB). UU No. 39/1999 tentang HAM adalah penyangga kerukunan yang mesti di taati semua pihak.

Pendekatan Kearifan Lokal.

Dalam konteks Minangkabau (baca Sumatera Barat) kearifan lokal Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) di Minangkabau.

Prinsip “Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang” (kebersamaan dan gotong royong) adalah tanggung jawab bersama untuk mewujudkannya khusus lagi dalam rukun dan harmoni.
Tanggung jawab kemanusiaan. Spirit rahmatan lil ‘alamin, menjaga martabat dan hak hidup setiap pemeluk agama.
Arah Strategis:

1.Penegakan Regulasi yang Adil:

Mendorong pemerintah daerah untuk konsisten menjalankan PBM 2006. Memperkuat kewenangan FKUB dalam mediasi perizinan rumah ibadah.

2.Penguatan Literasi Kerukunan:

Pendidikan multikultural di madrasah, pesantren, dan sekolah umum. Dialog terbuka lintas agama di tingkat nagari/kelurahan.

3.Revitalisasi Kearifan Lokal:

Menghidupkan budaya musyawarah (bajanjang naik, batanggo turun). Mengintegrasikan tokoh adat, ninik mamak, dan tuanku sebagai mediator.

4.Kepemimpinan Umat Mayoritas:

Mengamalkan nash:”Wa in hakamtum bainannasi an tahkumu bil ‘adl” (QS. An-Nisa: 58). Muslim sebagai mayoritas bertanggung jawab memastikan keadilan, bukan dominasi.

5.Respons Kemanusiaan Global:

Membina relasi antaragama berbasis nilai universal: keadilan, kasih sayang, solidaritas. Menjadikan kerukunan bagian dari diplomasi moral bangsa.

3.Langkah Operasional (2025–2030)

Tahap I – Penguatan Sistem (2025–2026):
Audit kebijakan rumah ibadah.
Training FKUB berbasis hukum dan mediasi konflik.
Tahap II – Integrasi Sosial (2027–2028):
Program “Kampung Harmoni” berbasis kearifan lokal.
Forum rutin dialog lintas iman di tingkat nagari.
Tahap III – Harmoni Berkelanjutan (2029–2030):
Evaluasi capaian kerukunan nasional.
Penerapan best practice ke tingkat ASEAN.

4.Pilar Implementasi
Pilar Regulasi:

Penegakan hukum tanpa diskriminasi.
Pilar Kultural: Revitalisasi nilai gotong royong, musyawarah, dan adat.

Pilar Kemanusiaan: Perlindungan hak dasar manusia, khususnya minoritas.

5.Indikator Keberhasilan
Turunnya kasus intoleransi berbasis rumah ibadah.

Tingkat kepercayaan antarumat beragama meningkat.
FKUB menjadi pusat resolusi konflik di daerah.
Adanya roadmap kerukunan yang disepakati lintas ormas dan pemerintah.

Kesimpulan

Silaturahmi Nasional FKUB dan Lembaga Keagamaan bukan sekadar ajang seremonial, tetapi momentum strategis untuk membaca realitas kebangsaan secara jujur, merumuskan harapan kolektif, dan menguatkan peta jalan kerukunan berdasarkan regulasi yang adil, kearifan lokal yang hidup, serta tanggung jawab kemanusiaan yang menyeluruh.

Realitas menunjukkan bahwa krisis kerukunan bukan disebabkan oleh ketiadaan aturan, melainkan oleh lemahnya implementasi, penyalahgunaan regulasi, dan kurangnya kesadaran kolektif—baik dari umat mayoritas maupun minoritas. Umat Islam sebagai mayoritas memiliki mandat moral dan spiritual untuk menjadi pelindung, bukan penekan; menjamin hak, bukan menutup akses. Inilah nilai utama dari Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Mumtahanah: 8 dan hadis Nabi SAW tentang perlindungan terhadap non-Muslim.

Dalam dimensi yuridis, penguatan peran FKUB dan penegakan regulasi seperti PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 menjadi mutlak.

Ketaatan terhadap aturan harus ditegakkan secara adil, dan aparat pemerintah serta lembaga keagamaan harus menolak segala bentuk politisasi atau penyimpangan administratif, seperti penggunaan Surat Tanda Lapor (STL) sebagai dalih pendirian rumah ibadah tanpa prosedur yang sah.

Secara sosiologis, kerukunan adalah modal sosial yang melekat dalam budaya lokal. Di Minangkabau, filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dan prinsip hidup “barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang” adalah cerminan nilai Islam dan kearifan lokal yang memperkuat solidaritas antarumat beragama.

Dari Silatnas ini dirumuskan peta jalan kerukunan nasional berbasis tiga pilar utama:

1. Regulasi yang ditegakkan dengan adil dan konsisten.

2. Kearifan lokal sebagai basis dialog dan resolusi.

3. Tanggung jawab kemanusiaan sebagai prinsip relasi lintas iman.

Implementasinya dilakukan secara bertahap;

• Penguatan sistem regulasi (2025–2026),

• Integrasi sosial dan penguatan kapasitas lokal (2027–2028),

• Menuju harmoni berkelanjutan dan replikasi ke tingkat regional (2029–2030).

Indikator keberhasilannya mencakup: menurunnya konflik berbasis rumah ibadah, meningkatnya kepercayaan sosial antarumat, serta tegaknya FKUB sebagai pusat mediasi dan penjaga kerukunan di daerah.

Pada akhirnya, menerjemahkan realita dan merumuskan asa berarti mengubah cara pandang umat beragama terhadap perbedaan. Umat Islam tidak cukup hanya menjadi toleran—tetapi harus proaktif menjadi penjaga keadilan relasi sosial, pelindung martabat semua golongan, dan pengawal harmoni bangsa dalam bingkai regulasi, nash, dan budaya.

Referensi:

Al-Qur’an, QS. Al-Kafirun, Al-Mumtahanah, Al-Hujurat

Hadis Nabi SAW tentang perlindungan terhadap non-Muslim

UUD 1945 Pasal 29

PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

Berger, Peter. The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion

Nasr, Seyyed Hossein. The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity

Azra, Azyumardi. Islam Nusantara dan Kebudayaan Damai