SUMATERA BARAT BUKAN INTOLERAN: Antara Tuduhan dan Fakta

SUMATERA BARAT BUKAN INTOLERAN:
Antara Tuduhan dan Fakta

Oleh: Duski Samad
Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat

 

Peristiwa pembubaran ibadah oleh sekelompok warga di Padang Sarai, Kota Padang, pada 27 Juli 2025 kembali mengusik isu lama, tuduhan bahwa Sumatera Barat adalah daerah intoleran. Insiden tersebut, walau sangat disayangkan dan harus ditindak tegas, tidak bisa digeneralisasi sebagai representasi dari budaya dan sistem sosial masyarakat Minangkabau. Justru, jika dianalisis secara objektif, tuduhan itu dapat dikatakan tidak berakar pada realitas sosial dan nilai-nilai lokal yang hidup di Sumatera Barat.

Sumatera Barat Memiliki Falsafah yang Menjunjung Tinggi Keharmonisan.

Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) bukan hanya semboyan, tetapi menjadi sistem nilai yang mengatur hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan dalam masyarakat Minangkabau. Sistem ini melahirkan tata sosial yang menjunjung tinggi musyawarah, kedamaian, dan toleransi. Seperti ditegaskan oleh Azyumardi Azra bahwa:“ABS-SBK adalah model unik integrasi antara nilai Islam dan budaya lokal yang harmonis dan bisa menjadi model bagi daerah lain” (Azra, 2004, Islam Nusantara).

Insiden Tidak Sama dengan Kultur Mayoritas

Insiden intoleransi memang terjadi, tetapi tidak bisa serta merta digunakan untuk menilai karakter suatu daerah secara keseluruhan. Kejahatan oleh segelintir orang tidak dapat dijadikan ukuran moral kolektif. Kapolda Sumatera Barat telah menindak pelaku dan menyatakan bahwa:“Kami tidak mentoleransi kekerasan atas nama agama. 9 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, dan proses hukum berjalan” (Tempo.co, 29 Juli 2025).

Sumbar Justru Provinsi Percontohan Kerukunan Nasional.

Sejak awal 2025, Sumatera Barat ditetapkan sebagai salah satu dari delapan provinsi pilot project kerukunan antarumat beragama oleh Kementerian Agama RI. Artinya, pemerintah pusat melihat Sumbar memiliki potensi dan realitas sosial yang mendukung keberagaman dan toleransi. Dalam pernyataan resmi Kemenag, disebutkan:“Sumbar termasuk provinsi yang memiliki indeks kerukunan tinggi, berkat peran tokoh adat, agama, dan kekuatan kultural lokal yang hidup” (Kemenag, Mei 2025).

Tuduhan Intoleransi Kerap Dimanfaatkan untuk Kepentingan Politik.

Narasi intoleransi kadang dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan atau stigma terhadap kelompok tertentu. Tokoh nasional dan sesepuh Lemhannas, Agum Gumelar, menyatakan dengan tegas:“Tuduhan terhadap Sumbar sebagai daerah radikal dan intoleran adalah fitnah dan rekayasa. Saya tidak terima anak cucu saya di Padang dikatakan seperti itu” (Gatra.com, 2023).

Struktur Sosial Minangkabau Mendukung Toleransi.

Minangkabau menganut sistem matrilineal yang menjadikan kaum ibu sebagai penentu garis keturunan dan distribusi peran dalam masyarakat. Hal ini menciptakan keseimbangan dan kolaborasi sosial yang tinggi. Budaya surau, musyawarah dalam kerapatan adat, dan penghormatan terhadap “urang sumando” (pendatang) mencerminkan keterbukaan. Tidak heran jika banyak minoritas hidup damai dan produktif di tengah masyarakat Minang.

Menolak Stigma, Mendorong Transformasi Kultural.

Menilai Sumatera Barat sebagai intoleran hanya dari satu dua insiden adalah bentuk ketidakadilan intelektual. Yang dibutuhkan adalah pendekatan holistik, mengakui bahwa setiap daerah bisa mengalami konflik, namun yang membedakan adalah bagaimana konflik itu ditangani. Sumatera Barat telah menunjukkan komitmen penyelesaian yang inklusif—dengan hukum, mediasi, dan edukasi.“Janganlah kebencian kepada suatu kaum menjadikan kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS Al-Ma’idah: 8).

Tuduhan intoleransi terhadap Sumatera Barat perlu dikritisi secara adil, bukan disebarluaskan tanpa data dan konteks. Yang kita butuhkan kini adalah memperkuat budaya dialog, menghargai keragaman, dan memperluas pendidikan toleransi berbasis lokalitas. Karena harmoni bukan slogan, tapi warisan yang harus dirawat bersama.

Pasang-Surut Isu Intoleransi di Sumatera Barat.

Isu dan tuduhan intoleransi terhadap Sumbar telah lama muncul, terutama sejak pasca Pilpres 2014 dan 2019, namun sejumlah tokoh publik menegaskan tuduhan itu dibesar‑besarkan oleh pihak tertentu untuk memecah belah bangsa. Agum Gumelar dari IKAL/Lemhanas menyatakan bahwa tuduhan Sumbar intoleran dan radikal adalah tidak benar, dan disebarluaskan tanpa tanggung jawab.

Sumbar Menjadi Pilot Project Kerukunan Beragama.

Pada Mei 2025, Sumatera Barat ditetapkan sebagai salah satu dari delapan provinsi percontohan dalam proyek kerukunan beragama nasional, bersama Banten, Jakarta, Jabar, Sulteng, Riau, Sulsel, dan NTB. Artikel menyatakan bahwa Sumbar kini telah keluar dari tuduhan sebagai daerah intoleran, dan isu tersebut hanya berkembang karena pihak tertentu. Kebijaksanaan lokal tetap konsisten sejak dulu–kecuali rumor yang diproduksi pihak eksternal .

Struktur Sosial dan Keberagaman.

Populasi Muslim di Sumbar mencapai sekitar 97 % (99,6 % jika tidak termasuk Mentawai). Minoritas seperti Kristen, Katolik hanya 2,3 % dari total penduduk, terutama di Mentawai (di mana mereka mayoritas lokal). Masyarakat Minangkabau memiliki tradisi adat yang mengedepankan tata nilai “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” — menunjukkan hubungan yang erat antara adat dan Islam, namun tidak secara otomatis menolak nilai pluralisme

Respon Pemerintah terhadap Insiden Terbaru.

Menteri Agama mengirim tim ke Padang Sumbar dan menyatakan kasus pembubaran ibadah rumah doa adalah peristiwa serius yang harus dicegah agar tidak terulang.

Kemenag juga memperkenalkan “kurikulum cinta” untuk pendidikan yang bertujuan membangun budaya saling pengertian dan mengikis prasangka antarsesama.

Argumentasi Menyusun Bantahan.

Tuduhah bahwa Sumbar intoleran secara kultural adalah tidak benar. Data menunjukkan bahwa toleransi sejak lama konsisten; menjadi proyek percontohan kerukunan beragama nasional di 2025. Insiden kekerasan sebagai bukti intoleransi perlu dimengerti bahwa insiden tersebut adalah pelanggaran yang ditangani serius oleh aparat dan bukan representasi karakter umum masyarakat Sumbar .

Tuduhan digerakkan politik adalah keliru dan tak berdasar.Tokoh-tokoh seperti tokoh Lemhanas menekankan tuduhan dikembangkan oleh kelompok tertentu untuk memecah persatuan nasional .
Sumatera Barat bukanlah daerah intoleran secara sistemik atau kultural; justru diakui sebagai provinsi contoh dalam kerukunan beragama nasional sejak tahun 2025.

Insiden intoleransi yang terjadi adalah tindakan oleh segelintir pihak, tapi menjadi perhatian serius pemerintah yang menindak tegas pelaku dan mengembangkan langkah pencegahan. Tuduhan intoleransi sering muncul karena isu politik atau pemahaman salah – banyak tokoh lokal menolak tuduhan tersebut dan menegaskan persatuan dalam pluralitas di Sumbar sudah berlangsung puluhan tahun. Penting membedakan antara kejadian lokal yang ditangani dengan karakter dan tradisi masyarakat fiil Sumatera Barat yang tetap menghormati keragaman dan toleransi.

ANALISIS POLITIK
Analisis politik, sosiologis, dan kesimpulan terhadap esai “Sumatera Barat Bukan Daerah Intoleran.

1.Instrumentalisasi Isu Intoleransi dalam Dinamika Nasional.

Tuduhan intoleransi terhadap Sumatera Barat tidak lepas dari konteks politik nasional pasca Pilpres 2014 dan 2019, di mana terjadi segmentasi elektoral berdasarkan preferensi ideologis keagamaan. Sumbar, yang dikenal konsisten memilih kandidat dengan citra religius, sering dijadikan target framing sebagai basis “konservatisme” atau “radikalisme”, padahal tidak ada bukti struktural yang menguatkan itu.

2.Politik Labelisasi: Peminggiran dalam Wacana Nasional.

Sejumlah elite nasional dan media menggunakan insiden lokal sebagai amunisi labelisasi, yang berpotensi meminggirkan Sumbar dalam peta kebangsaan. Dalam perspektif politik kekuasaan, framing intoleransi bisa digunakan untuk mendelegitimasi kekuatan politik berbasis agama dan adat, serta menekan kemandirian sikap masyarakat lokal.

3.Respons Politik Pemerintah Pusat sebagai Klarifikasi
Penunjukan Sumatera Barat sebagai provinsi percontohan kerukunan umat beragama (pilot project Kemenag 2025) adalah langkah politik positif untuk menegaskan bahwa narasi intoleransi tidak mewakili kebijakan struktural dan kehidupan sosial kultural di Sumbar. Ini menjadi “klarifikasi simbolik” atas narasi negatif yang berkembang.

 

ANALISIS SOSIOLOGIS

1.Budaya ABS-SBK sebagai Modal Sosial Kerukunan
Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) adalah landasan nilai yang meletakkan norma agama sebagai pemandu adat dan hukum sosial. Dalam teori sosiologi Durkheimian, ABS-SBK menjadi collective consciousness yang mendorong kohesi sosial dan menghambat deviasi seperti kekerasan atas nama agama.

2.Sistem Matrilineal dan Keterbukaan Sosial.

Minangkabau sebagai satu-satunya sistem matrilineal di dunia Islam memiliki mekanisme distribusi kekuasaan yang relatif non-dominatif. Peran kaum ibu, penghormatan pada “urang sumando” (pendatang/menantu dari luar suku), serta budaya musyawarah dalam surau menjadi benteng kultural terhadap eksklusivisme identitas.

3.Insiden Sebagai Gejala Minoritas Sosial, Bukan Struktur Mayoritas.

Dalam sosiologi konflik, insiden pembubaran ibadah seperti di Padang Sarai dapat dikategorikan sebagai konflik horizontal terbatas, bukan konflik sistemik. Masyarakat Minang secara umum tidak menunjukkan resistensi terhadap keberagaman, sebagaimana terlihat dari tingginya indeks kerukunan dan minimnya konflik terbuka selama beberapa dekade.

4.Pengaruh Sosial Media dan Respon Emosional Kolektif.

Dalam era digital, peristiwa kecil dapat diperbesar menjadi “kegaduhan nasional” melalui media sosial. Ini menciptakan efek resonansi (echo chamber) yang memperkuat stigma. Sayangnya, respons netizen seringkali tidak berdasarkan data, melainkan emosi kolektif yang memproduksi generalisasi dan prasangka.

Kesimpulan Kritis.

1.Sumatera Barat tidak memiliki sistem atau budaya yang mendorong intoleransi. Tuduhan intoleransi yang diarahkan ke Sumbar lebih bersifat politis dan fragmentatif daripada deskriptif.

2.Peristiwa intoleransi harus diperlakukan sebagai insiden terbatas, bukan representasi sosial kultural. Insiden seperti pembubaran ibadah harus ditindak secara hukum, tetapi juga dimaknai secara sosiologis sebagai deviasi individual dari norma masyarakat Minangkabau yang damai.

3.ABS-SBK, sistem matrilineal, dan budaya surau adalah mekanisme integratif sosial. Tiga unsur ini merupakan warisan yang dapat dimobilisasi untuk membangun narasi tandingan terhadap stigma intoleransi.

4.Pentingnya pendekatan kultural-politik dalam resolusi konflik. Pendekatan hukum formal saja tidak cukup. Diperlukan rekonsiliasi berbasis adat, dialog lintas iman, dan pendidikan toleransi yang bersumber dari kearifan lokal Minang.

5.Rekonstruksi Citra Sumatera Barat harus berbasis data, bukan opini atau stigma. Pemerintah daerah, akademisi, media, dan tokoh agama harus proaktif menyuarakan fakta dan menghindari sikap reaktif yang defensif.
Sumatera Barat tidak hanya bukan daerah intoleran, tetapi bisa menjadi contoh hidup harmonis antara agama dan budaya yang otentik, moderat, dan progresif. Ds.02082025.

Leave a Reply