Oleh:
Duski Samad
Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Imam Bonjol dan Wakil Ketum PP PERTI
Tawajuh Akbar ke 55 (sejak tahun 1970) mursyid, khalifah dan jamaah tarekat Naqsabandiyah al Khalidiyah dari 5 Provinsi (Sumbar, Riau, Sumut, Jambi dan Bengkulu) yang bersilsilah pada Syekh Ibrahim Al Khalidiyah al Kumpuluniyah berlangsung Senen 11 Agustus 2025 dan penulis diminta memberi Taushiyah. Bersama penulis juga hadir Ketua PD PERTI Drs.H.Afrizal Moetwa yang memberikan sambutan bahwa PERTI adalah ormas yang tegas menyatakan paham keagamaan bertarekat Naqsabandiyah dan mu’tabarah lainnya.
Tulisan ini hadir adalah refleksi menyaksi efek yang dihasilkan tawajuh dan kedamaian batin yang dirasakan ketika tawajuh berakhir.
Tawajuh dalam tradisi Tarekat Naqsyabandiyah adalah metode kontemplasi ruhani (tafakkur dan dzikir) yang memusatkan hati sepenuhnya kepada Allah. Kata tawajuh berasal dari akar kata Arab wajaha yang juga terdapat dalam doa iftitah:
> وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
“Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi.” (QS. Al-An‘ām: 79)
Dalam konteks tarekat, tawajuh bukan sekadar ritual, tetapi madrasah ruhani—sebuah sekolah jiwa—yang membentuk pribadi yang tangguh menghadapi tantangan hidup dan muthmainnah (tenang) dalam keimanan.
1.Tawajuh sebagai Metode Kontemplasi
Dalam Tarekat Naqsyabandiyah, tawajuh adalah upaya menghadirkan hati di hadapan Allah melalui bimbingan seorang mursyid. Hubungannya dengan doa iftitah (wajjahtu wajhiya) menandakan bahwa tawajuh dimulai dari kesadaran orientasi hati—seluruh perhatian diarahkan hanya kepada Allah.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang dzikir tarekat (Fatwa MUI No. 14 Tahun 2012) menegaskan bahwa dzikir berjamaah yang dipimpin mursyid adalah ibadah yang dibenarkan, selama tidak bertentangan dengan syariat dan menguatkan hubungan hamba dengan Allah.
2.Istighfar: Pintu Awal Tazkiyah al-Nafs.
Setiap tawajuh dibuka dengan istighfar beberapa kali, sebagai bentuk taubat dan pembersihan jiwa (tazkiyah al-nafs).
Allah berfirman:
> فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا
“Maka aku berkata (kepada mereka): ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun.’” (QS. Nuh: 10)
Dalam kajian psikologi Islam, istighfar berfungsi sebagai proses kognitif dan emosional untuk melepaskan rasa bersalah, menumbuhkan optimisme, dan menguatkan kontrol diri. Secara klinis, pengakuan kesalahan di hadapan Allah membangun resiliensi emosional.
3.Rabithah: Menguatkan Koneksi Spiritual
Tahap berikutnya adalah rabithah—menghubungkan hati murid dengan guru mursyid dan silsilah tarekat hingga kepada Rasulullah ﷺ. Prosesi diawali oleh khalifah dengan membaca ayat:
> وَاصْبِرُوا وَرَابِطُوا
“…Bersabarlah, perkuat kesabaran, dan tetaplah bersiap siaga (dalam iman).” (QS. Ali ‘Imran: 200)
Lalu dibaca surat Al-Fatihah, Al-Insyirah, dan Al-Ikhlas dengan jumlah tertentu, diakhiri dengan ayat:
> يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu.” (QS. Al-Fajr: 27–28)
Kajian psikologi menyebut rabithah sebagai anchoring technique—mengaitkan hati kepada figur yang menuntun menuju nilai-nilai luhur, sehingga tercipta role model internal yang stabil.
4.Dzikir La Ilaha Illa Allah: Inti Tawajuh.
Mursyid kemudian memimpin dzikir “Lā ilāha illā Allāh” dengan jumlah tertentu. Ini adalah inti tawajuh, karena kalimat tauhid merupakan pondasi ruhani: “Sebaik-baik dzikir adalah Lā ilāha illā Allāh.” (HR. Tirmidzi)
Psikologi modern mengakui repetitive affirmation (pengulangan kalimat positif) sebagai cara menguatkan fokus dan membentuk keyakinan batin. Dalam dzikir tauhid, afirmasi ini mengarah pada kesadaran ketuhanan yang membebaskan jiwa dari ketergantungan pada makhluk.
5.Doa Penutup: Memelihara Ikatan Ruhani.
Khalifah menutup tawajuh dengan doa panjang: mendoakan Nabi ﷺ, guru, orang tua, keluarga, dan diri sendiri. Doa ini mencerminkan orientasi prososial—sebuah sikap mendoakan kebaikan bukan hanya untuk diri, tetapi juga orang lain. Rasulullah ﷺ bersabda:“Doa seorang Muslim untuk saudaranya yang tidak hadir akan dikabulkan.” (HR. Muslim)
Kajian psikologi positif menemukan bahwa berdoa untuk orang lain meningkatkan empati, rasa syukur, dan kesehatan mental, sehingga membantu pembentukan jiwa muthmainnah.
Tawajuh bukan sekadar dzikir bersama, tetapi sebuah madrasah ruhani yang mendidik muridnya melalui tahap-tahap tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa), taqwiyah al-iman (penguatan iman), dan tahdzib al-akhlaq (pembinaan akhlak).
Dari perspektif psikologi, proses tawajuh membentuk resiliensi (ketangguhan) melalui pengendalian diri, penguatan fokus, dan pelepasan beban emosional, serta membangun ketenangan jiwa (muthmainnah) melalui keterhubungan spiritual, dzikir, dan doa.
PENGUATAN
1.Landasan Syariat yang Kuat.
Tawajuh dalam Tarekat Naqsyabandiyah berakar pada ayat Al-Qur’an seperti wajjahtu wajhiya (QS. Al-An‘ām: 79), shabiru wa rabithu (QS. Ali ‘Imran: 200), dan ya ayyatuhan nafsul muthmainnah (QS. Al-Fajr: 27–28), serta hadits sahih seperti dzikir terbaik Lā ilāha illā Allāh (HR. Tirmidzi).
Fatwa MUI No. 14 Tahun 2012 menguatkan legitimasi dzikir tarekat sebagai amalan yang dibenarkan selama sesuai syariat dan bermanfaat bagi pembinaan umat.
2.Proses Ruhani yang Terstruktur.
Setiap tahap tawajuh (kontemplasi, istighfar, rabithah, dzikir tauhid, doa penutup) merupakan kurikulum ruhani yang membina hati dan pikiran secara sistematis, mirip metode pembelajaran di sekolah.
Kontemplasi menata fokus hati kepada Allah.
Istighfar membersihkan jiwa dari dosa dan beban mental.
Rabithah menghubungkan dengan sanad guru dan tradisi ulama.
Dzikir tauhid memperkuat keyakinan dan kebergantungan pada Allah.
Doa penutup mengikat proses tawajuh dengan kepedulian sosial.
3.Dampak Psikologis Positif.
Berdasarkan kajian psikologi Islam dan modern, tawajuh memberi efek langsung pada:
Resiliensi: kemampuan bangkit dari tekanan hidup.
Ketenangan jiwa (muthmainnah): stabilitas emosi dan batin.
Orientasi prososial: empati, syukur, dan solidaritas sosial.
Konklusi
Tawajuh adalah madrasah ruhani yang menggabungkan zikir, doa, dan kontemplasi dengan bimbingan mursyid, mengubahnya menjadi proses pendidikan jiwa yang mendalam. Melalui istighfar, rabithah, dzikir tauhid, dan doa, murid tidak hanya memperkuat hubungan vertikal dengan Allah tetapi juga memperhalus hubungan horizontal dengan sesama manusia.
Dari perspektif syariat, tawajuh memiliki legitimasi nash dan fatwa yang kuat. Dari perspektif psikologi, tawajuh menjadi metode penguatan mental-spiritual yang efektif, menumbuhkan pribadi yang tangguh menghadapi cobaan dan muthmainnah dalam iman.
Dengan demikian, tawajuh tidak sekadar ritual tarekat, tetapi pilar pembinaan karakter bangsa melalui jalur rohani yang telah teruji oleh waktu, diwariskan oleh para mursyid, dan diakui manfaatnya bagi ketahanan mental serta harmoni sosial umat.ds.suraubatu@ makamsyekhibrahim alkhalidipasaman.ds11082025.