ULUN NUHA:
AKAL SEHAT DAN KINERJA POSITIF
Oleh: Duski Samad
Pembina indonesiamadani.com dan surauprofessor@com
كُلُواْ وَٱرۡعَوۡاْ أَنۡعَٰمَكُمۡۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلنُّهَىٰ
Artinya: Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguh nya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal. (QS. Thaha, (20):54).
Ibnu Katsi menjelaskan ayat ini nikmat Allah yang diberikan kepada manusia berupa tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat sebagai makanan bagi manusia dan hewan. Allah menegur mereka yang tidak menggunakan akal untuk memahami kebesaran-Nya melalui nikmat ini.
Dalam Tafsir Al-Baghawi, “Nukul” berarti makanan yang dimanfaatkan oleh manusia dan ternak. Ayat ini mengajak manusia untuk berpikir tentang kebesaran Allah dalam menciptakan makanan bagi mereka dan hewan-hewan mereka.
Tafsir Modern Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab) ayat ini menekankan hubungan antara manusia dan alam serta bagaimana seharusnya manusia bersyukur dengan memahami tanda-tanda kebesaran Allah. Kalimat “afala ya’qiloon” (mengapa mereka tidak berpikir?) menegaskan pentingnya akal dalam memahami dan mensyukuri nikmat.
Tafsir Muhammad Asad ayat ini mencerminkan konsep keseimbangan ekologi, di mana Allah telah menciptakan rezeki tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk ekosistemnya (hewan ternak). Ini adalah pengingat bahwa manusia seharusnya berpikir dan tidak hanya menikmati nikmat tanpa mempertimbangkan dampaknya.
أَفَلَمۡ يَهۡدِ لَهُمۡ كَمۡ أَهۡلَكۡنَا قَبۡلَهُم مِّنَ ٱلۡقُرُونِ يَمۡشُونَ فِي مَسَٰكِنِهِمۡۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلنُّهَىٰ
Artinya: Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (QS. Thaha, (20):128.)
Tafsir Ibnu Katsir menukilkan ayat ini adalah peringatan bagi manusia agar mengambil pelajaran dari kehancuran umat-umat sebelumnya yang mendustakan Allah. “Masaakinihim” (tempat-tempat tinggal mereka) merujuk pada bekas peradaban yang hancur seperti kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun.
Tafsir Al-Qurtubi menegaskan bahwa orang-orang musyrik Makkah sering melewati reruntuhan kaum terdahulu, namun mereka tetap tidak mengambil pelajaran. Ini adalah sindiran keras kepada mereka yang tidak menggunakan akal untuk memahami akibat dari keingkaran terhadap Allah.
Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab) menyebutkan ayat ini mengajak manusia untuk mempelajari sejarah sebagai sumber hikmah dan peringatan. “Ulinnuha” (orang-orang yang berakal) menunjukkan bahwa hanya orang yang memiliki akal sehat yang bisa memahami tanda-tanda kebesaran Allah.
Tafsir Said Nursi menulis bahwa peradaban yang kuat bisa runtuh jika menyimpang dari jalan Allah, sebagaimana yang telah terjadi pada bangsa-bangsa sebelumnya. Ayat ini juga menekankan perlunya manusia untuk merenungkan dampak moral dan spiritual dari kejatuhan peradaban.
Analisis terhadap QS. Thaha Ayat 54 dan 128 bahwa kedua ayat ini, ada benang merah yang dapat ditarik, yaitu nikmat dan peringatan. Ayat 54 berbicara tentang nikmat Allah yang diberikan kepada manusia, berupa makanan dan sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan manusia dan hewan. Namun, manusia diingatkan agar tidak hanya menikmati, tetapi juga menggunakan akalnya untuk berpikir dan mensyukuri nikmat itu.
Ayat 128 berisi peringatan sejarah, di mana umat-umat terdahulu yang tidak bersyukur dan menyimpang dari jalan Allah akhirnya dihancurkan. Ini menekankan bahwa akal harus digunakan untuk belajar dari sejarah, agar manusia tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Pendekatan Tafsir Klasik dan Modern. Tafsir Klasik (Ibnu Katsir, Al-Baghawi, Al-Qurtubi) lebih fokus pada makna tekstual dan historis. Menunjukkan bagaimana umat terdahulu yang mendustakan Allah dihancurkan. Menggunakan contoh konkret seperti kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun.
Tafsir Modern (Quraish Shihab, Muhammad Asad, Said Nursi) melihat dimensi sosial dan ekologis dari ayat ini. Ayat 54 dikaitkan dengan ekologi dan keseimbangan alam, mengajak manusia agar bijak dalam memanfaatkan sumber daya. Ayat 128 dijadikan pelajaran sejarah, bahwa kehancuran peradaban bisa terjadi karena penyimpangan moral dan sosial.
Poin penting dari kedua ayat di atas akal adalah kunci utama dalam memahami ayat-ayat Allah. Kalimat “afala ya’qiloon” (mengapa mereka tidak berpikir?) dalam ayat 54 dan “Ulinnuha” (orang-orang yang berakal) dalam ayat 128 menekankan bahwa pemahaman yang benar berasal dari akal yang sehat. Allah tidak hanya memerintahkan manusia untuk menikmati rezeki, tetapi juga untuk merenungkan maknanya.
Keseimbangan dalam menikmati nikmat Allah. Tafsir modern menekankan bahwa makanan dan sumber daya alam bukan hanya untuk dikonsumsi tanpa batas, tetapi harus dikelola dengan bijak. Ada konsep tanggung jawab ekologi dalam pemanfaatan alam, agar tidak terjadi eksploitasi yang merusak keseimbangan. Belajar dari sejarah sebagai ibrah (pelajaran hidup). Ayat 128 mengingatkan bahwa peradaban besar pun bisa runtuh jika mereka menolak kebenaran. Tafsir Said Nursi menekankan bahwa kejatuhan peradaban bukan hanya karena faktor ekonomi atau politik, tetapi juga faktor moral dan spiritual.
Dua ayat ini berisi syukur atas nikmat Allah dengan tidak hanya menikmati, tetapi juga berpikir dan bertanggung jawab. Mengambil pelajaran dari sejarah agar tidak mengulangi kesalahan umat-umat terdahulu. Secara keseluruhan, kombinasi tafsir klasik dan modern memberikan pemahaman yang lebih luas, tidak hanya tentang sejarah, tetapi juga relevansinya dalam kehidupan saat ini, termasuk dalam aspek ekonomi, ekologi, dan sosial.
MANUSIA, AKAL SEHAT DAN FUNGSI BERFIKIRNYA
Al-Qur’an, menjelaskan tentang esensi manusia sebagai makhluk yang memiliki kecerdasan dan akal dengan berbagai istilah yang menggambarkan fungsi berpikir, memahami, dan mengambil hikmah.
Konsep utama nya adalah manusia makhluk berakal. Allah menegaskan bahwa manusia diberi akal untuk memahami tanda-tanda kebesaran-Nya: Afala ta’qilun (أَفَلَا تَعْقِلُونَ)?Tidakkah kalian menggunakan akal? (QS. Al-Baqarah: 44, 76). Afala yatadabbarun (أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ)?.Tidakkah mereka merenungkan? (QS. Muhammad: 24). Afala tatafakkarun (أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ)? Tidakkah kalian berpikir? (QS. Al-An’am: 50).
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa esensi manusia yang cerdas adalah yang menggunakan akalnya untuk berpikir kritis dan merenungi ciptaan Allah.
Istilah Qur’ani untuk orang berakal Allah menggunakan beberapa istilah khusus untuk menggambarkan manusia yang memiliki kecerdasan: a) Ulul Albab (أُو۟لُوا ٱلْأَلْبَٰبِ) .Orang yang Berakal Murni. Digunakan untuk menggambarkan orang yang memikirkan tanda-tanda Allah dan memiliki pemahaman mendalam. Contoh ayat: “(Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulul Albab).” (QS. Ali Imran: 190).
Ada pula kata Ulun Nuha (أُو۟لُوا ٱلنُّهَىٰ) – Orang yang Paham dan Bijak. Akal yang mampu mengendalikan hawa nafsu, bukan sekadar berpikir, tapi juga mengontrol diri. Contoh ayat: “(Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi Ulun Nuha)” (QS. Thaha: 54).
- c) Ulul Absar (أُو۟لُوا ٱلْأَبْصَٰرِ) – Orang yang Memiliki Pandangan Jauh. Orang yang bukan hanya berpikir, tapi juga melihat dengan hati nurani dan memahami hikmah dalam kehidupan. Contoh ayat: “(Ambillah pelajaran, wahai Ulul Absar!)” ( Al-Hasyr: 2).
Allah sering membandingkan manusia yang tidak menggunakan akalnya dengan hewan ternak. “Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi jalannya.” (QS. Al-A’raf: 179). Batu atau benda mati. “Hati mereka lebih keras dari batu.” (QS. Al-Baqarah: 74).
Ini menunjukkan bahwa hakikat manusia yang sejati adalah ketika ia menggunakan dan memfungsikan akalnya, bukan hanya mengikuti hawa nafsu atau tradisi tanpa berpikir.
Islam menegaskan bahwa manusia diberi akal dan kecerdasan sebagai anugerah utama, dan yang benar-benar cerdas menurut Al-Qur’an adalah berpikir kritis dan mendalam (tadabbur, tafakkur). Memahami hikmah dan bertindak bijak (Ulul Albab, Ulun Nuha). Mampu mengambil pelajaran dari kehidupan (Ulul Absar).
Kalau manusia nggak pakai akalnya dengan baik, ya statusnya bisa lebih rendah dari binatang, bro. Jadi, Islam mendorong kita buat jadi manusia cerdas yang beriman dan beramal shalih
PEMILIK KEBIJAKSANAAN BERKINERJA POSITIF
Kata-kata seperti Ulul Albab dan Ulun Nuha itu sebenarnya merujuk pada orang-orang yang memiliki akal, pemahaman, dan kebijaksanaan yang dalam menurut perspektif Islam. Ini sering disebut dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan orang-orang yang berpikir, merenung, dan memahami tanda-tanda kebesaran Allah.
Ulul Albab (أُو۟لُوا ٱلْأَلْبَٰبِ) secara harfiah berarti “orang-orang yang berakal” atau “pemilik hati nurani yang dalam”. Kata “albab” (الألباب) adalah bentuk jamak dari “lubb” (لبّ) yang berarti inti, esensi, atau akal yang murni. Dalam Al-Qur’an, istilah ini digunakan untuk menyebut mereka yang mendalami ilmu, berpikir secara mendalam, dan memahami hikmah dalam kehidupan. Contoh dalam Al-Qur’an: QS. Ali Imran: 190-191, mereka yang memikirkan ciptaan langit dan bumi dan selalu mengingat Allah. QS. Az-Zumar: 9. menyebut bahwa tidak sama orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu.
Ulun Nuha (أُو۟لُوا ٱلنُّهَىٰ) secara harfiah berarti “orang-orang yang memiliki pemahaman” atau “pemilik kecerdasan”. Kata “nuha” (النُّهَىٰ) berasal dari kata “nahy” (نَهْي) yang berarti melarang atau menahan diri, maksudnya adalah akal yang bisa menahan dari kebodohan dan keburukan. Ini merujuk pada orang-orang yang memiliki akal yang tidak hanya berpikir, tetapi juga mampu mengendalikan hawa nafsu dan bertindak dengan kebijaksanaan. Contoh dalam Al-Qur’an: QS. Thaha: 54 menyebut bahwa ayat-ayat Allah adalah pelajaran bagi “ulun nuha”, orang-orang yang berakal.
Kata sejenisnya adalah Ulul Absar (أُو۟لُوا ٱلْأَبْصَٰرِ) orang-orang yang memiliki wawasan atau pandangan yang tajam (QS. Al-Hasyr: 2). Ulul Amr (أُو۟لُوا ٱلْأَمْرِ), pemimpin atau orang yang memiliki otoritas (QS. An-Nisa: 59). Ulul Aidi (أُو۟لُوا ٱلْأَيْدِى) orang-orang yang kuat dan berkemampuan (QS. Shad: 45). Jadi, secara umum, istilah-istilah ini digunakan untuk menggambarkan orang-orang berilmu, berpikir mendalam, dan memiliki hikmah dalam bertindak.
STRATEGI IMPLEMENTASI ULUN NUHA BERKINERJA POSITIF
Implementasi nilai-nilai Ulul Albab dalam kinerja positif dapat dilakukan melalui beberapa strategi berikut:
- Pemahaman dan Penghayatan Nilai-Nilai Qur’ani. Individu harus menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam berpikir dan bertindak. Memahami makna ayat-ayat yang menekankan pentingnya akal sehat dan kebijaksanaan akan membentuk pola pikir yang lebih kritis, solutif, dan berorientasi pada kebaikan bersama.
- Integrasi Ilmu dan Iman dalam Dunia Kerja. Kinerja positif dapat diwujudkan dengan mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual dalam pekerjaan. Konsep ini menuntut seseorang untuk tidak hanya mengejar keunggulan intelektual, tetapi juga menjunjung tinggi etika dan moralitas.
- Berpikir Kritis dan Inovatif. Ulul Albab ditandai dengan kemampuan berpikir kritis dan inovatif dalam menyelesaikan masalah. Menerapkan metode berpikir analitis serta menciptakan solusi yang kreatif dan berbasis etika merupakan bagian dari implementasi nilai ini dalam dunia kerja dan kehidupan sehari-hari.
- Tanggung Jawab Sosial dan Ekologis. Manusia yang berakal sehat akan memahami pentingnya menjaga keseimbangan dalam kehidupan. Tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial harus menjadi bagian dari setiap keputusan dan tindakan yang diambil, baik dalam lingkup individu, organisasi, maupun masyarakat.
- Pengembangan Karakter dan Kepemimpinan Berbasis Hikmah. Seorang pemimpin yang memiliki sifat Ulul Albab akan mengedepankan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, mendengarkan berbagai sudut pandang, dan bertindak berdasarkan prinsip keadilan. Kepemimpinan yang berorientasi pada hikmah akan menghasilkan perubahan positif dalam lingkungan kerja dan sosial.
- Pembelajaran Berkelanjutan dan Refleksi Diri. Ulul Albab selalu berusaha untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Evaluasi atas tindakan yang telah dilakukan, refleksi terhadap pengalaman, serta sikap terbuka terhadap ilmu baru akan memperkuat kapasitas individu dalam menghadapi tantangan zaman.
Pentingnya penggunaan akal dalam memahami dan mensyukuri nikmat Allah, serta belajar dari sejarah agar tidak mengulangi kesalahan umat terdahulu. Dua ayat dalam QS. Thaha (54 dan 128) menjadi dasar utama yang menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk berpikir dan mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah.
Pendekatan tafsir klasik dan modern memberikan perspektif yang lebih luas. Tafsir klasik menyoroti pelajaran dari sejarah kehancuran umat terdahulu, sementara tafsir modern menekankan keseimbangan ekologi dan tanggung jawab manusia dalam mengelola nikmat Allah. Poin utama dari kajian ini adalah akal sebagai kunci utama. Keseimbangan dalam Menikmati Nikmat Allah. Belajar dari Sejarah sebagai Ibrah (Pelajaran Hidup)
Strategi Implementasi Ulun Nuha dalam Kinerja Positif. Pemahaman Qur’ani sebagai pedoman dalam berpikir dan bertindak. Integrasi ilmu dan iman dalam dunia kerja untuk menyeimbangkan intelektual dan moralitas. Berpikir kritis dan inovatif dalam menyelesaikan masalah. Tanggung jawab sosial dan ekologis sebagai bagian dari keputusan dan tindakan manusia. Kepemimpinan berbasis hikmah, yang mendengarkan, adil, dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Pembelajaran berkelanjutan dan refleksi diri untuk terus memperbaiki diri dan menghadapi tantangan zaman.
Ulun Nuha mengajarkan bahwa manusia yang benar-benar berakal adalah mereka yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kebijaksanaan dalam bertindak dan bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial, moral, dan ekologis. Taushiyah Buka Bersama Bank Nagari Sumatera Barat, Senen, 24 Maret 2025#24ramadhan 1446H.