VUCA DAN MITIGASI POTENSI KONFLIK

VUCA DAN MITIGASI POTENSI KONFLIK

Oleh: Duski Samad

Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat

 

Terma Vuca di atas disampaikan Sekretaris Daerah Kepulauan Riau dalam membuka Lokakarya Mitigasi dan Penyelesaian Potensi Konflik Umat Beragama di hotel CK Tanjung Pinang 27-29 Juli 2025.

VUCA adalah akronim:

Volatility (Volatilitas): Situasi cepat berubah dan sulit diprediksi, baik dalam aspek politik, sosial, ekonomi, maupun budaya.

Uncertainty (Ketidakpastian): Kurangnya kepastian informasi dan arah perkembangan isu, membuat pengambilan keputusan penuh risiko.

Complexity (Kompleksitas): Banyak faktor saling berkaitan (agama, adat, politik, ekonomi) sehingga masalah tidak bisa diselesaikan dengan solusi tunggal.

Ambiguity (Ambiguitas): Ketidakjelasan makna dan dampak situasi, yang bisa memicu kesalahpahaman dan konflik.

Lingkungan sosial-politik dan keagamaan di Indonesia, khususnya daerah multikultural, sering berada dalam kondisi VUCA, yang memperbesar potensi konflik antarumat, ormas, dan masyarakat.

 

VUCA dan Potensi Konflik

Volatilitas dan ketidakpastian sering memicu ketegangan sosial (isu politik identitas, perbedaan tafsir agama, perebutan sumber daya).

Kompleksitas membuat konflik berlapis (multi-layered): ada dimensi ekonomi, budaya, agama, bahkan geopolitik.

Ambiguitas memunculkan salah persepsi yang memperburuk konflik horizontal maupun vertikal.

 

Strategi Mitigasi Konflik lingkungan VUCA

A. Pendekatan Struktural dan Sistemik

Memperkuat Forum Dialog dan FKUB.

Membuat kanal komunikasi formal antarumat dan pemerintah daerah.

Menguatkan kapasitas mediator berbasis tokoh agama, adat, dan akademisi.

Membangun Sistem Early Warning. Menggunakan media sosial, intelijen sosial, dan riset lapangan untuk mendeteksi potensi konflik sejak dini.

Regulasi dan Penegakan Hukum yang Adil. Menjamin semua pihak merasa dilindungi, bukan dimarjinalkan.

 

B. Pendekatan Kultural dan Edukasi.

Moderasi Beragama dan Literasi Budaya. Pendidikan dan sosialisasi prinsip tasamuh (toleransi) dan ukhuwah lintas umat.

Kampanye literasi. media agar masyarakat tidak mudah terprovokasi hoaks.

 

Penguatan Identitas Bersama.

Menekankan nilai kebangsaan (Pancasila) dan falsafah lokal seperti Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) di Sumatera Barat, agar perbedaan menjadi kekuatan, bukan sumber konflik.

 

C. Pendekatan Manajerial (Manajemen Krisis VUCA)

Kepemimpinan Adaptif dan Kolaboratif. Pemimpin (tokoh agama, adat, pemerintah) perlu sigap, fleksibel, dan mampu berkoordinasi lintas sektor.

Scenario Planning dan Simulation Exercise.

Membuat simulasi penanganan konflik berbasis berbagai skenario (politik, agama, bencana sosial).

Komunikasi Publik yang Transparan. Menyediakan informasi resmi dan meredam isu liar agar ketidakpastian tidak membesar.

 

4 Rumus Mitigasi Praktis dalam VUCA (4R). 

Recognize – Kenali sumber konflik sejak dini (analisis sosial, pemetaan isu).

Respond – Respon cepat dan terukur dengan mediasi, edukasi, atau penegakan hukum.

Recover – Pulihkan hubungan sosial melalui rekonsiliasi, kegiatan lintas budaya/agama.

Rebuild – Bangun sistem yang lebih kuat agar konflik tidak berulang.

 

Pendekatan Kebudayaan.

Pendekatan kebudayaan dalam membangun kerukunan umat beragama memandang bahwa harmoni sosial tidak hanya bisa dicapai lewat regulasi atau dialog formal, tetapi juga melalui penguatan nilai, simbol, dan praktik budaya yang sudah mengakar di masyarakat.

Pendekatan ini menekankan kearifan lokal dan identitas budaya bersama sebagai jembatan perekat antaragama dan kelompok.

1. Pendekatan Kebudayaan

Menggali kearifan lokal: Menggunakan adat, tradisi, dan falsafah setempat (misalnya falsafah Minangkabau Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah / ABS-SBK) sebagai basis harmoni.

Memperkuat identitas bersama: Budaya bersama (bahasa, seni, kuliner, upacara adat) menjadi perekat yang melampaui perbedaan agama atau etnis.

Mengembangkan ruang interaksi sosial-budaya: Festival budaya, gotong royong, dan musyawarah adat bisa menjadi sarana silaturahmi lintas iman.

 

2. Prinsip Dasar

Inklusivitas: Budaya sebagai ruang bersama yang dapat diakses semua golongan.

Kontekstualitas: Menyesuaikan pendekatan dengan tradisi dan norma setempat.

Dialog kultural: Mengutamakan interaksi lewat seni, ritual, dan tradisi, bukan hanya forum formal.

Meminimalisasi konfrontasi ideologis: Mengedepankan nilai-nilai universal seperti gotong royong, saling hormat, dan solidaritas.

 

3. Langkah Strategis

Revitalisasi adat dan budaya lokal sebagai sarana pertemuan lintas agama (contoh: alek nagari, pesta rakyat, atau tradisi gotong royong).

Pendidikan multikultural berbasis lokal di sekolah dan pesantren, yang mengenalkan kearifan budaya sebagai jembatan sosial.

Festival dan diplomasi budaya untuk mengikis stereotip antaragama.

Kolaborasi tokoh adat dan tokoh agama dalam menyelesaikan konflik sosial.

Dokumentasi dan promosi budaya damai (cerita rakyat, pantun, kesenian) sebagai media dakwah dan pendidikan karakter.

 

4. Kelebihan Pendekatan Ini

Lebih mudah diterima masyarakat karena menyentuh sisi emosional dan identitas bersama.

Membuat kerukunan tidak terasa dipaksakan, melainkan lahir alami.

Memperkuat modal sosial dan daya tahan masyarakat menghadapi provokasi atau konflik.

 

5. Contoh Praktik

Di Minangkabau, falsafah ABS-SBK dijadikan rujukan harmoni adat-agama, mempersatukan nagari dengan berbagai latar belakang.

Festival budaya seperti Tabuik di Pariaman menjadi ajang pertemuan dan gotong royong warga Muslim dan non-Muslim dalam sektor ekonomi dan sosial.

Di Bali, ritual adat bersama (meskipun beda agama) memperkuat ikatan sosial di desa adat.

 

Kesimpulan:

VUCA dan Mitigasi Potensi Konflik.

Lingkungan sosial, politik, dan keagamaan di Indonesia, khususnya di wilayah multikultural, sering berada dalam kondisi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Kondisi ini memperbesar potensi konflik, baik horizontal antarumat dan ormas, maupun vertikal antara masyarakat dan pemerintah. Volatilitas dan ketidakpastian memicu ketegangan sosial, kompleksitas membuat konflik berlapis, dan ambiguitas menimbulkan salah persepsi yang memperburuk situasi.

Untuk meredam dan mencegah konflik, diperlukan strategi mitigasi yang terpadu dan kontekstual melalui:

• Pendekatan Struktural dan Sistemik

• Menguatkan FKUB dan forum dialog antarumat.

• Membangun sistem peringatan dini berbasis riset sosial, media, dan intelijen komunitas.

• Menegakkan regulasi dan hukum yang adil agar semua pihak merasa dilindungi.

• Pendekatan Kultural dan Edukasi

• Menanamkan moderasi beragama dan literasi budaya, serta mencegah provokasi melalui edukasi dan media.

• Menguatkan identitas kebangsaan (Pancasila) dan kearifan lokal, seperti falsafah Minangkabau Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), agar perbedaan menjadi kekuatan.

• Pendekatan Manajerial (Manajemen Krisis VUCA)

• Mengembangkan kepemimpinan adaptif dan kolaboratif di kalangan tokoh agama, adat, dan pemerintah.

• Menerapkan scenario planning dan latihan simulasi konflik.

• Menyediakan komunikasi publik yang transparan untuk mengurangi ketidakpastian.

• Pendekatan Kebudayaan sebagai Penguat Harmoni

• Menggali kearifan lokal, tradisi, dan adat sebagai perekat sosial lintas agama.

• Mengadakan festival budaya, gotong royong, dan musyawarah adat untuk memperkuat interaksi sosial.

• Melibatkan tokoh adat dan agama dalam mediasi konflik.

• Menjadikan budaya damai sebagai sarana pendidikan karakter dan dakwah.

Mitigasi konflik dalam era VUCA dapat dirumuskan dalam kerangka 4R (Recognize, Respond, Recover, Rebuild): mengenali potensi konflik, merespons cepat, memulihkan hubungan sosial, dan membangun sistem berkelanjutan agar konflik tidak berulang. Pendekatan yang memadukan struktur, edukasi, manajemen krisis, dan budaya akan menjadikan kerukunan umat beragama tidak sekadar bebas konflik, tetapi tumbuh sebagai harmoni yang kuat, alami, dan berdaya tahan.CKhoteltjpng@27 072025.