WA LA TARKANU: JANGAN KOMPOROMI DENGAN KEZALIMAN

WA LA TARKANU: JANGAN KOMPOROMI DENGAN KEZALIMAN

Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol

 

 

Kajian Zohor Masjid Agung Nurul Iman Padang, 09092025

وَلَا تَرْكَنُوٓا۟ إِلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ ۖ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ

Artinya: “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali tidak ada bagimu penolong selain Allah, kemudian kamu tidak akan mendapat pertolongan.” (QS. Hūd: 113)

Al-Ṭabarī menjelaskan bahwa larangan “tarqanuu” (cenderung/condong) bukan hanya ikut dalam kezaliman, tetapi juga menunjukkan rasa simpati, dukungan, atau berdiam diri terhadap kezhaliman. Hal ini menandakan bahwa bersikap pasif terhadap kezaliman sama dengan memberikan legitimasi.

Ibn Kathīr menegaskan bahwa ayat ini melarang duduk bersama orang zalim, menyetujui tindakan mereka, dan bekerja sama dengan mereka. Bahkan sekadar “condong hati” saja sudah dianggap dosa besar. Karena konsekuensinya adalah disentuh api neraka. Menurut Ibn Kathīr, “kezaliman” mencakup syirik, pelanggaran hukum Allah, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Al-Qurṭubī menekankan bahwa kezaliman tidak terbatas pada penguasa tiran, tetapi juga pada siapa saja yang menyimpang dari keadilan. Cenderung kepada mereka, baik karena kepentingan dunia, takut, atau mencari keamanan, akan menjerumus kan pada kebinasaan ukhrawi.

Sayyid Quṭb (Fī Ẓilāl al-Qur’ān) menafsir kan ayat ini sebagai peringatan keras terhadap kompromi politik. Baginya, ketika seorang Muslim atau pemimpin Islam rela bekerjasama dengan penguasa zalim dengan alasan pragmatis, maka ia sudah terjebak dalam sistem kezaliman. Inilah akar keruntuhan umat: kompromi dengan kebatilan.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menekankan bahwa ayat ini adalah peringatan moral dan politik. “Cenderung” bisa berarti ikut serta, membiarkan, atau mendukung secara diam-diam. Ayat ini relevan dalam konteks kepemimpinan: rakyat dan tokoh agama yang tidak kritis terhadap penguasa zalim, ikut menanggung akibat sosial dan spiritual.

Fazlur Rahman memandang ayat ini sebagai dorongan untuk menciptakan struktur politik yang adil. Bagi beliau, kezaliman lahir dari sistem yang tidak menegakkan maqāṣid al-sharī‘ah (keadilan, kemaslahatan). Maka ayat ini mendorong reformasi kelembagaan, bukan hanya sikap individu.

Dari perspektif ilmiah (sosiologi -politik Islam):
Kata kunci “tarqanuu”: secara linguistik berarti condong, miring, atau bergantung. Secara psikologis ini menunjukkan loyalitas afektif, bukan sekadar tindakan. Artinya, hati yang condong pada zalim sudah menjadi bentuk partisipasi dalam struktur penindasan.

Keadilan sebagai fondasi sosial: ayat ini sejalan dengan teori-teori modern tentang social contract (misalnya John Locke, Rousseau) yang menekankan bahwa legitimasi kekuasaan berasal dari keadilan. Jika masyarakat mendukung kezaliman, maka kontrak sosial runtuh.

Implikasi psikososial: diam terhadap penguasa zalim menciptakan spiral of silence—ketakutan sosial yang membuat kezaliman berulang. Ayat ini seakan menegaskan: silent consent is complicity.

Ilmu politik Islam: konsep al-amr bi al-ma‘rūf wa al-nahy ‘an al-munkar adalah mekanisme kontrol publik terhadap pemimpin. Ayat ini menjadi landasan bahwa kepemimpinan zalim tidak boleh dibiarkan.

4.Relevansi dengan Krisis.Kepemimpinan Dunia Islam

1.Kompromi dengan penguasa zalim.
Banyak negara Muslim jatuh dalam krisis karena ulama, elit, atau rakyat condong pada penguasa zalim demi keamanan atau materi. Hal ini menurunkan marwah kepemimpinan Islam.

2.Legitimasi kezaliman.
Diamnya masyarakat sipil, ulama, dan cendekiawan terhadap korupsi, penindasan, dan nepotisme membuat kekuasaan zalim semakin kokoh. QS. Hūd: 113 mengingatkan bahwa sikap ini akan membawa kehancuran kolektif.

3.Hilangnya prinsip keadilan. Dalam sejarah Islam, kepemimpinan kuat dan adil (misalnya Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz) membawa peradaban. Sebaliknya, ketika kompromi dengan zalim terjadi, lahirlah disintegrasi politik (misalnya akhir Abbasiyah, keruntuhan Utsmani).

4.Krisis kontemporer
Dunia Islam hari ini menghadapi krisis kepemimpinan: korupsi, otoritarianisme, dan konflik internal. Ayat ini memberi pedoman agar umat tidak memberikan loyalitas kepada pemimpin zalim, serta mendorong terciptanya sistem kepemimpinan yang adil, akuntabel, dan rahmatan lil-‘ālamīn.

Tafsir klasik menekankan larangan keras sekadar condong pada zalim.

Tafsir kontemporer memperluasnya ke konteks politik modern: kompromi dengan kebatilan adalah awal kehancuran umat.

Tafsir ilmiah menegaskan bahwa keadilan adalah fondasi sosial, dan diam terhadap kezaliman sama dengan memperkuat struktur penindasan.

Relevansi kini: Krisis kepemimpinan di dunia Islam terjadi karena banyak yang masih condong, diam, atau kompromi dengan penguasa zalim. Solusinya: rekonstruksi kepemimpinan berbasis keadilan, etika, dan partisipasi umat.

Contoh historis.

Studi kasus historis dan kontemporer untuk memperlihat kan bagaimana QS. Hūd: 113 terbukti relevan dengan krisis kepemimpinan di dunia Islam.

1.Keruntuhan Daulah Abbasiyah (1258 M)

Konteks: Abbasiyah awalnya jaya dengan kepemimpinan ilmiah dan administratif. Namun, pada periode akhir, elit politik dan ulama condong (tarqanuu) pada penguasa zalim demi kepentingan pribadi.

Akibat: Korupsi merajalela, solidaritas umat runtuh, sehingga Baghdad mudah ditaklukkan Hulagu Khan.

Relevansi ayat: QS. Hūd: 113 mengingatkan bahwa bersekutu dengan kezaliman atau diam terhadapnya menyebabkan kehancuran kolektif.

2.Kelemahan Daulah Utsmaniyah (abad 18–19 M).

Konteks: Utsmani yang dulu digdaya, melemah karena intrik internal, korupsi birokrasi, dan kompromi ulama istana dengan penguasa zalim.

Akibat: Rakyat kehilangan kepercayaan, sehingga Utsmani mudah diperalat Barat.

Relevansi ayat: “Jangan cenderung pada orang zalim” tercermin pada kompromi elit politik dengan kekuatan asing demi mempertahankan kekuasaan.

Studi Kasus Kontemporer Dunia Islam

Mesir (Pasca-Arab Spring 2011)

Konteks: Revolusi rakyat menjatuhkan rezim Mubarak. Namun, pasca kemenangan Ikhwanul Muslimin, militer kembali mengambil alih melalui kudeta 2013.

Masalah: Banyak elit politik dan tokoh agama memilih kompromi dengan militer demi keamanan.

Dampak: Demokrasi hancur, puluhan ribu ulama dan aktivis dipenjara.

Relevansi ayat: QS. Hūd: 113 menegur sikap kompromi rakyat dan elit yang justru memberi legitimasi pada penguasa zalim. DS. 09092025.

Leave a Reply