AKHLAK HILANG, BANGSA GOYANG

AKHLAK HILANG, BANGSA GOYANG
Oleh: Duski Samad
Guru Besar Universitas Islam Negeri UIN Imam Bonjol

“Akhlak Hilang, Bangsa Goyang” adalah seruan kritis atas realitas sosial Indonesia saat ini, di mana empat pilar penting kehidupan berbangsa—krisis akhlak publik, budaya luhur, penghayatan agama, dan keteladanan figur—mengalami kemunduran serius. Fenomena ini berdampak luas pada tatanan masyarakat, mulai dari disorientasi nilai, meningkatnya kekerasan verbal dan fisik, sampai pada lemahnya kepercayaan publik terhadap pemimpin.

Empat sorotan utama dalam penjabaran akhlak hilang bangsa goyang adalah:

  1. Krisis akhlak public. Norma sopan santun, empati sosial, dan etika bermasyarakat mulai ditinggalkan. Ruang publik, termasuk media sosial, dipenuhi ujaran kebencian, hoaks, dan fitnah yang mencerminkan akhlak yang rapuh.
  2. Pergeseran Budaya dan Keadaban Lokal. Budaya gotong royong, malu, dan menghormati orang tua mulai tergeser oleh gaya hidup individualistik, materialistik, dan instan. Warisan budaya yang dahulu menjadi penyangga harmoni sosial kini terpinggirkan.
  3. Rendahnya Internalisasi Ajaran Agama. Pendidikan agama seringkali berhenti di tataran simbolik dan ritualistik, tanpa pembinaan spiritualitas dan akhlak. Agama belum sepenuhnya menjadi sistem nilai yang hidup dalam perilaku sehari-hari masyarakat.
  4. Ketiadaan Figur Panutan yang Berintegritas. Krisis kepercayaan terhadap tokoh publik terjadi karena minimnya keteladanan moral. Banyak pemimpin dan tokoh publik justru terseret kasus-kasus korupsi, kekerasan, atau ujaran provokatif yang mencederai kepercayaan masyarakat

Realitas akhlak hilang bangsa goyang ini adalah panggilan kesadaran bahwa pembangunan bangsa bukan hanya soal infrastruktur dan teknologi, tetapi yang lebih mendasar adalah rekonstruksi akhlak dan kebangkitan nilai-nilai moral, budaya, dan spiritual yang menjadi fondasi bangsa yang kokoh.

KRISIS MORAL, BUDAYA, DAN KETELADANAN
Di tengah hiruk-pikuk pembangunan fisik dan kemajuan digital, bangsa ini tengah mengalami gempa sunyi: krisis akhlak. Fenomena ini tidak kasatmata seperti banjir atau longsor, tapi dampaknya jauh lebih dahsyat. Ketika akhlak hilang dari ruang publik, maka bangsa pun goyah, kehilangan arah, dan rentan terpecah.

  1. Krisis Akhlak Publik: Nyaring di Mulut, Kosong di Nurani
    Kita menyaksikan degradasi perilaku di ruang sosial, dari jalanan hingga jagat digital. Ujaran kebencian, fitnah, intoleransi, dan korupsi sudah seperti “normal baru”. Etika sosial ditinggalkan demi sensasi dan kepentingan sesaat. Kesopanan—ciri khas kepribadian Nusantara—kian langka, bahkan dianggap lemah.
    Akhlak bukan sekadar sopan santun, tetapi refleksi dari kedalaman iman dan jiwa kemanusiaan. Jika akhlak lumpuh, maka keadaban publik pun runtuh.
  2. Pergeseran Budaya: Warisan Luhur yang Terkikis
    Budaya gotong royong, musyawarah, dan malu telah digeser oleh gaya hidup instan, egoistik, dan materialistik. Di banyak nagari dan kampung, tradisi mulai ditinggalkan, bahkan ditertawakan. Anak muda kehilangan kebanggaan terhadap akar budayanya, sementara arus globalisasi menawarkan identitas baru yang instan namun kosong makna.
    Ironisnya, ketika budaya lokal diganti, tidak serta-merta muncul kepribadian yang kuat. Yang terjadi justru keterasingan dari jati diri dan meningkatnya disorientasi sosial.
  3. Rendahnya Internalisasi Ajaran Agama
    Agama kini banyak berhenti pada simbol dan seremoni. Banyak yang hafal dalil, tapi miskin penghayatan. Pendidikan agama seringkali gagal membentuk karakter karena terlalu menekankan aspek kognitif tanpa sentuhan hati.
    Padahal, agama bukan sekadar pelajaran, tapi jalan hidup. Jika nilai-nilai Islam tidak meresap dalam sikap dan tindakan, maka ia akan menjadi kosong dan tak bermakna.
  4. Minimnya Figur Panutan
    Bangsa ini sedang kekurangan figur yang bisa dijadikan contoh. Banyak tokoh—baik politikus, selebritas, maupun pejabat—tumbang oleh kasus moral. Keteladanan bukan lagi syarat menjadi pemimpin, padahal dalam Islam, pemimpin adalah pemikul amanah dan penjaga moral umat.
    Generasi muda kehilangan arah karena tidak menemukan sosok yang bisa dicontoh. Mereka butuh bukan sekadar motivator, tapi murabbi—pendidik dengan integritas dan kedalaman jiwa.

MENUJU JALAN PEMULIHAN
Kita tidak bisa membiarkan keadaan ini terus memburuk. Pemulihan bangsa harus dimulai dari revolusi akhlak, revitalisasi budaya, dan reorientasi pendidikan agama. Setiap elemen bangsa—keluarga, sekolah, tokoh agama, dan pemerintah—harus terlibat aktif. Mulailah dari rumah: bangun kembali keteladanan dalam keluarga. Kembalikan pendidikan pada roh pembentukan karakter, bukan sekadar nilai akademik. Bangun ruang publik yang sehat, damai, dan bermartabat. Dorong tokoh masyarakat untuk tampil sebagai teladan, bukan sekadar simbol.
Bangsa yang Beradab Berakar pada Akhlak
Kemajuan tanpa akhlak hanyalah ilusi. Kita butuh kebangkitan nilai, bukan sekadar infrastruktur. Kita harus berani menegaskan bahwa kemuliaan bangsa ini terletak pada akhlaknya, bukan pada gedung-gedungnya. Ketika akhlak kembali, maka bangsa ini akan kembali tegak.

Jika tidak, maka “Akhlak Hilang, Bangsa Goyang” akan menjadi kenyataan yang terus-menerus mengguncang.
1. Mengapa Judul Ini Penting?
Di era digital dan modern, banyak yang merasa bangsa ini semakin canggih tapi kehilangan arah. Judul ini mengajak refleksi bahwa di balik gegap gempita pembangunan, ada yang jauh lebih penting: moralitas, akhlak, dan integritas.
2. Empat Krisis Utama
(1). Krisis Akhlak Publik. Perilaku kasar, tak jujur, dan tidak malu semakin dianggap biasa.
(2). Pergeseran Budaya Lokal. Nilai-nilai luhur adat, istiada dan kearifan bangsa mulai dilupakan.
(3). Rendahnya Internalisasi Agama diajarkan, tapi tidak dihidupi dalam perilaku sehari-hari.
(4). Minimnya Figur Panutan. Tokoh publik kehilangan kepercayaan karena integritas lemah.
3. Akhlak: Tiang Peradaban
Nabi Muhammad ﷺ diutus untuk menyempurnakan akhlak. Tanpa akhlak, semua ilmu dan jabatan tak berarti. Akhlak adalah roh dari agama, dan fondasi dari bangsa yang bermartabat.
4. Budaya yang Terkikis.
Budaya malu digantikan budaya viral. Gotong royong diganti kepentingan pribadi. Musyawarah tergeser debat kusir di media sosial. Solusinya: Kembali membanggakan akar budaya sendiri.
5. Agama: Bukan Sekadar Simbol.
Agama bukan formal. Ia harus menjadi nilai yang hidup: jujur, amanah, sabar, adil, dan peduli.
6. Figur Panutan Dibutuhkan.
Bangsa membutuhkan uswah hasanah, bukan sekadar influencer. Keluarga, guru, ustaz, ninik mamak, pemimpin publik—semua harus hadir sebagai model akhlak hidup.
7. Strategi Menjawab Krisis.
Pendidikan karakter sejak dini. Menguatkan komunitas berbasis nilai (surau, masjid, keluarga). Membentuk gerakan “Kembali ke Akhlak”. Mengangkat tokoh lokal berintegritas sebagai teladan. Memadukan adat dan syarak dalam praktik sosial
8. Kembali ke Rumah, Sekolah, dan Surau
Perubahan besar dimulai dari lingkup kecil: Di rumah: Ciptakan lingkungan penuh kasih dan disiplin. Di sekolah: Guru bukan hanya pengajar, tapi penanam nilai. Di surau/masjid: Hidupkan kembali peran moral dan spiritual.
Harapan untuk Bangsa
Bangsa ini tidak kekurangan sumber daya. Yang kurang adalah nilai moral yang dijunjung bersama. Kita perlu memulai gerakan sadar akhlak, mulai dari diri sendiri, hingga menjadi gelombang perubahan sosial. “Bangsa besar bukan hanya dibangun dari gedung tinggi, tapi dari hati yang jujur, lidah yang santun, dan tangan yang amanah.”
Ruang Aksi: Komitmen Pribadi
Saya akan menjaga lisan dan perbuatan.
Saya akan belajar dan mengajarkan akhlak.
Saya akan menolak kekerasan, korupsi, dan fitnah.
Saya siap menjadi bagian dari perubahan.

PENGUATAN NASH (DALIL AL-QUR’AN DAN HADIS)

  1. Akhlak sebagai Inti Misi Kenabian
    “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
    (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, Ahmad). Hadis ini menegaskan bahwa inti ajaran Islam bukan sekadar ritual, tapi transformasi akhlak. Bangsa yang tidak menjadikan akhlak sebagai nilai utama, telah mengabaikan misi kerasulan.
  2. Akhlak Mulia dalam Al-Qur’an
    “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
    (QS. Al-Qalam: 4). Ayat ini menjadikan akhlak sebagai tolok ukur keagungan pribadi dan kepemimpinan. Jika akhlak hilang dari publik dan pemimpin, maka struktur sosial ikut runtuh.
  3. Larangan Ujaran Kebencian dan Hoaks
    “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain…”
    (QS. Al-Hujurat: 11–12). Ayat ini adalah fondasi etika sosial. Ketika media sosial menjadi sarang hinaan, fitnah, dan hoaks, maka nilai-nilai akhlak Islam telah tergeser oleh kebebasan tanpa tanggung jawab.
  4. Kewajiban Menegakkan Amar Ma’ruf Nahy Munkar
    “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar…” (QS. Ali Imran: 110). Krisis moral dan sosial hanya bisa dihentikan bila masyarakat terlibat aktif dalam mengoreksi penyimpangan nilai secara kolektif.

 

PENGUATAN FATWA DAN PANDANGAN ULAMA

  1. Fatwa MUI tentang Etika Media Sosial
    Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. MUI menegaskan haram menyebarkan: Konten hoaks, fitnah, dan kebencian. Aib pribadi dan ujaran provokatif. Ini menunjukkan bahwa perilaku digital yang tidak bermoral adalah bagian dari krisis akhlak publik.
  2. Pendapat Imam Al-Ghazali
    Dalam Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali menyebut: “Kerusakan dunia karena rusaknya pemimpin, dan rusaknya pemimpin karena rusaknya ilmu, dan rusaknya ilmu karena rusaknya akhlak para ulama dan cendekiawan.” Krisis figur panutan saat ini adalah wujud nyata dari analisis Al-Ghazali: ilmu tercerabut dari akhlak, dan pemimpin kehilangan otoritas moral.

KAJIAN SOSIOLOGIS DAN BUDAYA

  1. Emile Durkheim: Disintegrasi Moral (Anomie)
    Durkheim menyebut bahwa masyarakat modern yang tidak lagi memiliki norma bersama (anomie) akan mengalami kekacauan sosial. “Tanpa kesepakatan nilai moral, masyarakat akan goyah dan tercerai.” Krisis akhlak publik dan pergeseran budaya di Indonesia sejalan dengan teori anomie: ketika nilai lokal ditinggalkan tanpa diganti nilai yang kokoh, maka kekosongan moral muncul.
  2. Clifford Geertz: Agama sebagai Sistem Simbolik
    Geertz melihat agama sebagai penopang makna hidup dan pembentuk pola perilaku sosial. Jika agama hanya menjadi simbol tanpa internalisasi, maka masyarakat akan kehilangan arah moral. Hal ini terlihat dalam perilaku masyarakat yang religius secara ritualistik, tetapi permisif dalam hal korupsi, intoleransi, dan manipulasi.
  3. Kajian Adat Minangkabau: “Malu adalah Pangkal Budi”
    Dalam filosofi Minangkabau, rasa malu adalah tiang harga diri dan penjaga akhlak.
    “Nan ameh indak dipakai, nan mulia akhlak nan dipakai.”
    Ketika budaya malu hilang, maka masyarakat tidak segan melakukan kekerasan, maksiat, atau kecurangan di ruang publik.

Arah Solusi
“Akhlak Hilang, Bangsa Goyang” bukan sekadar retorika, tapi cerminan realitas yang didukung oleh nash agama, fatwa ulama, dan kajian ilmiah. Untuk itu, arah solusinya adalah:

  1. Revolusi Akhlak Bangsa. Integrasi pendidikan karakter dalam kurikulum formal dan informal. Gerakan nasional kembali ke adab: dari rumah, sekolah, hingga birokrasi
  2. Revitalisasi Budaya dan Kearifan Lokal. Menghidupkan kembali adat, musyawarah, dan peran komunitas lokal (nagari, surau, pesantren)
  3. Pendidikan Agama Berbasis Spiritual dan Sosial. Agama tidak cukup diajarkan, tetapi perlu dihayati dalam praktik sosial.
  4. Kepemimpinan Moral. Pemimpin sebagai teladan integritas, bukan sekadar manajer kekuasaan

 

KESIMPULAN
Realitas sosial bangsa Indonesia hari ini menunjukkan adanya krisis mendalam yang tidak selalu tampak secara fisik, namun menghunjam kuat ke akar kehidupan bermasyarakat: krisis akhlak. Judul “Akhlak Hilang, Bangsa Goyang” adalah refleksi kritis terhadap melemahnya empat fondasi utama kebangsaan: moral publik, budaya luhur, internalisasi agama, dan keteladanan figur.
Pertama, krisis akhlak publik tampak dalam merosotnya etika pergaulan dan komunikasi sosial, baik di ruang nyata maupun digital. Kedua, pergeseran budaya dan keadaban lokal menandai semakin terpinggirkannya nilai-nilai luhur bangsa seperti gotong royong, malu, dan penghormatan terhadap orang tua. Ketiga, rendahnya internalisasi ajaran agama menjadikan agama kehilangan kekuatan transformasinya sebagai pembentuk perilaku. Keempat, minimnya figur panutan berintegritas menyebabkan krisis kepercayaan publik terhadap tokoh masyarakat dan pemimpin bangsa.
Krisis ini bukanlah isu moral pribadi semata, tapi telah menjelma menjadi persoalan kebangsaan yang berdampak sistemik. Ketika akhlak tercerabut dari kehidupan publik, maka seluruh bangunan sosial bangsa menjadi rapuh, rawan disintegrasi, dan kehilangan arah.
Seruan ini diperkuat oleh: Nash Al-Qur’an dan Hadis yang menegaskan bahwa akhlak adalah inti dari kerasulan Nabi Muhammad ﷺ dan fondasi dari masyarakat beradab (QS. Al-Qalam: 4; HR. Ahmad). Fatwa MUI dan pandangan ulama seperti Imam Al-Ghazali yang menunjukkan pentingnya etika dalam berkomunikasi dan memimpin. Analisis sosiologis dari Durkheim, Geertz, dan khazanah budaya Minangkabau yang menyatakan bahwa disintegrasi norma, simbol agama yang tidak diinternalisasi, serta hilangnya budaya malu menyebabkan kekosongan moral dalam masyarakat. Oleh karena itu, solusi yang harus dibangun adalah rekonstruksi akhlak secara nasional yang melibatkan: 1. Revolusi Akhlak Bangsa: Pendidikan karakter dari rumah, sekolah, dan ruang publik.2. Revitalisasi Budaya Lokal: Menghidupkan kembali surau, nagari, dan kearifan adat sebagai ruang pembinaan nilai.3. Pendidikan Agama yang Membumi: Agama harus menjadi energi hidup, bukan sekadar doktrin kognitif. 4. Kepemimpinan Moral: Mendorong lahirnya tokoh-tokoh teladan yang menjunjung tinggi amanah dan adab.
Kemajuan bangsa tidak semata ditentukan oleh teknologi dan infrastruktur, tetapi oleh kualitas akhlak warganya. “Bangsa besar bukan dibangun dari gedung tinggi, tapi dari hati yang jujur, lidah yang santun, dan tangan yang amanah.” Jika akhlak kembali ditegakkan, bangsa ini akan berdiri kokoh. Jika tidak, maka kita akan terus menyaksikan: Akhlak Hilang, Bangsa Goyang. DS16072025.

 

 

Referensi dan Kutipan Bijak
Al-Qur’an: QS. Al-Qalam: 4, QS. Al-Hujurat: 11–12
Hadis: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Ahmad)
Buya Hamka: “Akhlak adalah keindahan jiwa yang menjelma dalam tingkah laku.”
Imam Al-Ghazali: Ihya’ ‘Ulumuddin tentang pentingnya tazkiyatun nafs.