IMLEK, HARMONI DALAM KEBHINIKAAN Oleh: Duski Samad

Artikel Tokoh159 Views

IMLEK, HARMONI DALAM KEBHINIKAAN

Oleh: Duski Samad

Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat

Imlek, Harmoni Dalam Kebhinikaan ini adalah topik yang baru saja dibicarakan dalam dialog Pro 1 RRI Padang, Jumat, 31 Januari 2025 dengan tiga narasumber Ketua FKUB Provinsi Sumatara Barat, dua yang lain Fauzi Bahar, ketua LKAAM Provinsi Sumatera Barat dan mantan Walikota Padang dua priode dan U.P Sudharma, SL ketua pengurus harian Wihara Budha Darman Budhis Centre Padang.

Peringatan Imlek di Kota Padang dan Sumatera Barat umumnya adalah akivitas kebudayaan etnis Tiongha yang sudah lama ada dan diterima masyarakat dalam kehidupan kebangsaan yang beragam. Romo Sudharma menyampaikan terima kasih kepada semua tokoh umat beragama, pimpinan masyarakat dan Pemerintah Daerah yang telah memberikan dukungan untuk berjalannya perayaan Imlek dengan baik dan kondusif.

Fauzi Bahar Datuk Yang Sati menegaskan sejatinya Perayaan Imlek dan kegiatan yang menyertainya adalah budaya dari etnis Tioangha dan tidak berhubungan dengan agama tertentu. Imlek berhubungkait dengan kebudayaan etnis Tiongha dan menjadi tradisi tahunan dari penanggalan tahun Cina. Imlek di Padang dan kota lainnya telah membawa pergerakan ekonomi masyaakat, sebab saat Imlek kunjungan keluarga, mengunjugi kuburan leluhur, membagi ampao (hadiah) nyata-nyata membawa nilai ekonomis bagi masyarakat sekitarnya.

Imlek adalah lebih pada event kebudayaan juga diperkuat oleh Romo Sudharma SL, sebab agama saja yang dianut oleh etnis Tiongha, ketika Imlek mereka akan ikut merayakannya, saling mengunjungi saudara, mendatangi kuburan leluhur dan saling berbagi, dan tidak jarang dalam pertemuan sesama saudara mendatangkan efek bisnis saling menguntungkan, sebab kekuatan bisnis keluarga pada etnis Tiongha cukup besar pengaruhnya.

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumatera Barat sejak didirikan tahun 2006 ikut memberikan perhatian terhadap relasi agama dalam Imlek memang tidak menonjol, kecuali mungkin dalam pemahaman orang tertentu. Tokoh agama yang ikut sebagai aktor kerukunan, baik yang tergabung di FKUB atau tokoh pada masing-masing agama, merasakan bahwa ivent Perayaan Imlek sarat dengan penguatan harmoni dalam kebhinikaan. Hemat kami Imlek di Kota Padang dan daerah lain di Sumatera Barat sudah menjadi bahagian dari tradisi dan budaya yang tak dipersoalkan lagi oleh umat lintas agama. Justru dikalangan masyarakat Imlek ditunggu sebagai kegiatan yang membawa nilai ekonomis dan kebaikan masyarakat

Imlek adalah perayaan Tahun Baru dalam kalender lunar Tionghoa yang dirayakan oleh komunitas Tionghoa di seluruh dunia. Imlek menandai awal tahun baru berdasarkan kalender Tionghoa, yang mengikuti siklus bulan, sehingga tanggalnya berubah setiap tahun dalam kalender Masehi (biasanya jatuh antara 21 Januari – 20 Februari).

Di Indonesia, Imlek sudah diakui sebagai hari libur nasional sejak tahun 2003 pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Sekarang, perayaannya semakin terbuka, dengan banyak festival, bazar, dan dekorasi khas di berbagai kota, termasuk di Padang.

SEJARAH TIONGHA DI KOTA PADANG

Sejarah Tionghoa di Padang, Sumatra Barat, sudah berlangsung sejak abad ke-17 ketika orang-orang Tionghoa mulai bermigrasi ke daerah tersebut untuk berdagang. Berikut garis besar sejarahnya:

1. Kedatangan Awal (Abad ke-17 – 18). Orang Tionghoa pertama kali datang ke Padang saat kota ini menjadi pelabuhan penting bagi perdagangan emas, lada, dan rempah-rempah di bawah pengaruh Kesultanan Aceh dan kemudian Belanda. Mereka berperan dalam perdagangan dan usaha kecil, seperti toko kelontong dan industri kerajinan.

2. Era Kolonial Belanda (Abad ke-19 – Awal 20). Belanda mendatangkan lebih banyak imigran Tionghoa untuk bekerja di sektor perdagangan dan administrasi. Komunitas Tionghoa mulai membangun perkampungan sendiri, terutama di kawasan Pondok, yang hingga kini dikenal sebagai pusat aktivitas ekonomi Tionghoa di Padang.

3. Masa Kemerdekaan dan Orde Lama (1945–1965). Setelah Indonesia merdeka, orang Tionghoa tetap aktif dalam perdagangan, meskipun mengalami berbagai tantangan politik. Pada era Presiden Sukarno, hubungan dengan Tiongkok cukup erat, tetapi ada juga ketegangan akibat politik nasionalisasi ekonomi.

4. Orde Baru (1965–1998). Pada masa Orde Baru, diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa meningkat. Sekolah-sekolah Tionghoa ditutup, penggunaan bahasa dan budaya Tionghoa dilarang, dan banyak yang harus mengubah nama agar terlihat lebih “Indonesia”. Meski demikian, mereka tetap berperan penting dalam ekonomi Padang.

5. Reformasi hingga Sekarang (1998 – Sekarang). Setelah reformasi, hak-hak budaya dan politik warga Tionghoa mulai diakui kembali. Sekolah dan organisasi Tionghoa kembali aktif, serta perayaan Imlek boleh dirayakan secara terbuka. Saat ini, komunitas Tionghoa di Padang masih berperan besar dalam sektor perdagangan dan ekonomi lokal.

Di Padang, kawasan Pondok masih menjadi pusat komunitas Tionghoa, dengan banyak bangunan bersejarah seperti kelenteng dan ruko-ruko tua yang masih berfungsi sebagai pusat perdagangan.

IMLEK DAN RELASI MIGRASI

Budaya Imlek adalah bahagian tak terpisahkan hubungan perpindahan (migrasi) dengan agama dan budaya. Relasi antara migrasi, agama, dan budaya sangat erat karena migrasi tidak hanya memindahkan orang secara fisik, tetapi juga membawa serta keyakinan, tradisi, dan cara hidup ke tempat baru. Berikut beberapa cara bagaimana ketiganya saling berhubungan:

1. Migrasi sebagai Penyebar Agama.

Migrasi sering menjadi faktor utama dalam penyebaran agama ke berbagai wilayah. Contohnya: Islam menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, melalui pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang bermigrasi dan menetap di pelabuhan dagang seperti Aceh dan Malaka. Kristen menyebar ke Amerika dan Afrika melalui migrasi kolonial Eropa yang membawa misionaris. Buddhisme menyebar ke Tiongkok, Korea, dan Jepang melalui jalur migrasi dari India dan Asia Tengah.

2. Migrasi dan Akulturasi Budaya.

Saat migran menetap di tempat baru, mereka membawa budaya asalnya tetapi juga beradaptasi dengan budaya lokal, menciptakan akulturasi. Misalnya: Orang Tionghoa di Indonesia mempertahankan budaya Tionghoa seperti perayaan Imlek dan kuliner khas, tetapi juga menyerap budaya lokal, seperti makanan Peranakan yang menggabungkan unsur Tionghoa dan Melayu. Etnis Arab di Indonesia seperti di Hadhrami (Yaman) yang bermigrasi dan membaur dengan masyarakat setempat, melahirkan komunitas seperti Ba’Alawi yang tetap mempertahankan tradisi Islamnya.

3. Konflik dan Integrasi Sosial.

Migrasi juga bisa menimbulkan konflik atau tantangan dalam integrasi sosial. Diskriminasi terhadap imigran sering kali terjadi jika budaya atau agama mereka dianggap berbeda atau mengancam budaya mayoritas. Contoh: diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa di Indonesia pada masa Orde Baru. Asimilasi versus multikulturalisme, di mana beberapa negara mendorong imigran untuk melebur dengan budaya lokal (asimilasi), sementara yang lain menerima keberagaman budaya (multikulturalisme).

4. Migrasi dan Perubahan Keagamaan

Migrasi juga mempengaruhi praktik keagamaan. Di tempat baru, migran sering harus menyesuaikan ibadah mereka, misalnya: Muslim di negara Barat mungkin sulit menemukan masjid atau makanan halal, sehingga muncul komunitas Muslim dan restoran halal di sana. Kristen di Timur Tengah menjadi minoritas yang harus menyesuaikan ibadah mereka dengan konteks politik dan sosial setempat. Migrasi adalah salah satu faktor utama dalam perubahan agama dan budaya di dunia. Kadang migran membawa agama dan budaya mereka ke tempat baru, kadang mereka mengadopsi unsur lokal, dan kadang juga mengalami diskriminasi atau konflik dalam prosesnya.

PENERIMAAN WARGA LOKAL PADANG TERHADAP IMLEK

Pada dialog muncul pertanyaan dari masyarakat bagaimana penerimaan masyarakat mayoritas muslim terhadap perayaan Imlek. Penerimaan warga lokal di Padang terhadap perayaan Imlek cukup beragam, tetapi secara umum, semakin membaik seiring dengan perkembangan zaman dan meningkatnya kesadaran akan keberagaman budaya.

Ada beberapa aspek penerimaannya berkaitan dengan sejarah hubungan Tionghoa dan Minang. Sejak zaman kolonial, komunitas Tionghoa di Padang sudah hidup berdampingan dengan masyarakat Minang. Mereka umumnya berdagang dan tinggal di kawasan Pondok, yang masih menjadi pusat komunitas Tionghoa hingga sekarang. Meski ada sejarah diskriminasi, khususnya pada masa Orde Baru, hubungan antar etnis di Padang relatif harmonis dibandingkan beberapa daerah lain di Indonesia.

Berkaitan dengan penerimaan Imlek di nasyarakat Minang, dulu, perayaan Imlek lebih tertutup, terutama saat Orde Baru karena adanya kebijakan asimilasi yang membatasi ekspresi budaya Tionghoa. Setelah reformasi 1998, khususnya setelah Imlek diakui sebagai hari libur nasional pada 2003, perayaan ini mulai lebih terbuka. Saat ini, meskipun mayoritas warga Padang beragama Islam, banyak yang memahami dan menghormati perayaan Imlek sebagai bagian dari keberagaman budaya di Indonesia.

Partisipasi dan toleransi warga lokal. Di beberapa tempat, warga Minang ikut berpartisipasi dalam perayaan Imlek, terutama dalam kegiatan ekonomi seperti bazar Imlek. Dukungan pemerintah daerah terhadap perayaan budaya semakin meningkat, meskipun tidak sebesar di kota lain seperti Medan atau Singkawang. Namun, ada juga sebagian kecil kelompok yang masih kurang menerima perayaan ini secara terbuka.

Tentang Simbol-Simbol Imlek di Padang Kelenteng See Hin Kiong di kawasan Pondok tetap menjadi pusat perayaan Imlek di Padang, meskipun perayaannya masih lebih sederhana dibandingkan kota-kota lain. Tidak banyak dekorasi besar-besaran di ruang publik, tetapi di area komunitas Tionghoa, suasana Imlek tetap terasa.

Penerimaan terhadap Imlek di Padang semakin baik, terutama di kalangan generasi muda dan mereka yang terbuka terhadap keberagaman budaya. Meski belum semeriah di kota-kota lain, perayaan ini tetap berjalan dengan damai dan mendapat ruang yang lebih terbuka dibandingkan era sebelumnya.

Closing statemen dari tiga narasumber pada dialog ppagi RRI Pro 1 Padang menyatakan bahwa perayaan Imlek di Minangkabau adalah wujud dari harmoni dalam kebinikaan itu nyata dalam sistim sosial masyarakat. Keikutsertaan masyarakat, setidaknya dikawasan Pondok terhadap perayaan Imlek telah berdampak pada pergerakkan ekonomi masyarakat. Kesadaran kolektif masyarakat sebagai warga bangsa yang beragam adalah kunci utama hadirnya Imlek untuk harmoni dalam keragaman. Siapapun ketika terus mengembangkan diri menjadi warga global dan kosmopolit, maka kerukunan, harmoni dan harmoni diyakini menjadi keniscayaan yang tak dapat dipandang remeh. Selamat untuk terus menjadi aktor kerukunan, harmoni dan toloransi dalam keragamaan bangsa, untuk Indonesia maju. DS.31012025. (Konklosi, Dialog RRI, Jumat, 31 Januari 2025).

 

 

 

 

Leave a Reply