JILBAB DAN KING FAISAL INTERNATIONAL PRIZE Oleh: Duski Samad

Artikel Tokoh173 Views

 JILBAB DAN KING FAISAL INTERNATIONAL PRIZE

Oleh: Duski Samad

Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat PERTI

Membaca baliho di depan Minang Plaza tentang Seminar Internasional Jilbab, 26 Februari 2025 mengingatkan penulis pada Fauzi Bahar mantan Walikota Padang, kini ketua LKAAM, yang dianugerahi Professor oleh Perguruan Tinggi ASEAN di Malaysia tahun 2023 lalu atas kebijakan dan jasanya membudayakan kembali Jilbab di Kota Padang dan kini sudah menyeluruh di Indonesia dan negara jiran Malaysia, ASEAN.

Link berita Pro Kabar Kuala Lumpur, Prokabar – Niat baik selalu akan dibalas dengan kebaikan. Hal inilah yang dilakukan seorang Fauzi Bahar saat menjadi Walikota Padang periode 2004 sampai 2014 silam. Gagasan berbusana muslim tidak saja ditujukan kepada Aparatur Sipil Negera tetapi kewajiban berbusana muslim juga ditujukan kepada para pelajar mulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas mendapat apresiasi tinggi dari Asean University. Fauzi Bahar pun dianugerahi gelar Profesor yang dilasanakan, Senin (11/3/2024) di Kuala Lumpur Malaysia.( Dipublikasikan Oleh Redaksi6 Pada Kamis, 14 Maret 2024 9:13)

Setelah dikonfirmasi kepada Profesor Jilbab Fauzi Bahar Datuk Yang Sati ternyata Seminar Internasional Jilbab ini adalah bahagian dari rangkaian kegiatan pemberian PENGHARGAAN FAISAL KING yang akan diberikan oleh tim penilai dari King Faisal Prize dengan core value (penilaian utama) adalah telah membumikan Jilbab sebagai wujud dari pelayanan kepada Islam atau sudah menjadikan busana Muslimah berjilbab mentradisi kembali bahkan sudah membudaya dan kebanggaan bagi kaum hawa di Nusantara.

Penghargaan Raja Faisal (King Faisal Prize) adalah penghargaan internasional tahunan yang diberikan oleh Yayasan Raja Faisal kepada individu dan lembaga yang memberikan kontribusi luar biasa dalam lima kategori: Pelayanan kepada Islam, Studi Islam, Bahasa dan Sastra Arab, Kedokteran, dan Sains. Penghargaan ini pertama kali diberikan pada tahun 1979.

Setiap pemenang menerima sertifikat kaligrafi, medali emas 24 karat seberat 200 gram, dan hadiah uang sebesar 750.000 Riyal Saudi (sekitar 200.000 USD). Dari Indonesia, dua tokoh yang pernah menerima penghargaan ini adalah Mohammad Natsir pada tahun 1980 dan Prof. Dr. Irwandi Jaswir pada tahun 2018. Prof. Irwandi, yang dikenal sebagai “Profesor Halal”, diakui atas kontribusinya dalam pengembangan Ilmu Halal. (en.wikipedia.org)

Koran Nasional memberitakan.. REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH — Seorang ilmuwan Indonesia, Prof. Dr. Irwandi Jaswir berhasil menyabet penghargaan bergengsi di dunia Arab dan Islam ‘King Faisal International Prize 2018’ dalam kategori Pelayanan Kepada Islam (Service to Islam) yang disampaikan langsung oleh Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud dalam sebuah acara megah yang diselenggarakan di Hotel Faisaliyah, Riyadh, pada Senin (26/3) malam tahun 2018 lalu.

Profesor Irwandi, pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, 48 tahun yang lalu, atau yang lebih dikenal dengan “Profesor Halal” ini merupakan seorang ilmuwan yang dinilai berkontribusi besar dalam pengembangan Halal Science, yang berkat penemuannya akan mempermudah ummat Islam dalam mendeteksi unsur haram pada makanan atau produk lainnya seperti obat dan kosmetik.

Adalah keniscayaan dan tentu menjadi harapan Muslimah Indonesia dan Nusantara tim penilai ‘King Faisal International Prize 2025’ dapat memberikan pula penghargaan yang sama kepada “Professor Jilbab” kepada Fauzi Bahar yang memang sudah dianugerahi Professor oleh Perguruan Tinggi ASEAN di negara tetangga Malysia, 14 Maret 2024 lalu.

KEBIJAKAN JILBAB DAN BUSANA MUSLIM DI KOTA PADANG

Di Kota Padang, Sumatera Barat, terdapat beberapa gerakan dan kebijakan terkait busana Muslim dan penggunaan jilbab yang menonjol. Kebijakan Wajib Berjilbab di Sekolah, tahun 2005, Pemerintah Kota Padang mengeluarkan Instruksi Wali Kota Nomor 451.442/BINSOS-iii/2005 yang mewajibkan siswi Muslim di sekolah-sekolah negeri untuk mengenakan jilbab. Meskipun kebijakan ini ditujukan untuk siswi Muslim, dalam praktiknya, beberapa siswi non-Muslim juga mengenakan jilbab sebagai bentuk penyesuaian. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat identitas keislaman dan menjaga nilai-nilai budaya Minangkabau yang dikenal dengan filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. (amanmakmur.com).

Praktik baik (best practices) busana muslim khususnya berjilbab sejak dua dawarsa belakangan (2005-2025) ini sudah menjadi bahagian kehidupan kaum Perempuan di Kota Padang. Gerakan masyarakat untuk berjilbab juga melahirkan kelompok di antara Komunitas Hijabers Kota Padang. Terbentuk komunitas Hijabers yang berfungsi sebagai wadah bagi perempuan Muslim untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang penggunaan hijab. Komunitas ini tidak hanya fokus pada aspek keagamaan, tetapi juga menggabungkan elemen gaya hidup modern. Mereka mengadakan berbagai kegiatan seperti pengajian bulanan, seminar, fashion show, dan bazar. Salah satu acara tahunan yang diadakan adalah “Hijab Day”, yang mencakup rangkaian kegiatan seperti fashion show, talk show, bazar, dan pengajian. (researchgate.net).

Meluasnya gaya hidup berjilbab diperkuat oleh Gerakan Menutup Aurat (GEMAR): GEMAR adalah inisiatif yang digerakkan oleh Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) dan komunitas peduli jilbab di wilayah tersebut. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menutup aurat sesuai dengan ajaran Islam. (kemahasiswaan.upgrisba.ac.id).

Dalam masyarakat kaum perempuan kota Padang yang bergabung dalam Majelis Taklim, berjilbab sudah melampuai keagamaan, adat tetapi sudah menjadi gaya hidup, modis dan sudah trendy. Gerakan-gerakan ini semua mencerminkan upaya masyarakat Kota Padang dalam memadukan nilai-nilai keagamaan dengan dinamika sosial dan budaya kontemporer.

Tumbuh dan berkembangnya tradisi, budaya dan trendy Jilbab di Kota Padang, sudah meluas di Indonesia, bahkan di negara jiran Malaysia dan bangsa musliman serempun di Asia Tenggara. Mencermati arah terbentuk arus baru buday berjilbab yang modis dan trendy maka dapat dikatakan pelayanan keislaman, khususnya busana muslim dan Muslimah semangkin mendapat tempat dalam realitas hidup masyarakat global.

Penggunaan jilbab bagi perempuan Indonesia seakan menemui fase baru saat ini. Berjilbab bukan lagi dianggap sebagai kuno, melainkan gaya modern untuk mengikuti perkembangan zaman. Munculnya berbagai komunitas jilababer di berbagai kota merupakan representasi tingginya peminat jilbab. Kota Padang sebagai iniasiator menghidupkan kembali budaya jilbab adalah entri point pergerakkan proses terbentuknya komunitas hijaber serta cara komunitas mempertemukan antara agama dan gaya hidup (fashion).

TREND BERJILBAB DAN PERUBAHAN BUDAYA

Gaya hidup berjilbab di era kotemporer yang sarat dengan gaya berpakaian (life style) masyarakat dunia yang terbuka aurat dan setengah telanjang adalah realitas perubahan budaya yang patut diapresiasi. Gaya hidup mapan dapat disebut sebagai perubahan budaya jika memenuhi beberapa indikator berikut di antaranya tejadi perubahan nilai dan norma. Ketika pola pikir masyarakat bergeser dari nilai-nilai tradisional menuju orientasi pada kemapanan, seperti konsumsi barang bermerek, gaya hidup modern, atau standar baru dalam kehidupan sosial.

Pergeseran Gaya Hidup Keagamaan dan Tradisional. Jika kemapanan menggeser praktik keagamaan atau budaya lokal—misalnya, dari kehidupan sederhana menuju hedonisme—maka ini bisa disebut sebagai perubahan budaya. Dampak pada Relasi Sosial. Gaya hidup mapan dapat mempengaruhi pola interaksi sosial, seperti cara seseorang memilih pergaulan, komunitas, atau cara bersosialisasi dalam masyarakat. Jika indikator-indikator ini terlihat secara luas dalam suatu masyarakat, maka gaya hidup mapan bukan sekadar fenomena ekonomi, tetapi telah menjadi bagian dari perubahan budaya.

Perubahan dari pakaian terbuka aurat ke busana Muslimah atau jilbab dapat disebut sebagai perubahan budaya jika memenuhi beberapa indikator berikut, ada perubahan nilai dan norma sosial. Jika sebelumnya berpakaian terbuka dianggap wajar atau menjadi standar kecantikan, lalu bergeser ke pemahaman bahwa menutup aurat adalah bagian dari identitas, moralitas, atau ketaatan, maka ini adalah perubahan budaya. Contoh: Trend hijrah di kalangan selebritas dan masyarakat umum yang mengubah standar kecantikan dari pakaian terbuka ke busana Muslimah.

Perubahan Trend dan Identitas Kolektif. Saat penggunaan jilbab dan busana Muslimah menjadi bagian dari tren dan identitas masyarakat, bukan sekadar keputusan individu. Contoh: Fenomena komunitas Hijabers dan fashion hijab yang berkembang di berbagai kota, lebih kagi Kota Padang dan Sumatera Barat.

Adanya Pengaruh Agama dan Dakwah. Jika perubahan ini dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran keagamaan melalui dakwah, pendidikan Islam, atau media sosial yang mengajak menutup aurat. Contoh: Gerakan GEMAR (Gerakan Menutup Aurat) yang aktif mengkampanyekan penggunaan jilbab.

Pergeseran Gaya Hidup. Jilbab dan busana Muslimah tidak hanya menjadi simbol agama, tetapi juga bagian dari gaya hidup modern dan fashionable. Contoh: Munculnya tren modest fashion yang mengkombinasikan nilai-nilai Islam dengan mode kekinian.

Penerimaan di Masyarakat. Jika penggunaan jilbab semakin luas dan diterima dalam berbagai lingkungan sosial, termasuk di tempat kerja, institusi pendidikan, dan pemerintahan, maka ini menandakan perubahan budaya yang signifikan.

Dampak pada Industri Fashion dan Ekonomi. Jika peralihan ke busana Muslimah menciptakan industri baru yang berkembang pesat, seperti fashion hijab, kosmetik halal, dan gaya hidup Islami, maka ini adalah perubahan budaya dengan dampak ekonomi yang besar.

Regulasi dan Kebijakan Publik. Jika penggunaan jilbab didukung atau bahkan diwajibkan oleh kebijakan daerah atau institusi tertentu, maka itu menunjukkan perubahan budaya yang melibatkan aspek hukum dan sosial. Contoh: Kebijakan wajib berjilbab di sekolah-sekolah di Padang atau peraturan serupa di beberapa daerah mayoritas Muslim.

Jadi, jika perubahan dari pakaian terbuka ke busana Muslimah terjadi dalam skala luas, melibatkan transformasi nilai, norma, tren, ekonomi, dan kebijakan, maka ini bisa disebut sebagai perubahan budaya yang signifikan dalam masyarakat.

JILBAB DALAM ISLAM

Buya Hamka dalam tafsirnya, Tafsir Al-Azhar, memberikan penjelasan mendalam mengenai kewajiban jilbab yang terdapat dalam Surat Al-Ahzab ayat 59. Ayat tersebut berbunyi:”Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Tafsir Buya Hamka tentang Jilbab dalam Surat Al-Ahzab: 59 bahwa Jilbab sebagai Identitas Muslimah. Buya Hamka menafsirkan bahwa jilbab berfungsi sebagai pembeda antara perempuan Muslimah dengan perempuan lainnya. Dengan mengenakan jilbab, perempuan Muslim akan lebih dihormati dan tidak mudah dilecehkan. Dalam konteks sosial saat itu, perempuan yang tidak berjilbab sering mendapat gangguan atau pelecehan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Jilbab adalah menutup Aurat untuk kehormatan dan keselamatan. Hamka menekankan bahwa perintah berjilbab bukanlah untuk mengekang kebebasan perempuan, melainkan untuk menjaga kehormatan dan melindungi mereka dari gangguan. Menurutnya, ayat ini menjadi bukti bahwa Islam sangat peduli dengan martabat perempuan.

Jilbab sebagai Bentuk Ketakwaan. Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menyatakan bahwa mengenakan jilbab adalah bagian dari ketakwaan kepada Allah. Ia berpendapat bahwa aturan berpakaian dalam Islam bukan hanya soal budaya atau tradisi, tetapi memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam.

Kesadaran Berjilbab Berasal dari Pemahaman, Bukan Paksaan. Hamka juga menegaskan bahwa penggunaan jilbab tidak boleh dipaksakan oleh negara atau kelompok tertentu. Ia berpendapat bahwa jilbab harus dipakai atas dasar kesadaran dan keimanan, bukan karena tekanan sosial atau aturan pemerintah.

Menurut Buya Hamka, jilbab adalah perintah agama yang bertujuan untuk menjaga kehormatan perempuan Muslimah, tetapi penggunaannya harus didasarkan pada pemahaman dan kesadaran, bukan paksaan. Tafsirnya mencerminkan pendekatan moderat dan rasional dalam memahami ajaran Islam, sesuai konteks sosial dan budaya. Pendekatan ini sejalan dengan filosofi Minangkabau “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”,menempatkan Islam sebagai dasar dalam kehidupan masyarakat.

Mufassir kotemporer Quraish Shihab dalam tafsirnya, Tafsir Al-Mishbah, memberikan penjelasan komprehensif tentang Surat Al-Ahzab ayat 59, yang berkaitan dengan jilbab. Berikut adalah poin-poin utama tafsirnya: Tafsir Quraish Shihab tentang Jilbab dalam QS. Al-Ahzab: 59. Makna Jilbab dalam Konteks Sejarah.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa “jilbab” dalam ayat ini merujuk pada kain panjang atau mantel yang dikenakan oleh perempuan Muslimah di atas pakaian mereka. Pada zaman Nabi, jilbab berfungsi untuk menutupi tubuh perempuan secara lebih longgar, berbeda dengan pakaian sehari-hari yang mungkin lebih ketat atau terbuka.

Tujuan Perintah Jilbab. Dalam tafsirnya, Quraish Shihab menegaskan bahwa tujuan utama jilbab dalam ayat ini adalah agar perempuan Muslim dapat dikenali dan tidak diganggu. Ia menafsirkan bahwa gangguan yang dimaksud dalam ayat ini bukan hanya pelecehan fisik, tetapi juga pelecehan verbal atau sosial yang mungkin terjadi jika mereka tidak membedakan diri dari perempuan non-Muslim atau budak perempuan pada masa itu.

Jilbab Sebagai Identitas dan Kehormatan. Menurutnya, jilbab dalam ayat ini bukan sekadar pakaian, tetapi juga simbol kesopanan dan identitas Muslimah. Perintah ini berkaitan dengan kondisi sosial di Madinah saat itu, di mana perempuan Muslim membutuhkan cara untuk membedakan diri mereka dari perempuan budak yang sering menjadi sasaran pelecehan.

Jilbab dan Konteks Sosial-Kultural. Quraish Shihab berpendapat bahwa ketentuan berpakaian dalam Islam memiliki dimensi budaya dan konteks sosial. Ia menjelaskan bahwa standar kepantasan berpakaian bisa berubah tergantung budaya dan waktu, asalkan tetap dalam batasan kesopanan yang ditetapkan Islam. Oleh karena itu, bentuk jilbab dapat bervariasi selama masih memenuhi prinsip menutup aurat dengan baik.

Jilbab Bukan Sekadar Kewajiban, tetapi Kesadaran. Dalam pandangannya, mengenakan jilbab harus berangkat dari kesadaran dan pemahaman, bukan paksaan. Ia menekankan bahwa nilai moral dan akhlak lebih utama daripada sekadar tampilan fisik, sehingga berjilbab tidak boleh hanya menjadi formalitas, tetapi harus mencerminkan kesalehan dan etika dalam berperilaku.

Quraish Shihab memahami jilbab sebagai aturan berpakaian yang bertujuan menjaga kehormatan perempuan dan membedakan mereka dari perempuan lain dalam konteks sosial Arab saat itu. Namun, ia juga menekankan bahwa bentuk dan cara mengenakan jilbab bisa berbeda sesuai dengan budaya, asalkan tetap dalam prinsip menutup aurat dan menjaga kesopanan. Yang terpenting adalah kesadaran, pemahaman, dan niat dari perempuan itu sendiri, bukan sekadar mengikuti aturan tanpa pemahaman.

Penutup kalam ingin ditegaskan kesimpulan dari tulisan ini Internasionalisasi jilbab telah menjadi fenomena yang berkembang luas, terutama melalui peran Kota Padang sebagai salah satu pusat gerakan ini. Kebijakan yang diperkenalkan oleh Fauzi Bahar selama menjabat sebagai Wali Kota Padang (2004–2014) telah memberikan dampak signifikan dalam membudayakan jilbab di kalangan pelajar dan masyarakat umum. Pengakuan atas perannya ini terbukti dengan penganugerahan gelar Profesor dari Perguruan Tinggi ASEAN di Malaysia serta pencalonannya untuk menerima penghargaan bergengsi King Faisal Prize.

Fenomena jilbab di Kota Padang tidak hanya sebatas aturan atau kewajiban agama, tetapi telah berkembang menjadi identitas sosial dan budaya yang diterima secara luas. Gerakan masyarakat seperti Komunitas Hijabers dan Gerakan Menutup Aurat (GEMAR) semakin memperkuat kesadaran akan pentingnya busana Muslimah dalam kehidupan sehari-hari. Seiring berjalannya waktu, jilbab tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang kuno, tetapi telah menjadi tren modern selaras dengan perkembangan zaman.

Gaya hidup berjilbab di era kontemporer merupakan fenomena perubahan budaya yang mencerminkan pergeseran nilai, norma, dan identitas sosial. Tren ini muncul di tengah budaya berpakaian global yang lebih terbuka dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kesadaran keagamaan, media sosial, dan dakwah.

Perubahan ini mencerminkan transformasi nilai masyarakat, di mana jilbab tidak hanya menjadi simbol religius tetapi juga bagian dari tren fashion modern. Fenomena ini diperkuat oleh industri fashion Muslim yang berkembang pesat, regulasi yang mendukung, serta penerimaan yang semakin luas di berbagai sektor kehidupan.

Selain itu, tren berjilbab juga mencerminkan dinamika budaya yang lebih besar, termasuk perubahan pola konsumsi, gaya hidup mapan, serta dampaknya terhadap relasi sosial dan ekonomi. Dengan melibatkan aspek nilai, norma, ekonomi, dan kebijakan, tren ini dapat dikategorikan sebagai perubahan budaya yang signifikan dalam masyarakat.

Dalam Islam, jilbab memiliki dasar teologis yang kuat, sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir seperti Buya Hamka dan Quraish Shihab. Hamka menekankan bahwa jilbab adalah bentuk identitas Muslimah yang bertujuan untuk menjaga kehormatan dan keselamatan mereka, sementara Quraish Shihab melihatnya sebagai simbol kesopanan yang harus dikenakan dengan kesadaran, bukan paksaan.

Dengan semakin meluasnya penerimaan jilbab di berbagai negara, termasuk di Asia Tenggara, internasionalisasi jilbab menunjukkan bagaimana simbol keislaman ini tidak hanya menjadi bagian dari ibadah, tetapi juga telah bertransformasi menjadi budaya global yang diakui dan diterima dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan mode dunia. Selamat Seminar Internasional Jilbab dan penilaian penghargaan bergengsi King Faisal Prize pada Professor Fauzi Bahar Datuk Yang Sati, untuk kemuliaan umat dan bangsa. amin. DS. 10022025.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply