KEKUASAAN SUFISTIK

KEKUASAAN SUFISTIK

Oleh: Duski Samad
Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Imam Bonjol

 

Rektor UIN Imam Bonjol 2021-2024 priodenya sudah berakhir sejak hari Senen, 28 Juli 2025. Proses untuk priode 2025-2029 juga sudah dilakukan, terakhir sudah pula selesai uji kompetensi sebagai tugas komite seleksi (Komsel) di Kementeria Agama RI.

Namun yang terjadi Menteri Agama menunda pelantikan Rektor untuk satu di antara 11 (sebelas calon) yang diajukan. Menag menurunkan SK perjanjangan Rektor lama sampai pelantikan yang difinitif.

Pertanyaan, komentar dan grasa grusu dari calon dengan dukungan pihak yang punya link, silaturahmi dengan orang-orang yang diyakini punya akses pada Menteri Agama. Sah dan boleh saja, orang berusaha dan berjuang untuk tujuan kebaikan lembaga dan kelompoknya.

Rasanya perlu diingatkan bahwa dalam perspektif ilmu tasawuf kekuasaan bukan segalanya dan bahkan itu ujian.
Pandangan sufistik terhadap kekuasaan sangat berbeda dengan pendekatan politik praktis atau materialistik.

Dalam sufisme (tasawuf), kekuasaan bukanlah tujuan yang dicari, tetapi amanah yang berat yang hanya pantas dipikul oleh mereka yang telah membersihkan jiwa dan mengutamakan kemaslahatan umum daripada kepentingan pribadi.

Pandangan sufistik terhadap perebutan kekuasaan dan dampaknya luas.

1.Hakikat Kekuasaan Menurut Tasawuf

Kekuasaan adalah ujian, bukan karunia yang membanggakan.
Ia merupakan amanah Allah, bukan hak yang harus direbut.

Seorang sufi sejati tidak mencari jabatan, tapi jika diberi, dia menerimanya dengan rasa takut (khauf) kepada Allah karena tanggung jawabnya di akhirat.
“Sesungguhnya kamu sekalian akan sangat mencintai jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat kecuali orang yang mengambilnya dengan cara yang benar dan menunaikan kewajiban yang ditetapkan padanya.”
(HR. Muslim).

2.Pandangan Sufi terhadap Perebutan Kekuasaan.

Sufi menolak perebutan kekuasaan yang berlandaskan nafsu, karena nafsu akan menuntun pada kedzaliman, manipulasi, dan fitnah.

Perebutan kekuasaan seringkali menjadi pintu kebinasaan batiniah, karena penuh dengan riya, hasad, ujub, dan ambisi dunia.

Dalam tradisi sufistik, kekuasaan yang dicari justru menjadi hijab (penghalang) dari kedekatan kepada Allah. Contoh historis:
Imam Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah demi menghindari pertumpahan darah dan demi menjaga umat Islam dari konflik.

Sufi besar seperti Abdul Qadir al-Jilani dan Imam al-Ghazali justru memperingat kan bahaya cinta dunia, termasuk cinta kekuasaan.

3.Dampak Perebutan Kekuasaan Menurut Tasawuf

Perebutan kekuasaan menumbuhkan hasad, kebencian, ketidakpercayaan, dan rusaknya ukhuwah.
Kerusakan sosial dan spiritual Masyarakat digiring pada fitnah, polarisasi, dan permusuhan yang melupakan tujuan hidup akhirat.
Tumbuhnya pemimpin tanpa spiritualitas Mereka yang naik melalui perebutan, biasanya tak lagi membawa misi amanah, melainkan syahwat kekuasaan.
Terbengkalainya keadilan Fokus pemimpin pada mempertahankan kekuasaan, bukan pada pelayanan umat.

4.Prinsip Sufi dalam Kepemimpinan

Dalam tasawuf, kepemimpinan adalah
Khidmah (pelayanan), bukan kemuliaan.
Tanggung jawab, bukan alat kepentingan.
Medan jihad nafsu, karena kekuasaan adalah salah satu tempat ujian terbesar.

Syekh Sya’rawi berkata: “Jika engkau ingin menjadi pemimpin, tapi jiwamu masih mencintai pujian, maka tunggulah kehancuran.”

5.Relevansi dalam Konteks Modern

Dalam dunia yang semakin pragmatis dan politis spiritualitas sufi dapat menjadi rem moral bagi para calon pemimpin.

Nilai-nilai tasawuf mendorong kepemimpinan zuhud, ikhlas, adil, dan jujur.

Perebutan kekuasaan seharusnya diganti dengan musyawarah dan pelayanan, bukan transaksi atau manipulasi.

Dalam pandangan sufistik, perebutan kekuasaan adalah manifestasi nafsu duniawi yang akan merusak jiwa, umat, dan tatanan sosial. Sufisme mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati hanya bisa dijalankan oleh mereka yang bebas dari ambisi pribadi, mengutamakan kepentingan umat, dan takut kepada hisab Allah. Dunia adalah ladang ujian, dan kekuasaan adalah salah satu ujiannya yang paling berat.

Analisis
Kekuasaan Bukan Tujuan, Tapi Amanah
Dalam perspektif sufistik yang diangkat penulis, kekuasaan—termasuk jabatan rektor—bukanlah sesuatu yang harus diperebutkan, tetapi amanah ilahiyah yang berat. Seseorang yang memikul jabatan tidak boleh didorong oleh ambisi pribadi, melainkan oleh kesadaran akan tanggung jawab besar di dunia dan akhirat. Hal ini mengingatkan kita pada hadis Nabi:
“Sesungguhnya kamu sekalian akan sangat mencintai jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat…” (HR. Muslim)
Tasawuf sebagai Kritik terhadap Perebutan Kekuasaan.
Perebutan kekuasaan, dalam kacamata tasawuf, adalah manifestasi dari dominasi nafsu: riya’, hasad, ujub, bahkan tak jarang disertai fitnah dan manipulasi. Dalam kasus pemilihan rektor, penulis menyoroti bagaimana “usaha dan grasa-grusu” pihak-pihak tertentu, meski sah secara administratif, berpotensi melukai spirit ukhuwah dan keikhlasan dalam berkhidmat.
Penulis mengingatkan dengan teladan Hasan bin Ali yang menyerahkan kekuasaan demi menghindari pertumpahan darah, serta peringatan ulama sufi besar seperti al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jilani terhadap bahaya cinta kekuasaan.

Dampak Sosial-Spiritual dari Politik Kekuasaan.
Perebutan jabatan tanpa kontrol ruhani dapat membawa hasad dan perpecahan internal, yang merusak ukhuwah dalam kampus atau masyarakat ilmiah.

Hilangnya orientasi spiritual dan pelayanan umat, digantikan oleh agenda politik dan kelompok.

Tumbuhnya pemimpin tanpa spiritualitas, yang lebih sibuk mempertahankan posisi daripada menunaikan tanggung jawab akademik dan moral.

Kepemimpinan sebagai Jihad dan Khidmah
Penulis menegaskan bahwa kepemimpinan bukan tempat mencari kehormatan, melainkan arena jihad nafsu dan ladang khidmah (pelayanan). Dalam tradisi sufistik, pemimpin ideal adalah mereka yang tidak mencintai pujian, namun takut pada hisab Allah dan senantiasa mendahulukan maslahat umum.

Kesimpulan
“Kekuasaan Sufistik” adalah sebuah tawaran paradigma etis dan spiritual dalam menghadapi dinamika jabatan publik—termasuk dalam lingkungan akademik seperti UIN Imam Bonjol. Di tengah iklim yang cenderung pragmatis dan penuh transaksi kepentingan, tasawuf mengajarkan agar kekuasaan:

Tidak dijadikan tujuan, tetapi ladang amanah;
Tidak diperebutkan dengan nafsu, tetapi dipikul dengan rasa takut kepada Allah;
Tidak dimanipulasi, tetapi dijalankan dengan niat pelayanan.
Dalam konteks penundaan pelantikan rektor, penulis mengajak semua pihak untuk tetap dalam koridor keikhlasan, sabar, dan tanggung jawab moral, bukan saling menyudutkan atau mendorong dinamika yang menjauh dari nilai-nilai ruhani dan ilmu.

Spirit sufistik ini tidak hanya relevan untuk para calon rektor atau pejabat, tetapi juga menjadi cermin etik bagi seluruh elemen kampus dan bangsa—bahwa sejatinya, jabatan adalah ujian yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, bukan hak yang boleh direbut dengan segala cara.ds.31072025

Leave a Reply

News Feed